Tuesday 12 November 2013

Beibe, Susah Move On

Ia memunggungi buku-buku tebal dan berat dalam tas. Sinar tajam memayungi sepanjang perjalanan. Bulir-bulir peluhnya mengaburkan aroma parfum yang ia semprot tadi pagi.
Ruang tamu berasa gelap manakala Cilla menginjak kaki. Ia buang tas punggung merk Export ke sofa. Lalu merebahkan badan. Di kantong baju, ia mengeluarkan HP. Jempolnya saling adu cepat memencet tombol keypad.


Seorang perempuan menyingkap tirai kain di pintu dapur, sebagai pemisah ruang tamu, "Cilla... Buka dong sepatumu di luar."
"Capek aku bah, Ma."
"Cilla..."
Putrinya melangkah membungkuk, tangannya terguntai-guntai.
Di teras, teronggok sepeda motor. Ia melepas tali sepatu.
"Mama tak mau jemput. Ijinkan aku bawa motor?"
"Sekolahmu dekat rumah kok."
"Panas gitu," rengek Cilla ditambah cemberut.
"Pakai payung bah."
"Aissh."
Kemudian menenteng sepatu dan HP-nya ke dalam rumah, susun di rak sepatu.
Ibu Cilla tahu putrinya masih kesal karena semalam.

Tok... Tok... Tok...
Ibunya teriak, "Cilla..."
Suara rendah dari dalam kamar, "Hmm."
"Ayo, keluar! Ada sate. Papa bawa untukmu."
"Ya..."
Suara pintu menderit.
Cilla menemukan sebuah kotak hitam geletak di meja tamu. Ia mendekati.
Wajahnya berbinar. Tersontak bukan main. Secepat kilat ia mencari seseorang.
"Punya siapa BB neh, Pah?" Cilla angkat tinggi kotak BB, masih lekat dengan segel hologram dan tangan satunya pegang HP.
"Papa beli BB?" diiringi pelototan mata milik perempuan berkepala empat.
Ayah Cilla diam sesaat. Tusukan sate ayam nancap di sela gigitan. Bagian dalam tusukan tersisa potongan kulit yang terbakar gosong.
Ia tatap ke wanita dewasa, "Nggak," lalu beralih yang lebih muda, "door prize ulang tahun kantor."
"Dapat BB, Pah?"
"Iya."
"Jadi, kasih saya, Pah?"
"Iya."
Cilla meloncat girang dan tersenyum lebar.
"Tapi...  semalam saja."
Senyuman itu kembali garis datar, "Lho, kenapa, Pah?"
"Kayaknya cukup semalam Papa kasih kamu peluk."
"Papa... Aku mau BB, Pah."
"Kamu lihat sana!" Ayah Cilla mengerling ke istrinya. Dari tadi istrinya menatap menohok terhadap suaminya.
"Ma... Kenapa?"
"BB dijual ke teman kantor Papa saja deh."
"Kenapa sih, Ma? Gratis lho nih, Ma. Mama kan suka banget barang gratis."
"Mama rasa kita sudah jelas ya."
"Aiissh. Parahnya. Garing," Cilla memoncongkan bibir, "Mama pasti gitu."
"Keluar uang beli BB gak dibolehin. Sekarang, dapat hadiah BB malah dijual. Mama curang. Pelit ...!!”
Cilla menjauh dari meja makan.
"Dek, kamu gak makan?"
Ayah Cilla menukas, "Nah kan, ngambek lagi."
Cilla menaruh kotak BB. Lalu raih remote TV. Di tangan kiri membuka aplikasi ikon f di layar HP-nya. Sebelah kanan pula sibuk memencet tombol program TV.
Ia terhenti pada pemain wanita yang sedang melotot. Mencak-mencak marahi lawan mainnya. Tak lama kemudian jeda iklan.
Cilla perhatikan HP-nya. Teman facebooknya malam ini banyak meng-update status. Sayang, Cilla tak bermaya mengomentari. Yang ia lakukan menutup aplikasi itu serta TV.
Matanya berembuk pada kotak BB ketika meletakkan remote. Ia menarik nafas panjang. Sejurus itu, "Hummm..."
Ia ke kamar tidur. Rebah di pembaringan.

Cilla nyampiri orang tuanya sedang bersantai menonton TV.
"Untuk apa beli BB?"
"Kalau ada tugas sekolah, Pah."
Alis Ayah Cilla mengerut, "Tugas kan kerja di laptop."
"Iya," kata Ibu.
"Kenapa sih aku gak dibeliin BB?"
"Pertanyaan itu gak pantas diomongin deh. Mama hampir berliuran mengocehmu terus."
"Kamu tahu kan HP-mu sekarang lengket di tangan kayak lem UHU. Mama sita pun kagak mempan. Jika ada BB, Mama gak tahu lagi," Bu Usive memijit dahinya, "Hadeuh..."
"Teman-temanku semua pada punya. Aku saja gak ada."
"Lalu kamu wajib punya gitu?"
"Kadang guruku ngasih tugas lewat email, Ma."
Bu Usive mendekati anaknya. "Anak mama tetap juara kok tanpa BB. Selalu tiga besar," seraya mengelus rambut Cilla. "Dapat beasiswa tunai," sambung ayahnya.
"Iya... Coba uang tuh beli BB," gerutu Cilla, "Mama pula yang pegang uang tuh."
"Aduh, sayang. Uang milikmu Mama gak hambur kemana-mana, Cilla," ujarnya. "Mama simpan buat uang sakumu lho!"
"Mimpimu mau lanjutin kuliah ke Australia kan, ketemu kangguru?"
Anak tunggal itu memilih monyongkan mulut daripada membalas guyonan ibunya.
"Mama gak pakai untuk beli DVD drama Korea kok," gurau Ibu Cilla, mengedipkan sebelah mata.

Di kamar, Cilla mengeluh.
Verren, calling aku dong. Pulsaku sekarat.
(Pesan telah dikirim ke Verren)
Verren memanggil... (kusuka dirimu kusuka... )
Cilla tekan tombol berwarna hijau.
"Lu kenapa?"
"Aku bete nih, bete!"
"Bete sama Haris? Apa lu diputusin?"
"Huh... Enak aja lu."
"So, apa dong? Gua kan gak bisa baca isi hatimu, Syl."
"Hampir aja aku punya BB. Tapi..."
"Whats? Really. Invite gua yah. Berapa nomor pinmu?"
"Asyik! Bisa dong kita BBM-an."
"Halo, halo, tes, tes."
Cilla menjawab lemas, "Ha... lo."
"Kok diem sih? Apa BB-mu jatuh?"
"Ya enggaklah. Lu sih nyerocos melulu. Gak tanggapin omonganku," gerutu Cilla, "kau tau kagak..."
"Nggak."
Cilla mendesah, "Verren..."
"Okey. I'm sorry."
"Aku bilang, hampir punya BB."
"Maksudmu?"
"BB tuh nginap semalam doang."
"Apa, jelasin dong?"
"67%-90.=*")/:;!'-*"(=# bla bla bla."
"Oh... Begono. Kasiannya lu."
"Arggh, Verren...! Coba kau hibur aku dikit dong. Masak cuman kata itu saja darimu."
"Jadi, gua harus gimana lagi dong? Beliin kau BB gitucch..."
"Hahaha. Boleh juga tuh, Ren."
"Arrrgh..."

***

Pukul 6. Titik-titik air menurun deras nggelabui tanggisan air mata di pipi Cilla. Ia tak hirau pada rambutnya, berat massa air pada pakaiannya.
"Aduh, Cil! Kenapa hujan-hujanan sih? Gak naik angkot?" tanya ibunya.
Cilla meluncur membisu.
Ibu Cilla bengong. "Kenapa dia cuekin Mama satu-satunya?" batin ibunya.
"Dua hari. Masih ngambek kepadaku? Barusan jalan sore sama Haris, biasa aja."

***

Cilla membuka halaman 16. Rubrik kesehatan, koran Tengkayu Pos terbit hari Minggu. Terlebih lagi fokus mata jatuh ke kolom konsultasi psikologi. Dengan cetak tebal, Susah Move On.
Salam, dr. Lina.
Seminggu ini saya pusing bangeet. Pacarku mutusin saya secara sepihak. Dia gak beri alasan. Lagian dia duduk sekelas denganku dan sebentar lagi bulan April mau ujian? Gimana nih singkirkan kepahitan hatiku mana dekat ujian? Terima kasih.
Xxx, Tengkayu.
Salam, masalahmu ribet yah. Sad ending. Mantan pacar sekelas lagi. Rasanya mau pindah saja. Entar berurusan dengan kepala sekolah. Tapi perasaan sakit hati itu normal kok dan tidak bisa berantas dalam sekejap. Perlu waktu.
Perlakukan dia biasa saja sebagai teman sekelasmu. Alihkan kegundahan hatimu ke ujian. Malah timing ini membantu kamu memecahkan konsentrasimu  pada si-ex ke belajar dan ujian. Dengan begini, dapat kurangi rasa sedih dan kecewa di hatimu, girl. Buktikan diri kamu baik-baik saja, tunjukan prestasi belajarmu. Atau kamu curhat kepada teman terdekat kamu, maupun ibu. Memperbaiki lubang-lubang hati kamu. Diisi perhatian, kasih sayang dari orang sekelilingmu.
Selamat berjuang.

***

"Papa."
"Apa, Ma?"
"Kenapa ya sama anak kita? Semakin galau aja deh."
Istrinya melanjutkan, "Dua minggu, Pa. Bawaannya kusut melulu. Biasa cukup satu hari dia ngambek."
"Kali aja benaran marah dia padamu, Ma. Mungkin si BB."
"Perasaanku bukan mengatakan seperti itu," kata istrinya, "pasti sesuatu terjadi pada dia."
"Apa perlu aku tarik kembali BB?"
"Aisssh, Ayah Cilla!!"

***

Cilla dan ibunya nongkrong  depan TV, menertawai lelocon dan tingkah konyol para wayang Opera Van Java.
"Lho, Ma. Kok ada DVD player?"
"Aduh... Sayang, sudah dua minggu di situ."
"Hah!"
"Kau lagi galau jadi kurang update sekelilingmu." Bu Usive memandang anaknya.
"Cilla, sudah baikan?"
"Apa, Ma?"
"Kamu putus?"
"Ma?"
"Feeling. Dan terakhir dr. Lina."
"Mama baca semua?"
"Sayang, fokus ujianmu dulu yah. Makanya Mama batasi kamu pacaran. Gak setuju sama Haris. Mama takut kamu gak bisa kendalikan rasa sakitmu."
"Aku gak sebodoh itu, Ma."
"Curhat dong bareng Mama."
Cilla memanggut.
"Tuh player gantiin BB, ada mic lho. Kamu suka nyanyi kan?"
Cilla menyalakan DVD player baru, "Karaoke, Ma?"
"Ndak. Buka drama Lee Min Ho, Cilla?" Anak perempuannya menoleh lesu. "Gaklah. Buka laci lemari, ada karaoke JKT 48!"
"Asyik..."
Semerbak aroma khas martabak menyeruak bebas dalam ruangan.
"Papamu pulang."
"Heeh. Kecium bau martabak," sahut Cilla.
"Ada tamu."
"Cilla." Suara itu di belakang ayah Cilla.
Bu Usive berseri, "Duduk sini, Pardi.." beranjak ke dapur.

Ibu Cilla muncul di balik tirai, bawa beberapa garpu, minuman kaleng dan air putih.
"Cilla, kamu mau Beibe? Kala..."
Namun bertepatan dengan itu, ayah Cilla menyusupkan acar timun ke dalam mulut adik iparnya. "Makan, Di."
"... ou," Om Pardi menggigit-gigit sambil lirik nyengir pada iparnya. Menahan mangkel.
Kakak perempuan dan kemenakannya terkekeh.
"Jangan singgung BB, okey! Mari kita berkaraoke sampai larut!" gelak ayah Cilla.
"Memang ada apa sih?" desis Pardi.

***

"Papa gak pakai?"
"Entahlah, Papa kok gak minat."
"Kalau gitu kasih Cilla, Pah?"
"Kasih kamu. Bagus kasih Mama makai!"

Cilla dan ayahnya melempar pandangan ngenyek, berseru, "Mama gaptek gitu!"




No comments:

Post a Comment