Thursday 20 June 2013

Sepuluh Tahun

Di Tahun 1997
S
udah 15 menit aku berdiri di bawah ribuan daun mangga bersamaan batang pohon yang kekar. Sisa 15 menit lagi waktuku , tepat pukul 7. Dalam rentang setengah jam ini aku menunggu kendaraan angkot umum yang sejurus arah tujuanku. Pasti ada mobil berwarna putih berlalu di Jalan Katamso. Kadang-kala terlewati dari penglihatanku atau terlindungi oleh angkot-angkot yang berlalu-lalang.
Benarlah, di mata sebelah kananku sebuah mobil putih mulai mendekat ke arahku lalu berhenti. Pintu belakang mobil menganga.
“Ayo, masuk!”
Aku menggeleng. Rasa segan masih saja terus mendampingi hatiku. Entah mengapa. padahal aku sering bertemu dengan orang ini.
“Cepatlah! Entar kamu terlambat lho.”
Aku terpaksa mengikuti permintaannya. Aku mulai melangkah masuk ke dalam mobil. Namun hati menyimpan rasa sungkan. Mungkinkah ini karena pertama kali dia menawari tumpangan kepadaku.
Aku tidak banyak berkata kepada dia. Bukan. Sebetulnya sepanjang perjalanan ke sekolah aku bersama dengannya tanpa sepotong kata pun.
***
Pak Simori-guru Biologi-beliau menulis di papan tulis dengan tangan kiri. Pusat perhatianku ke depan. Tulisan Pak Simori menurutku sangat jelek, layaknya seorang anak SD yang baru belajar menulis. Pundakku sandarkan ke bangku. Pelan-pelan bola mataku beralih ke kiri pada kursi baris ke dua deretan kedua dan sebaris dengan tempatku duduk. Aku melihat bahu seseorang. Bahu itu pun bersandar ke bangku. Ia menoleh ke arahku. Mata kami berpapasan. Dua orang murid duduk menyusup di antara kita berdua. Hati ini sedikit terhentak. Ia membuat seutas garis di bibir. Garis itu manis dan makin melebar. Aku pun membalas senyum itu.
***
Begitu aku keluar dari mobil, aku membuka lebar payungku. Kali ini adalah yang kedua aku menumpang mobil Yunike. Ia menyusul keluar. Segera kulindungi kepalanya dari rintihan air hujan dengan payung. Tanganku mengikuti gerakan tubuhnya kemanapun ia bergerak. Sekarang ia berada di sisi kananku. Aku dan dia beriringan menelusuri halaman sekolah. Rintik-rintikan air hujan jatuh di pasir kerikil, menjiprat ke sepatu kami. Kami menelusuri halaman sekolah. Siswa-siswi berdiri, bersandar, duduk di depan kelas tapi berpasang mata menyorot kami.
Angin sepoi-sepoi meniup helaian rambut Yunike, mengusik pelan pada lenganku. Aroma shampo Pantene seperti milik kakak perempuanku menyusup ke hidungku. Parasnya yang manis, putih, memiliki bola mata besar dan apalagi isi memori otaknya sangat kuat serta pintar selama aku ikuti pelajaran sekolah bersama dirinya. “Siapa yang bisa koreksi?” tanya Bu Mary, pengajar bahasa Indonesia. Yunike menganjungkan tangan di udara. Hatiku senang dan bukan cuma sekali ini saja.
Aku tak ingin berlama-lama memandang ia dari dekat. Bahaya bagiku. Segera kuberpaling. Itu sudah lebih dari kepuasanku.
***
Hari ini aku melihat kursi Yunike kosong. Aku menajamkan gendang telingaku, mendengar teman-teman kelasku yang tak jauh dariku. Mengatakan Yunike dan keluarga berduyun-duyun untuk melanjutkan junior high school-nya ke benua tetangga, Australia. Pagi ini, hari keberangkatannya.
Kata mereka, ikut mengantar Yunike ke bandara.
Aku tak menduga sekilat ini usia pertemanan kita. Diriku belum lagi ucapkan terima kasih kepadamu. Di atas kertas putih, kububuhkan tinta pulpen.
I MISS U, Jun.
Kini aku tak dapat lagi melihat seutas senyum penuh kasih, tulus dari hati. Bertabrakan dua pasang mata. Tidak sengaja dengan waktu yang tepat.

Aku berharap mulai detik ini. Aku menyimpan doa. Bertemu sepuluh tahun. Sepuluh tahun lagi. Lantas bertambah.



No comments:

Post a Comment