Awan gelap menggantung di
lengkungan langit. Air hujan jatuh menguyur terus menerus. Cerry membuka pintu
gerbang selebar satu meter. Tiba-tiba kakinya tercekat. Badannya condong ke
belakang dengan tangan kanan menepuk dada. “Astaga!”.
Sosok ini pernah ia lihat,
nyaris seringkali.
Ia
menundukkan kepala ke atas tong sampah di samping belakang sebuah restoran.
Tangannya mengkorek-korek bagian sisa tadi malam dan semakin dalam. Seraya
menenteng bungkusan plastik putih berukuran besar di tangan satunya. Penutup
botol-botol aqua menyeruak dari mulut plastik.
Ada
pula lipatan kardus terjepit di selangkang ketiaknya.
Kini pemulung itu duduk
menyandarkan punggungnya di daun pintu gerbang yang sangat lebar.
Suara hujan berdesar-desir,
sebentar-bentar bergemuruh oleh sapuan angin kencang. Payung berwarna hijau
yang Cerry pegang, taruh di sudut pintu. Ia membungkuk, perhatikan lelaki itu.
Rambutnya semula keriting
mengembang. Menjadi lepek, tatkala terlihat keriwil-keriwil kecil dengan ujung
menajam. Bajunya basah kuyup.
Cerry masuk lagi ke dalam.
Mendekat sepuluh menit, ia
muncul di muka pintu. Membawa segelas air dan sebelah tangannya memegang
selimut. Lalu menyodori air hangat itu kepada si pemulung sembari menengok
sebuah mobil terparkir depan mata Cerry. ”Ini... Minum sedikit dulu.”
Lelaki itu mendongak. Segera
ia menyambar dan merangkul badan gelas itu. Sruuut ... Kemudian meneguk habis.
Hawa panas mulai mengalir
dalam organ tubuhnya. Menjadi bulir-bulir keringat.
Cerry membuka lebar selimut kepada
si pemulung. Sedari tadi sekujur tubuhnya menggigil.
"Terima kasih," pemulung
itu kembali memeluk kedua lutut. Tangan dan kaki bermain-main dalam selimut,
menyamping-nyampingkan ujung selimut supaya menutupi seluruh tubuhnya. Ia
menelengkan wajah ke atas, “ Kamu baik sekali, Nona.”
Cerry tersenyum simpul.
“Nona... Bolehkah engkau...
perkerjakan saya di sini?” pinta pemulung ragu- ragu.
Cerry tersontak kaget. Dan
berpikir sejenak. “Saya tidak bisa, hanya Papaku yang putuskan.”
Alis si pemulung kribo
menyatu dan mengerut. “Saya mohon kepadamu, Non.” Wajahnya memelas.
Cerry menatap matanya,
terbesit permohonan yang mendalam. “Baiklah,” gumamnya. “Saya akan tanya pada beliau.”
Lalu ia berlari kecil di
bawah payung menuju mobil temannya -menunggu semenjak tadi- pergi ke kampus.
***
“Terima dia.”
“Lantas apa yang bisa dia
lakukan, Papa?” Cerry duduk menggeliat di samping ayahnya.
“Apa saja di rumah ini.”
“Ih... Pa. Tapi dia tuh
lusuh, dekil ...” tangannya melambai-lambai di udara.
“Anak papa, jangan begitu
dong! Kalau dia mandi, juga bersih?” potong sang ayah. Ia beralih tumpuan dari
koran ke wajah anaknya. “Dan... kamu, tugasmu
awasi dia.”
“Lho kok saya?”
“Iya. Sampai minggu ini
mamamu di Bandung.”
“Papaaa...,” Cerry
bersungut.
Ayahnya membalik lembaran
koran ke sebelah kiri yang sudah ia baca. Kembali menengelamkan pikiran, mata
ke ribuan huruf.
***
Larut malam, seorang lelaki
mondar-mandir depan ruang kerja. Ia tahu ayah Cerry kadang kerja malam. Kalau
salah nebak, paling kebiasaan membaca buku. Ia mengendap keberaniannya terlebih
dahulu. Suara hati berbisik saatnya untuk ia mengetuk pintu seiring jarum jam
terus berputar. Di hadapan majikannya, ia berkata nyaris tengah malam putrinya
belum pulang. Bukankah, lebih baik segera pulang?
Ayah Cerry mengiyakan.
Beliau menulis di kertas, merobek dan menodongkan pada si pemulung. “Nomor hape
Cerry.”
”Tapi, saya...”
”Bilang saja, aku.”
Ia perlahan melangkah untuk
ambil sobekan kertas itu.
Keluar dari ruang baca si
empunya rumah, ia menuruni dua anak tangga. Begitu juga berikutnya, makin ke
bawah lagi dan semakin cepat sampai berhenti di meja telefon. Menekan
tombol-tombol. ”Halo, Non.”
”Ya.”
”Non, Bapak bilang cepat
pulang!”
“Waduh. Di sini belum
selesai.”
“Jelang pagi nih, Nona
Cerry.”
”Oke. Habis ini, saya
langsung pulang.”
”Jemput yah...?”
”Gak. Saya pulang bareng
temen.”
“Baik, Nona.”
Kala supir keluarga
mengantar Cerry pergi ke acara ulang tahun sahabat lamanya. Ia menolak Pak Bowo
menjemputnya kelar acara. Enggan mengganggu waktu tidur orang.
Pemulung kribo di luar
gerbang.
Anak majikannya melangkah
mendekat ke pintu gerbang, ”Kalau saya pulang telat gak usah ditungguin. Kasian
kamu. Banyak nyamuk di luar.”
”Ahh... Enggak apa-apa.
Ini...,” ia mengencangkan otot dan mencubit kulitnya sendiri. “Kulit badak kok.”
“Ha... ha... ha...”
Si pemulung kribo
cengar-cengir. Mengekor di belakang Nona Cerry. Sesampai di dalam rumah. Ia
menutup dan mengunci pintu ruang tamu.
***
Tiap hari, pagi dan sore
pemulung kribo membantu mama Cerry bersihkan pekarangan. Bila Mama Cerry tidak
bisa menyempatkan waktunya. Si pemulung sudah tahu apa yang mesti ia perbuat.
Putrinya pula belakangan
rajin ikut menanam. Meskipun ia rada geli dan merinding ketika matanya dapati
cacing bergulat di gumbulan-gumbulan tanah.
***
”Kenapa sih kamu gak ikut
kita? Mana tanggalan merah gini,” tanya Nisa di tengah percakapan lewat
telefon. “Pagi ne gak panas kok. Adem aja.”
Cerry meniru suaranya lebih
terdengar lemas, ”Saya letih.” Lehernya memanjang, layangkan pandangan ke dapur.
Pemulung kribo memotong wortel, bawang, sayur mentah di atas telenan kayu.
Sambil bersenda gurau dengan Mbok Sum. Terkadang ia kepergok dengan sampah
plastik, bungkusan deterjen. Ia meminta Mbok Sum tidak membuangnya. “Saya
kumpul-kumpul. Kalau banyak, bisa dijual,” terang si pemulung kepada Mbok Sum.
Pemulung kribo mengintip
keluar. Melalui jendela dapur yang menembus ke ruang tengah. Cerry sesegera
mungkin berpaling muka. “Minggu nih saya gak hang out.” Nisa berupaya membujuk tapi sahabatnya bergeming.
“Ya udah. Kita aja yang
pergi.”
Setelah menyingkirkan Nisa.
Ia pergi melebur diri bersama mereka. Menikmati serangan guyon dari pemuda itu.
***
Pagi yang segar mengiringi
hati pemulung kribo. Berkobar seperti merebus susu kental yang meletup-letup. “Saya
mau bawa kamu ke suatu tempat,” bibir hitamnya terbuka lebar, menampakkan gigi.
Saat ia hendak menarik pergelangan tangan Cerry. Ada keraguan di wajah Cerry.
“Tenang ... Saya sudah minta izin sama ayahmu,” ujar pemulung kribo.
“Kemana kita?”
“Ayo, ikut saya aja!”
Cerry mengikuti tarikan
tangan si pemulung sambil ternganga. Ia sisakan rambut beberapa millimeter.
Berdiri acak-acakan. Bahkan mengkilat oleh paparan sinar pagi. Entah
mengoleskan apa pada rambutnya.
“Pak Bowo tunggu kita nih,”
pekiknya melihat langkah Cerry tertatih-tatih.
Mereka berada di sebuah
bangunan menjulang belasan tingkat. Dalam ruangan di lantai atas, seorang
lelaki berumur sekitar 50 tahun. Ia memakai kemeja putih dengan dasi
berkotak-kotak kecil. Duduk di belakang meja hitam pekat yang permukaannya dari
kayu.
Mata Cerry menyapu seisi
ruangan. Pelbagai susunan buku tertata rapi dalam rak yang tinggi.
Di sinilah dua bulan lalu,
pemulung kribo datang meminta uang. Namun orang itu bersikeras menolak. Bahkan
menghalau dan tak lagi menolerir tingkah polanya.
Lelaki tua itu beranjak dari
kursi. “Radith.” Bola matanya berputar ke sebelah Radith.
”Cerry, Ayah. Dia
menolongku.”
Ayah Radith memandang mereka
dan merentangkan salah satu tangannya ke sofa panjang.
Namun Radith mendekat di
samping ayahnya. Menjatuhkan dahi di tempurung lutut sang ayah. ”Radith minta
maaf, Ayah ...”
Ayah Radith
mengangguk-angguk pelan dan tertunduk. Ia mendesah. “Aku usir dia.” Lalu
menengadah kepala, matanya tertuju pada Cerry. Gelengkan kepalanya berulang
kali.
Cerry hanya memasang
telinga, wajahnya mendadak berubah sendu.
“Saban hari habiskan waktu
dan uang cuma berpoya-poya,” lanjut ayah Radith, menitikkan air mata.
“Ayah terpaksa... Radith.
Supaya kamu sadar.”
“Radith tahu, Yah... Saya
salah.”
Sang ayah menepuk-nepuk
pundak anaknya sekaligus merangkul. “Terima kasih. Bawa Radith kembali, Cerry.”
Cerry tersipu.
Selama ini Radith ada
memikirkan sebuah angan. Ia ingin membangun sendiri perusahaan sampah daur
ulang -di bawah arahan ayah Cerry- yang bisa menampung para pengepul. Mengajak
mereka bekerjasama mengumpulkan sampah plastik rumah tangga. Ia akan mulai dari
awal.
Sang ayah senang dengar
kabar seperti itu. Tentu saja mengizinkan putra kesayangannya dan menunggu
Radith datang kembali. Sebagaimana janji Radith bila ia nanti akan diperlukan.
Pintu kaca tergeser
kesamping kiri dan kanan. Begitu si pemulung dan Cerry berjalan menuju pintu
keluar.
“Cerry, ada yang
menggangguku.” Lama Radith menunduk. “ Apakah kamu bersedia hidup dengan saya?”
“Buat apa kamu tanyakan
lagi? Saya rasa kamu tahu jawabanku.”
Detak jantung Radith seakan
berhenti.
“Sekarang giliran saya.”
“Apa... katakan?”
“Jujur terhadapku. Apapun
itu.”
“Yes. Nyonya Radith!!!”
Cerry mendorong halus pundak
Radith. “Belum resmi.”
Mereka tawa terbahak-bahak.
Dua pasang mata menatap
lekat-lekat. Membentuk senyuman terindah. Radith menyodor lengannya. Cerry
mengenggam lengan itu.
Pak Bowo sedang menanti
mereka. Segera membuka pintu mobil.
Si pemulung kribo dan nona
Cerry ikat janji, cinta mereka akan terus bertumbuh dan menjaga bersama sampai
selamanya.
No comments:
Post a Comment