Tuesday 1 October 2013

Kusematkan Cintaku

"Hello, Jack!"
"Ya."
"Kelar pulang kerja sore nih, tolong ambil baju pengantin di butik Hana's Bridal. Bisa?" Mary belum mendapat tanggapan dari suara seberang," Jack..." 
"Yah... ya."
"Kamu dengar aku?"
"He-eh. Aku ambil," sambil mengelus dahi.
"Siiip. Nanti jam 8 malam, aku ke apartemenmu. Malam ini aku harus kerja ekstra. Bye..."
Kesepuluh jari Jacky memeluk hp sambil menopang dagu. Matanya menatap dinding. Di atas sekat dinding, kedua lengan Tora menyilang. "Yuk makan siang?"
Jacky menegakkan badan lalu hempaskan punggung ke badan kursi.
"Siang ini aku gak bisa," desah Jacky.
"Kok kayak resah, man."
"I'm ok, To."
Tora merasa Jacky mungkin butuh ketenangan. "Alright." Jadi ia meninggalkan Jacky sendirian dalam ruangan besar, ditemanin puluhan PC, poster-poster di dinding, action figure dan berkas penting di meja.
***
Hape Mary menempel di telinganya, "Jack, kamu masih lama?"
"Sebentar lagi. Aku di lift.Tunggu tiga menit."
Mary mondar-mandir di depan pintu. Apartemen itu hanya beberapa meter dari kantor Jacky.
Pintu lift membelah dua. Jacky keluar, melangkah ke pintu apartemen. Di samping Mary, ia merogoh sesuatu ke dalam saku celananya. "Lebih cepat dari janjimu," ia menancapkan anak kunci ke lubang pintu.
"Ehm. Begitu selesai beresin pekerjaanku, pulang, mandi, langsung ke mari." Mary membuntuti Jacky. "Aku pikir kamu sudah pulang."
"Ada rapat mendadak."
"Bajuku?"
"Tenang... Jam makan siang kusempatin ke butik."
Mary mengelus dada. "Syukurlah..."
"Aku taruh di kamar. Mau pulang, baru kamu ambil."
"Baik."
Tak mau tercium tak sedap depan Mary, Jacky berujar, "Aku pergi mandi."
Ia menyusuri koridor. Masuk ke kamar tidur. Dapur Jacky menyatu dengan ruang tamu. Mary periksa ke dalam lemari kabinet atas. Jacky selalu menyetok kacang, kerupuk kentang, atau biskuit untuk cemilan mereka. Mary buat dua gelas minuman segar. Satu gelas tanpa es, tunggu Jacky menambah sendiri.
Dengan nampan ia bawa kacang dan sirup melon ke ruang tamu, duduk di atas karpet berbulu lembut. Ia memagut bibir gelasnya dan teguk sedikit.
Lalu mencari secarik kertas cakaran atau apalah yg lain sebagai wadah kulit kacang. Ia mengintip lembaran kertas di tumpukan majalah game, PC.
Mary menarik kertas putih berupa cakaran sketsa, penuh coretan bundaran di sana sini. Tapi bagi Mary sketsa itu mengagumkan, sungguh menawan. Dibubuhi arsiran halus dan tipis. Juga ada yang kasar, gelap merupakan cermin bayang-bayang benda tersebut. Mengelitik hati Mary. Secara kasat mata ia tahu apa yang hendak dilukis oleh Jacky.


***
Lima belas menit berlalu.
Indra penciuman Mary hirup aroma sabun. Saat suara "kreeek" dari pintu kemudian "kreeek" lagi. Aroma wangi makin tajam di hidung Mary. Aroma yang selalu sama.
"Keren banget sketsamu, Jack," puji Mary. Segar. Bau sensasi rasa mint dari rambut Jacky. Menyerbak di sampingnya, "siapa dia...?" Mary memicingkan mata.
"My secret. Yang jelas, kubuat untuk orang yang amat kucintai," kata Jacky tegas, duduk bersila.
"Coba ya, aku punya calon suami kayak kamu. Bisa desain rumah kelak. Wadueeh... Bahagia rasanya. Dan itu berasa sempurna," menaruh punggung pergelangan tangannya ke pipi.
Jacky menekan kulit kacang, "Teg."
"Bukankah dia akan mendesain isi rumahmu."
Jacky menoleh. Mulutnya mengunyah kacang.
Dua pasang mata berembuk. "Itu yang paling utama. Kasih sayang, jaga keutuhan cinta dan..."
Saling tatap lekat-lekat. Beberapa detik.
"Teeeet...." Suara bel bikin jantung mereka seakan mau loncat keluar. Mary jadi kikuk sendiri. Jacky pula menggaruk-garuk kepala.
"Itu dia," Jacky pontang-panting berdiri. "Rumah yang sering kubikin rumah bohongan." Suara Jacky semakin terdengar pelan. "Mana bakalan sebagus untuk yang nyata."
Pintu terbuka.
"Sorry. Telat. Yayangku sudah tiba?"
Hari ini urusan kerja Redo di luar kota. Mereka janjian ngumpul cuma sekadar celoteh ria, jelang dua hari  pernikahan.

Jacky dengan Mary kenal sejak seragam putih abu-abu, sampai jenjang kuliah.
Mereka bertiga sering pergi nonton bioskop, liburan ke luar kota, kadang main-main di apartemen Jacky. Semasa ada Santi -adik Jacky- tinggal bersama abangnya.

"Dia kangen berat?" canda Jacky, "dengar, Mary?"
Bergegas Mary lari dan tertawa cekikikan.
"Nih, aku beli bebek panggang."
"Muuantap! Ini dia. Aku ambil piring dan bikin minumanmu," sambut Jacky penuh semangat.
Redo mengulum senyum. Menyambut tangan kekasihnya dan beriringan ke ruang tamu.
Jacky menenteng bungkusan ke dapur. Ia melarikan pandangan ke sahabatnya. Mereka beradu kasih, tangan saling bergenggaman serta canda gurau. Kelincahan gerakan Jacky melambat untuk sekadar menaruh potongan bebek ke piring.
Jacky mengendus Redo menyukai Mary ketika mereka mengenal Redo di satu kampus.
***
Pasangan pengantin memasuki gereja. Para undangan hanya keluarga, kerabat, teman dekat, teman kerja dari kedua mempelai.
Saat sesi pertukaran cincin.
Cincin siap disemat ke jari Mary. Namun terlepas dari jari Redo ketika ia hendak mengambil dari kotak cincin. Bergelinding ke deretan kolong kursi panjang gereja. Suara riuh-rendah menyeruak keluar dari para tamu undangan. Kedua keluarga mempelai jadi repot dan gaduh. Apalagi pihak keluarga Redo, mereka kebingungan.
Jacky menoleh ke belakang. "Apa mereka harus mencari cincin itu? Tidakkah bikin acara pemberkatan nikah jadi ricuh dan makan waktu lebih banyak." Ia membalik ke hadapan altar.
Keluarga Redo berhambur ke depan. Pendeta meluangkan waktu untuk mereka berdiskusi.
Jacky beranjak ke depan altar, menyampiri, kemudian sodor sebuah kotak merah. Kotak itu menganga. Sebuah cincin memancarkan sebersit kemilauan. "Nah, cadangan kalian."
Mary menggeleng-geleng."Aku gak bisa memakainya, Jack. Bukan milikku." Jacky meletakkan di telapak tangan Redo. "Lihat, aku penolong kalian kan?" Lalu menoleh ke arah Mary, "Pakai sehari aja, Mary!" Ia tersenyum.
Pasangan itu tak dapat menolak kengototan Jacky.
***
Terang mentari menyeruak dan panas bikin peluh keringat menandai baju. Tiupan angin menghembus dari arah timur.
Dilindungi oleh kokohnya bangunan gereja. Mary melambai-lambai. "Jack, Jack, sini," panggil Mary.
Jacky berusaha menerobos kerumunan tamu, berdiri di bawah tangga di halaman gereja.
"Klik."
"Sekali lagi, Wan," pinta Mary pada jurufoto.
"Ok," sahut Wawan.
"Kita pasang gaya ya," ucap Mary pada pria ganteng di sebelah kiri-kanan.
Mary membisiki Jacky, "Tarik lenganku lalu kita geser ke sana dikit."
Redo kaget, heran. Lentangkan tangan kanannya, "Lho, Mary!" pekik Redo tiba-tiba.
"Klik."
"Hahaha," tawa Mary dan Jacky. Redo tersenyum sungging.
Mary memegang lengan Jacky. Pipi kirinya mendarat ke wajah kiri Jacky. Ujung bibir menyentuh kulit si empunya.
"Thank for you," bisik Mary.
Redo mendatangi Jacky sambil menepuk pundaknya, "Terima kasih banyak, sob."
"O...ya, cincinmu," Mary coba melepas cincin.
"Masak pengantin tanpa cincin. Jangan takut! Gak pasang tarif sewa."
Ketiga orang itu terbahak lepas.
***
Setelah keliling belanja baju di Mall Taman Anggrek di Jakarta, Santi ajak Mary singgah ke restoran. Sekitar mereka berpijak sekarang. Santi pulang ke Indonesia, sela liburan musim panas di New York. Maka menyempati waktunya bertemu Mary.
"Kakak minta bantuanmu nih?"
"Apa tuh?"
"Ehm. Mumpung aku ingat. Titip ya, kasih ke abangmu," Mary serahkan sebuah cincin. "Sebulan bersamaku."
"Kenapa?" Santi menghela napas, "benar juga. Memang terasa berat ya, kak."
Alis Mary mengernyit, "Apa? Aku kok gak ngerti."
"Aku kadang ketemu Jacky. Tapi kakak selalu kelupaan melulu bawa cincin ini."
Santi terperangah. "O... Bukan dia memberimu? Jadi... bukan...?" Mary menyela dan melotot, "Dia pinjami ke aku."
Raut muka Santi menyiratkan pelbagai kegundahan.
"Kenapa, Santi?"
"Saya tahu, kak," Santi menarik nafas lalu hembus, "ini sudah lama. Abang Jacky bakalan marah padaku."
"Katakan, San? Kamu secara halus telah beritahu rahasiamu!"
"Cincin itu," seorang pelayan wanita menyajikan dua es krim di meja. "Terima kasih," ucap Mary. Dengan senyum mengembang, ia meninggalkan mereka.
"Milikmu, kak."
Mary mematung cenganga. Seolah salah dengar. "Aku?"
Santi mengangkat wajah dari tatapan ice cream-nya.
"Waktu abangku mau nyatakan perasaannya dan kasih ini..." mata Santi terpaut pada cincin, "But, abang Redo duluan melamarmu."
***
Di sela pesta kecil ulang tahun Mary.
Jacky mengajak Mary ke halaman belakang rumah.
Jacky memikirkan kata-kata yang tepat dalam pikirannya. "Hei, Jack."
Lama Mary menunggu, "Jacky Naumaro!"
Jacky membuang nafas. "Aku mikir sejak lama." Berpikir lagi sejenak. "Aku punya rencana. Dan sudah kupersiapkan," katanya lagi, dengan yakin.
"Kenapa denganmu, Jack, malam ini? Apaan?"
Jacky menyusupkan tangan ke saku celana kanan. "Aku mau kamu tahu suatu hal penting."
Mary serius menyimaknya.
"Mary, Aku... Pernahkah di hatimu ada semacam rasa..."
"gini... perasaan..."
Disaat itu Redo datang menyempil. Ia menyosor Mary sebatang mawar merah dan sebuah cincin.
Penerima mawar itu terkejut sekali.
Lalu Redo bungkukkan badan, "Lihatlah!"
Mary membuka kotak kecil dengan permukaan beludru, dalamnya kain sutera berwarna putih. Tertancap cincin yang makin kemilau oleh pancaran cahaya lampu. Redo menyematkan di jemari manis Mary. "Tolong bantu aku, pertimbangkan lamaranku!"
Tanpa sepatah kata ngalir keluar dari Mary.
"Aku gak desak kamu mesti sekarang jawabanmu."
Jacky mundur menjauh. Tangannya masih bertengger di dalam saku celana. Bersandar lesu ke dinding tembok.
***
"Tentu abangku ingin pernikahan kak Mary utuh."
Jemarinya kosong. Ia endap cincin pernikahan. Hindari lecet, tercecer. Pokoknya tak mau terjadi hal buruk.
Cincin dari Jacky melingkar di ruas tengah di jari manis Mary. Ia amati lebih dekat dan baru sekarang ia perhatikan seksama. Benda itu didesain serupa huruf M. Bertahtakan berlian dengan ujung batang huruf M dibuat nyaris terhubung. Sehingga menyerupai bentuk "love". Di pusatnya dipadu batuan kristal berwarna kebiruan.
Mary mengangkat dagunya.
Santi bersitatap dengan Mary. Ia mengganguk pelan,
"Mungkin sebagian orang tak sependapat denganku. Menurutku, kak Mary berhak untuk tahu. Saya sadar hal ini tidak etis dibicarakan lagi." Santi berucap lagi, "Walau abang Jack mewanti-wanti saya."
"Dulu saya tanya abang Jack, apa yang akan lakukan pada cincin itu?"
"Sahabat abang tolak terima kado. Cuman minta doa."
"Jadi abang mau kasih sebagai hadiah pernikahan saja."
Mary puntar-puntir cincin. Terpesona. Bimbang. Pada dua pilihan. Kembali atau simpan.
Ia tersenyum tipis.
"Maafkan aku, baru melihat cintamu di malam itu."
***
"Kata kak Mary begitu, bang Jack."
"Huh, adik pemberani."
"Aku tahu."
Senyum sungging merekah di pinggir bibir Jacky, Diikuti kerutan bulan sabit terbalik.




No comments:

Post a Comment