Friday 31 May 2013

Pemulung Kribo

Awan gelap menggantung di lengkungan langit. Air hujan jatuh menguyur terus menerus. Cerry membuka pintu gerbang selebar satu meter. Tiba-tiba kakinya tercekat. Badannya condong ke belakang dengan tangan kanan menepuk dada. “Astaga!”.


Sosok ini pernah ia lihat, nyaris seringkali.

Ia menundukkan kepala ke atas tong sampah di samping belakang sebuah restoran. Tangannya mengkorek-korek bagian sisa tadi malam dan semakin dalam. Seraya menenteng bungkusan plastik putih berukuran besar di tangan satunya. Penutup botol-botol aqua menyeruak dari mulut plastik.

Ada pula lipatan kardus terjepit di selangkang ketiaknya.

Kini pemulung itu duduk menyandarkan punggungnya di daun pintu gerbang yang sangat lebar.

Suara hujan berdesar-desir, sebentar-bentar bergemuruh oleh sapuan angin kencang. Payung berwarna hijau yang Cerry pegang, taruh di sudut pintu. Ia membungkuk, perhatikan lelaki itu.

Rambutnya semula keriting mengembang. Menjadi lepek, tatkala terlihat keriwil-keriwil kecil dengan ujung menajam. Bajunya basah kuyup.

Cerry masuk lagi ke dalam.

Mendekat sepuluh menit, ia muncul di muka pintu. Membawa segelas air dan sebelah tangannya memegang selimut. Lalu menyodori air hangat itu kepada si pemulung sembari menengok sebuah mobil terparkir depan mata Cerry. ”Ini... Minum sedikit dulu.”

Lelaki itu mendongak. Segera ia menyambar dan merangkul badan gelas itu. Sruuut ... Kemudian meneguk habis.

Hawa panas mulai mengalir dalam organ tubuhnya. Menjadi bulir-bulir keringat.

Cerry membuka lebar selimut kepada si pemulung. Sedari tadi sekujur tubuhnya menggigil.
"Terima kasih," pemulung itu kembali memeluk kedua lutut. Tangan dan kaki bermain-main dalam selimut, menyamping-nyampingkan ujung selimut supaya menutupi seluruh tubuhnya. Ia menelengkan wajah ke atas, “ Kamu baik sekali, Nona.”

Cerry tersenyum simpul.

“Nona... Bolehkah engkau... perkerjakan saya di sini?” pinta pemulung ragu- ragu.

Cerry tersontak kaget. Dan berpikir sejenak. “Saya tidak bisa, hanya Papaku yang putuskan.”

Alis si pemulung kribo menyatu dan mengerut. “Saya mohon kepadamu, Non.” Wajahnya memelas.

Cerry menatap matanya, terbesit permohonan yang mendalam. “Baiklah,” gumamnya.  “Saya akan tanya pada beliau.”

Lalu ia berlari kecil di bawah payung menuju mobil temannya -menunggu semenjak tadi- pergi ke kampus.

***

“Terima dia.”

“Lantas apa yang bisa dia lakukan, Papa?” Cerry duduk menggeliat di samping ayahnya.

“Apa saja di rumah ini.”

“Ih... Pa. Tapi dia tuh lusuh, dekil ...” tangannya melambai-lambai di udara.

“Anak papa, jangan begitu dong! Kalau dia mandi, juga bersih?” potong sang ayah. Ia beralih tumpuan dari koran ke wajah anaknya. “Dan... kamu, tugasmu  awasi dia.”

“Lho kok saya?”

“Iya. Sampai minggu ini mamamu di Bandung.”

“Papaaa...,” Cerry bersungut.

Ayahnya membalik lembaran koran ke sebelah kiri yang sudah ia baca. Kembali menengelamkan pikiran, mata ke ribuan huruf.

***

Larut malam, seorang lelaki mondar-mandir depan ruang kerja. Ia tahu ayah Cerry kadang kerja malam. Kalau salah nebak, paling kebiasaan membaca buku. Ia mengendap keberaniannya terlebih dahulu. Suara hati berbisik saatnya untuk ia mengetuk pintu seiring jarum jam terus berputar. Di hadapan majikannya, ia berkata nyaris tengah malam putrinya belum pulang. Bukankah, lebih baik segera pulang?

Ayah Cerry mengiyakan. Beliau menulis di kertas, merobek dan menodongkan pada si pemulung. “Nomor hape Cerry.”

”Tapi, saya...”

”Bilang saja, aku.”

Ia perlahan melangkah untuk ambil sobekan kertas itu.

Keluar dari ruang baca si empunya rumah, ia menuruni dua anak tangga. Begitu juga berikutnya, makin ke bawah lagi dan semakin cepat sampai berhenti di meja telefon. Menekan tombol-tombol. ”Halo, Non.”

”Ya.”

”Non, Bapak bilang cepat pulang!”

“Waduh. Di sini belum selesai.”

“Jelang pagi nih, Nona Cerry.”

”Oke. Habis ini, saya langsung pulang.”

”Jemput yah...?”

”Gak. Saya pulang bareng temen.”

“Baik, Nona.”

Kala supir keluarga mengantar Cerry pergi ke acara ulang tahun sahabat lamanya. Ia menolak Pak Bowo menjemputnya kelar acara. Enggan mengganggu waktu tidur orang.


Pemulung kribo di luar gerbang.

Anak majikannya melangkah mendekat ke pintu gerbang, ”Kalau saya pulang telat gak usah ditungguin. Kasian kamu. Banyak nyamuk di luar.”

”Ahh... Enggak apa-apa. Ini...,” ia mengencangkan otot dan mencubit kulitnya sendiri.  “Kulit badak kok.”

“Ha... ha... ha...”

Si pemulung kribo cengar-cengir. Mengekor di belakang Nona Cerry. Sesampai di dalam rumah. Ia menutup dan mengunci pintu ruang tamu.

***

Tiap hari, pagi dan sore pemulung kribo membantu mama Cerry bersihkan pekarangan. Bila Mama Cerry tidak bisa menyempatkan waktunya. Si pemulung sudah tahu apa yang mesti ia perbuat.

Putrinya pula belakangan rajin ikut menanam. Meskipun ia rada geli dan merinding ketika matanya dapati cacing bergulat di gumbulan-gumbulan tanah.

***

”Kenapa sih kamu gak ikut kita? Mana tanggalan merah gini,” tanya Nisa di tengah percakapan lewat telefon. “Pagi ne gak panas kok. Adem aja.”

Cerry meniru suaranya lebih terdengar lemas, ”Saya letih.” Lehernya memanjang, layangkan pandangan ke dapur. Pemulung kribo memotong wortel, bawang, sayur mentah di atas telenan kayu. Sambil bersenda gurau dengan Mbok Sum. Terkadang ia kepergok dengan sampah plastik, bungkusan deterjen. Ia meminta Mbok Sum tidak membuangnya. “Saya kumpul-kumpul. Kalau banyak, bisa dijual,” terang si pemulung kepada Mbok Sum.

Pemulung kribo mengintip keluar. Melalui jendela dapur yang menembus ke ruang tengah. Cerry sesegera mungkin berpaling muka. “Minggu nih saya gak hang out.” Nisa berupaya membujuk tapi sahabatnya bergeming.

“Ya udah. Kita aja yang pergi.”

Setelah menyingkirkan Nisa. Ia pergi melebur diri bersama mereka. Menikmati serangan guyon dari pemuda itu.

***

Pagi yang segar mengiringi hati pemulung kribo. Berkobar seperti merebus susu kental yang meletup-letup. “Saya mau bawa kamu ke suatu tempat,” bibir hitamnya terbuka lebar, menampakkan gigi. 

Saat ia hendak menarik pergelangan tangan Cerry. Ada keraguan di wajah Cerry. “Tenang ... Saya sudah minta izin sama ayahmu,” ujar pemulung kribo.

“Kemana kita?”

“Ayo, ikut saya aja!”

Cerry mengikuti tarikan tangan si pemulung sambil ternganga. Ia sisakan rambut beberapa millimeter. Berdiri acak-acakan. Bahkan mengkilat oleh paparan sinar pagi. Entah mengoleskan apa pada rambutnya.

“Pak Bowo tunggu kita nih,” pekiknya melihat langkah Cerry tertatih-tatih.

Mereka berada di sebuah bangunan menjulang belasan tingkat. Dalam ruangan di lantai atas, seorang lelaki berumur sekitar 50 tahun. Ia memakai kemeja putih dengan dasi berkotak-kotak kecil. Duduk di belakang meja hitam pekat yang permukaannya dari kayu.

Mata Cerry menyapu seisi ruangan. Pelbagai susunan buku tertata rapi dalam rak yang tinggi.

Di sinilah dua bulan lalu, pemulung kribo datang meminta uang. Namun orang itu bersikeras menolak. Bahkan menghalau dan tak lagi menolerir tingkah polanya.

Lelaki tua itu beranjak dari kursi. “Radith.” Bola matanya berputar ke sebelah Radith.

”Cerry, Ayah. Dia menolongku.”

Ayah Radith memandang mereka dan merentangkan salah satu tangannya ke sofa panjang.

Namun Radith mendekat di samping ayahnya. Menjatuhkan dahi di tempurung lutut sang ayah. ”Radith minta maaf, Ayah ...”

Ayah Radith mengangguk-angguk pelan dan tertunduk. Ia mendesah. “Aku usir dia.” Lalu menengadah kepala, matanya tertuju pada Cerry. Gelengkan kepalanya berulang kali.

Cerry hanya memasang telinga, wajahnya mendadak berubah sendu.

“Saban hari habiskan waktu dan uang cuma berpoya-poya,” lanjut ayah Radith, menitikkan air mata.

“Ayah terpaksa... Radith. Supaya kamu sadar.”

“Radith tahu, Yah... Saya salah.”

Sang ayah menepuk-nepuk pundak anaknya sekaligus merangkul. “Terima kasih. Bawa Radith kembali, Cerry.”

Cerry tersipu.

Selama ini Radith ada memikirkan sebuah angan. Ia ingin membangun sendiri perusahaan sampah daur ulang -di bawah arahan ayah Cerry- yang bisa menampung para pengepul. Mengajak mereka bekerjasama mengumpulkan sampah plastik rumah tangga. Ia akan mulai dari awal.

Sang ayah senang dengar kabar seperti itu. Tentu saja mengizinkan putra kesayangannya dan menunggu Radith datang kembali. Sebagaimana janji Radith bila ia nanti akan diperlukan.

Pintu kaca tergeser kesamping kiri dan kanan. Begitu si pemulung dan Cerry berjalan menuju pintu keluar.

“Cerry, ada yang menggangguku.” Lama Radith menunduk. “ Apakah kamu bersedia hidup dengan saya?”

“Buat apa kamu tanyakan lagi?  Saya rasa kamu tahu jawabanku.”

Detak jantung Radith seakan berhenti.

“Sekarang giliran saya.”

“Apa... katakan?”

“Jujur terhadapku. Apapun itu.”

Yes. Nyonya Radith!!!”

Cerry mendorong halus pundak Radith. “Belum resmi.”

Mereka tawa terbahak-bahak.

Dua pasang mata menatap lekat-lekat. Membentuk senyuman terindah. Radith menyodor lengannya. Cerry mengenggam lengan itu.

Pak Bowo sedang menanti mereka. Segera membuka pintu mobil.

Si pemulung kribo dan nona Cerry ikat janji, cinta mereka akan terus bertumbuh dan menjaga bersama sampai selamanya.




No comments:

Post a Comment