Monday 27 January 2014

Prasmanan

Acara hantar mas kawin ke rumah mempelai wanita molor jadi jam 9.20 dari kesepakatan. Rombongan kerabat mempelai pria berbondong-bondong jalan kaki. Orang tua, kakak-adik mempelai pria berjalan di garda depan. Mengiring mas kawin satu set perhiasan. Dua keranjang dari rotan, bertingkat tiga, berisi makanan, dan keperluan lain menurut turunan adat istiadat. Salam bersalaman orang yang berdatangan dengan sambutan sanak saudara mempelai wanita.

Tamu wanita berdandan tebal ada memulas simpel saja, dress selutut, tak lupa high heels. Para pria tampil dengan kemeja, rambut diberi gel atau minyak rambut. Begitu juga anak-anak kecil berlari kecil, bermain dengan seumuran mereka atau sesama kerabat.

Beberapa orang dewasa mengelilingi meja panjang bertatakan udang goreng tepung krispi, cap cai, rendang, sate ayam, acar, buah, puding dan minuman es buah.

“Mana pengantinnya?” seru salah seorang asisten Bo's Photograph.
Pengantin pria celingak-celinguk cari seseorang yang akan dampinginya foto bersama.
“Pengantinku hilang!”
Para tetamu tertawa gelak. Keluarlah pengantin wanita dari kamar. Membawa dua kursi. “Aduh, pengantinku main sembunyi.” Ia tersenyum sipu. Lima menit lalu ia bantu sepupunya mencari bangku untuk tetamu.
Pemotretan berlangsung lagi.

“Tante gak makan?”
Gadis itu mengunyah makanan dalam mulutnya.
“Gak. Aku kenyang.”
“Kenapa gak makan, tante? Tuh sudah gak banyak orang yang antri,” tunjuk gadis itu ke arah meja prasmanan.
Anak ini dua kali tanya padaku. Anak perempuanku jarang menanyakan aku seperti itu. “Aku masih kenyang. Aku keluarga dari perempuan yang nikah itu.”
“Oh...” Aku hanya basa-basi saja. Habis, gak ada teman ngobrolku.
“Mamanya adalah adikku.”
“Mmm.”
“Mau kuambilkan semangka, tante?”
“Tak perlu. Ini...” katanya seraya menunjukkan buah lengkeng.
Gadis itu mengganguk. Salah seorang kerabat pengantin wanita mungkin tantenya juga, menawari kami bolu kukus apel dan buah lengkeng.
Tante di sebelah gadis itu berbagi lengkeng ke teman sebelahnya.

Para undangan sebagian selesai makan. Mereka meletakkan piring di bawah bangku masing-masing.
Gadis itu membawa piring kotornya masuk ke dalam dapur. Kembali ke asal tempat duduknya. Keluarganya kebagian tempat di seberang. Dan hempaskan badan ke atas kursi plastik. Sebelumnya merapikan bawahan gaun merah jambu.
“Umurmu sekarang berapa?”
“35 tahun.”
“Oh.. kamu terlihat muda. Wajahmu imut-imut. Anakku 39 tahun. Aku suruh dia cepat-cepat nikah. Sampai sekarang aku belum dapat menantu. Aku seperti ibu hamil tua. Ngidam banget.”
“Maukah kau kukenalkan kepada anakku?”
Gadis berambut gaya bob itu tertawa dalam hatinya. Nyaris ngeluber keluar. Namun sempat menahannya. “Tante yang benar saja.”
“Auw, iya. Kenapa?”
“Kami belum kenal sama sekali. Tidak ada rasa suka.”
“Ah... Itu kan bisa dipupuk pelan-pelan. Aku dulu menikah, tidak mengenal suamiku sekarang. Kami jodoh lewat perantara orang tua. Toh nikah juga.” Uban putih menghiasi rambutnya. “Pertama memang tak ada cinta. Tapi lama-kelamaan tumbuh juga benih-benih perasaan itu.”
Hahaha. Lucu tante satu ini, pikir gadis itu.
“Cherdy... Cherdy...” panggil tante di sebelah gadis itu.
Cherdy? Apa dia panggil anak perempuannya?
Nongol seorang lelaki di pintu samping. Rambutnya klimis disisir kiri ala David Beckham. Berkemeja putih, kerahnya berwarna hitam dipadu dengan celana jeans coklat tua. Keren. Waw...

Di mata gadis itu, lelaki yang baru ia lihat nyaris sosok idamannya sejauh ini. Tak ada cacat sekalipun. Paling 'cacat' di kacamatanya. Bingkai kacamatanya berwarna putih keperak-perakan. Kayaknya kacamata itu bukan kelemahannya. Bahkan menambah nilai plus pada dirinya.
Namun... sedikit kejanggalan nyangkut di hati gadis itu. Cherdy... Aku paling gak kuat dengar nama seorang pria rada kefeminiman.

“Kenalan dong,” kata ibu lelaki itu.
“Cherdy.”
“Saya Cherry.”
“Tatapanmu menyiratkan...,” ibu Cherdy mencium sesuatu sedang terjadi..
“Wajah memerah layaknya namamu.”
Gadis itu benggong. Setelah ia sadar. Hawa panas membumbung tinggi sampai ke ubun-ubun.
Si tante cekikikan, xixixi.
***
Cherry melirik sekilas pria tampan itu. Ia sedang asyik bincang dengan kenalannya, setelah menepuk bahu Cherdy. Mau tak mau menyapa sebentar. Tiba-tiba ia menoleh. Buru-buru Cherry berpaling.
***
Cherdy cegat di hadapan Cherry, “Mau kuantar?”
“Ngg?”
“Mama menyuruhku mengantar kamu pulang.”
“Bagaimana dengan tante?”
“Dia masih di sini. Ngobrol sama keluarga. Gimana?” Belum ada jawaban, Cherdy bertanya, “Boleh?”
“Aku bersama rombongan keluarga, jalan kaki. Rumahku dekat aja kok beberapa rumah.”
“Gak napa-napa. Aku mau ngantar, meski dekat. Coba ngomong sama mamamu.”


Tak pernah kualami, indahnya semacam nih.




No comments:

Post a Comment