Friday 14 February 2014

In The Straight Road

Ku angkat salah satu ujung tumitku. Ambil sedikit sisi bangku. Aku sengaja berjemur di Sabtu pagi, untuk menguatkan tulangku.

Indra penglihatanku mengikuti seseorang di seberang. Gerakkan kaki kiri, giliran kaki kanan. Berulang secara kontinu. Tiap hari di jam 8. Kadang tepat, kadang lewat puluhan menit. Siapakah gerangan? Senantiasa kupapas kulit putih orang itu, saat ini ia berkemeja motif tartan ala Scotlandia, celana panjang dari bahan kain dan sandal.

Daun-daun kering menguning melepas dari ranting. Satu diantara mereka hinggap ke atas rambut hitam, lebat dan mengkilap.
Seiring langkah lelaki itu. Daun kering tersebut tersungkur ke bahunya. Sampailah permukaan tanah.
***
Bata semen segi enam kususuri. Tak memenuhi trotoar. Berlubang-lubang. Meski ada yang terbelah. Jalan raya sedikit kendur.
Trotoar yang nuntun aku ke pundi-pundi uang, Toko Electro. Aku merasakan sepoian angin meniup ke wajahku. Celana hitam jahitan tangan tak mampu melawan arus angin. Sesekali aku kejap-kejip mata. Debu pasir beterbangan. Apakah jalan di depanku aman? Ada orangkah? Alih-alih aku takut kesandung mendadak.
Aku menyipitkan mataku. Aku tahu pasti lubang itu akan hampir dekatku.

-000-

Pintu besi pemilik toko merapat kala senja. Namun saat ini mereka-para penjaja baraang dagangan-belum berdatangan. Sedang meramal di rumah mereka. Apa akan hujan atau reda?

Kesehari-harian, para pedagang asongan menjajakan seluruh barang. Penuh warna nan mencolok. Peralatan dokter, dapur imitasi berbahan plastik. Pakaian bekas pakai atau murah, aksesoris perempuan. Lebih tertera cetakan “Made in China” di lapakan.

Udara sejuk, awan merah kekuning-kuningan di kegelapan malam dan seperti berdegup-degup. Dalam ruang 3x3 meter, belakang lemari kaca. Aku berdiri. Seorang perempuan melenggak di pusaran pengguna jalan dan para calon pembeli.
Ia pendek. Rambut sebahu dan menyisakan poni tebal di atas alis. Celana jeans 3/4 permanis bentuk tubuh mungilnya dan bergerak lincah melenggak-lengok bak seorang model di catwalk. Berkaos hitam.
“Ko, berapa TV 29" ini?”
Pemilik toko diam mematung.
“Engko...”
“Sebentar yah, Bu,” jawab karyawati toko itu, “Bos...” panggilnya mengagetkan majikannya.
”Aa...”
“Ibu tuh tanya TV ini berapa?”
Lelaki itu membungkuk. “Maaf!”
“Engko malam minggu melamun.”
“Yang ini ya? Dua sembilan.”
Ibu gemuk itu mencoba menawar. “Kurang lagi.”
“Dua delapan?”
“Mentok lima puluh ribu. Bisaku segitu saja. Saya gak ambil banyak untung.”
Aku celingak-celinguk. Ia menghilang.
***
Malam minggu. Ahhh... Malam yang panjang. Benar jua kata orang. Menurutku ada benar. Malam yang lebih lama dari hari biasa aku leluasa membaca di toko buku. Mereka tutup setengah jam lebih lambat.
Aku mengingati diriku sendiri, “Tiang pertama. Ingat di depan restoran Aneka Rasa.”
Aku melangkah. “Dua.”
Terus berjalan. “Tiga.”
“Empat.”
“Lima.”
“Enam.”
“Tujuh.”
Sampai di bangunan MediaGaul.
“Delapan.”
“Berarti sekitar 400 atau 480 meter dari rumahku.”

Udara dingin. Genangan air di lubang-lubang jalanan. Bata persegi enam yang sudah tak merata. Naik dan turun. Senja tadi awan dipenuhi air menguyur permukaan ini. Tanah di gubangan jalanan menghisap air hujan.

Aku naik ke lantai porselen. Disambut kata, “Selamat malam!” oleh seorang lelaki muda bermata belok. Tersenyum ramah.

Aku balas.

Mulai menggembara ke pajangan buku-buku. Di hadapan rak Novel, aku tertarik khususnya best seller. Seperempat jam aku menjajal rak-rak buku.

Aku bawa bacaanku. Tanpa 'baju' plastik mengusik pengunjung sebelumnya untuk menyobek sampul itu. Lalu aku mutar kiri, ke MiniResto 'Gaul'. Di depan meja counter, aku berkata, “Wedang Jahe. Hanget yah.”
“Baik.” Pelayan itu senyum lebar.
Wedang jahe di hadapanku. Aku bayar pesananku.

Aku singkap lembaran pada bab Prolog. Pilih bangku dekat jendela tembus pandang MediaGaul.
Hanya lima orang termasuk aku di restoran ini.
Suasana dingin rupanya tak menyurut semangat pengunjung. Mereka mulai penuhi toko buku.

Di resto yang ku duduk sekarang.
Aduh... Kenapa sih perutku mendadak gak enak. Pengen buang angin melulu. Aku terus membaca. Tunggu! Wedang jaheku. Sayang kan terbuang percuma.
Makin lama perutku mules. Aku tak mau. Sebelum suara itu nyaring mengeruak. Bau menguar. Harus  pulang. SEGERA. Minggu depan kusambung.
Lalu aku sengaja menaruh buku ini di  pojok rak supaya aku ingat minggu mendatang.

Manager MediaGaul memotong jalanku tapi ia terpaku dan mempersilakan aku. Di bawah kacamatanya terbentuk senyuman. Aku mengangguk. Aku melenggang keluar. Aku yakin dia sangat mengenalku dengan baik.
***
Tak banyak pembeli datang ke toko malam ini. Bukan tanggal tua. Apa cuaca dingin, malas keluar.
Aku  menarik pintu besi. Bertepatan  melihat seseorang... Rambut panjang, berkulit sawo matang.
***
Aku jalan kaki, pulang awal jauh dari rencana. Kudengar suara tarikan pintu besi merapat keras. Seorang pria mengunci pintu.
***
Aku membalikkan badan. Mataku menyapu kerumunan orang. Fokus retinaku memusat pada seseorang melintas tadi.
***
“Orang itu kenapa lihat aku? Mandang aku terus...”
***
Ia perhatikan aku sambil berlalu.
***
Cahaya lampu depan mobil menyilaukan mataku. Tiiiiitt... Aku menghindar.
***
Mobil hitam itu menghalangi pandanganku. Begitu pula kami.
***
Belakang mobil baru saja menjauh dari wajahku. “Apa ia masih di sana?” Beat jantungku...dari ketukan pelan menjadi cepat.”
***
Bola mataku, kau, berserodok. “Dia masih memandangku.”
***
Salah satu penerangan menyoroti jalan raya. Pria tua berkulit gelap nyandar di tiang lampu. Tinggi menjulang. Kebagian pendaran cahaya. Duduk bersila. Ia memejamkan mata, lenturkan tubuhnya lemah gemulai. Mengayun dengan iringan petikan jari. Seolah ia seorang terpencil di suatu tempat luas yang tak berpenghuni.

“Petikan senar si empunya jemari besar dan lengan kokoh. Tak tahu apa nama alat musik itu. Sejenis gitar. Mengalunkan nada-nada lembut.”
Mungkin inilah sebagian orang bertanya-tanya, tak terkecuali aku.
***
Jantung di dadaku berdegup. Meronta tak normal. Mengapa pula tatapan kita rembuk dan lama...
***
Apakah aku perlu menghampirinya.
***
Kakiku tertegun. “Ngapain sih aku bengong?”





No comments:

Post a Comment