“Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint:
buku Catatan si Anak Magang Film “Cinta Dalam Kardus” yang tayang di bioskop
mulai 13 Juni 2013.”
Semangat…
Aku ketemu kau ngobrol dengan
kakak lelakiku, Robi. Dimataku, kulitmu putih, dan berhidung mancung. Tinggimu
kala dari depan rumah, beda tipis dengan Robi. Kuintip lewat jendela kamarku.
Berarti lebih tinggi dariku. Ini yang kusukai. Aku dengan Robi sama tinggi.
Jaka, kata Robi ketika
kutanya siapa dia.
“Dina!”
“Ng...”
“Ganti sport dong. Bola,” pinta kakakku.
Jaka nonton bareng Robi di ruang
tamu. Tiap malam minggu kau ke sini cuman nonton sepakbola doang. Tidak ada
jatah untukku. Menonton serial CSI. Geram hatiku.
Mulailah aku dan kau. Jatuh
hati. Di momentum yang sama. Tapi... ngakumu, dirimulah yang udah lamaaa banget
menyukaiku.
Kau tahu aku pengen jadi
penulis detektif. Kau memberiku komik Detektif
Conan Super Digest Book edisi 20+ sampai 40+. Edisi 10+ terlewati, sebab
kita belum jadian.
”Kamu belajar dari komik ini,
Dina. Bagus banget. Kamu gak ikutin komiknya. Dari sini kamu tahu seluk beluk
ngarang cerita detektif tuh kayak gimana,” saranmu ketika kita jalan-jalan di
toko buku. “Ada trik dan tips, pengenalan tokoh, teknik berhipotesa.”
Kala waktu luang, kau ke
gramedia. Cuma mengupdate keluaran
buku detektif terbaru. Satu-satunya buku Sherlock Holmes, kau embat juga demi
aku. “Sampul plastiknya sudah lepas. Tapi masih bagus kok. Kalau aku gak ambil.
Tunggu lama, bertahun-tahun.” Kau meyakinkan diriku.
Gak ketinggalan Agatha
Christie, ketemu, beli.
Kita bikin acara hari jadian
kita di bawah pohon kedondong. Tahun kesatu. Kita duduk di atas penutup sumur
dari seng. Kau rencanakan sebuah kue tart. Kau buat kartu kartun. Aku tahu kau
tidak handal.
”Unyu…” ucapku ketika itu.
Aku tertarik usaha kerasmu.
Setahun pisah, bertaburan
buku terjemahan novel Sherlock Holmes dan Agatha Christie edisi cetak ulang.
“Wow! Aku mesti tabung uang
demi mereka,” batinku. “Seandainya Jaka masih bersamaku. Akankah dia...?”
Kau ingin embel-embel Master
bersanding di pojok namamu. Pertama saja, kau rajin mengkontakku. Bulan
berikutnya. Suaramu sungguh kurindu. Apa sibuk, capek? Kau tak kunjung nge-bell ke HP-ku. BBM-an? Gak ngetren di
luar negeri (Aku pahami hal ini). Tapi, kenapa sih dengan facebook, twitter, email-mu?
Aku tak sanggup. Apakah aku
punya pacar atau tidak? Saban hari pikiranku bermain-main. Aku hampir stres.
Kutahu kutak bisa begini.
Aku break sepihak, sementara. Adakah
aku masih kekasihmu?
Meski hati perih. Kuberusaha
keras bertahan. Jalani hidup tanpamu. Mereka-para novel-tetap mendampingi bukan
sepertimu. Aku masih sayang padamu. Sayang pula pada pemberianmu. Sayang
kubuang, sebenarnya… bagus untuk hapus luka hatiku. Merekalah yang memacuku.
Mereka tetap berharga bagiku. Kapan saja, mereka membantuku. Mengilhamiku. Jadi
inspirasiku.
Semenjak kuputus dirimu,
fotomu, foto kita. Tinggal segenggam abu. Pengaruh sakit hatiku.
Aku rasa saatnya dia bertengger
di depan mataku. Miniatur Conan Edogawa yang berkurung dalam kardus. Aku ambil
dia. Dan kuletakan di meja tulisku. Meskipun kata-katamu akan selalu terngiang
di telingaku sepanjang masa.
“Din, kamu taruh di mejamu.
Ngetik-ngetik di laptop terus liat Conan. Supaya kamu, tetap semangat!” Kau
tertawa besar.
Aku tersenyum.
Kau, inspirasi nyata di
hatiku.
Suatu saat. Pasti terbit
buku. Akan kuberi satu, kepadamu.
No comments:
Post a Comment