Saturday 8 March 2014

Chatra

       Terima kasih. Cinta dan kerinduan terbesar di hidupmu.

Dia merentangkan tangan, “Tunggu!”
“Biarkan, aku, Rei.”
“Kasih aku sedikit waktu.”


 Dicky, kakak kelas Rei. Beberapa helai rambut depan keluar dari lubang bagian belakang topi sekolah. Rambut halus tumbuh di bawah hidung dan dagu. Kerah baju seragamnya sengaja tak dilipat. Lengan kirinya sandar di ambang pintu kelas. Asyik ngobrol bareng teman Rei.

Adik kelas yang lewat pada melirik ke Dicky sambil lempar senyum. “Coba aku jadi dia di situ,” batin Rei, lagi duduk di bangkunya. Ia memain-mainkan pulpen putar ke kiri dan ke kanan.

Lalu Cha Cha masuk, Rei berangan-angan di siang bolong. Apakah perutnya masih lapar? Padahal sudah diisi sepiring nasi goreng Mbok Sukanik. Dia mengucek-ngucek mata, Apa aku gak salah lihat? Benaran mimpikah aku?

“Chatra!”
“Hai, Dicky!” balas Cha Cha datar.

Cha Cha menelusuri lorong bangku kelas. Tersenyum di depan Rei. Maka dia balas dengan senyum best of the best miliknya. Semakin Cha Cha mendekati samping Rei. “Dug Dug, Dug Dug... Dug Dug...” suara degup jantung Rei.

“Vimer,” panggil Cha Cha, murid kelas I-1.
Vivin, Mely, dan Rika serentak seru, “Halllooou.”
“Jadi... tadi itu,” Rei bengong dan menggertakkan gigi, “sial.”
Mau saja Rei memakai topeng dari tarian topeng yang mengganti ekspresi mimik muka.
“Cha, ada cerita lucu,” Mely buka suara di belakang punggung Rei.
“Apa?”
“Di kantin kita ketemu Leon. Anak kelas I-5, culun itu.”
“Iya. Langsung aja kita todong dia,” ujar Rika.
“Sama apa?”
Mely ambil alih pembicaraan, “Traktir 3 mangkok bakso, 3 es teh.”
“Lagi?”
“Iyalah. Dia kan anak pejabat. Kalau incar gue, ya rela berkorban dong,” celetuk Vivin.
Empat siswi itu tawa ngakak.
“Trus, kapan dong kamu kasih jawaban ke dia?”
“Entar deh, Cha. Lihat dia bersaing sama Samson,” jawab Vivin enteng.
“Huft... Aku gak kebagian. Udahan, aku pulang ya,” Cha Cha tengok jam tangannya. “Waktu istirahat tinggal mepet. Nih, buku sejarahku. Selasa depan jamku lho!”
“Iya. Kuingat. Dia kembali hari senin,” tandas Vivin.
Cha Cha senyum dan mengedipkan mata. Tiiing.
Ketika memutar badan, dia merasa mengenal foto itu...
“Kau... Foto aku, diam-diam?”
Jantung Rei nyaris meloncat. Kemudian menghela nafas, “Nggak.”
Cha Cha menunjuk ke tangan Rei. “Kenapa ada di dompetmu.”
“Ini... Foto kita liburan semester lalu kan?” Rei sambung lagi, “Kau nimbrung sama Vivin cs.”
“Apa maksudmu...”
“Potong-potong foto itu. Kenapa sisa aku seorang. Lalu... Ngapain kau...” omel Cha Cha.
Siswa-siswi budiman cuman perhatikan gelagatan dua anak muda itu. Rei gelalapan, “Terserah aku... mau ngapain.” Dan berusaha keras menyembunyikan kegugupannya, “Gak kupelet.”
“Kau!” pekik Cha Cha. Ujung nadi Rei selamat oleh bunyi bel sekolah.
“Awas loe yah! Kutemui loe. Malam-malam.”


Kenaikan kelas 2 Sekolah Menengah Umum. Rei kebagian tempat duduk paling depan. Dia pasrah, paling tidak dia bisa mencuci mata. Gara-gara terlambat datang pada hari pertama, bangku belakang penuh.
“Kursi ini kosong?”
“Iya,” jawab Rei santai seraya mencari polpen di dalam tasnya.
“Boleh duduk sebangku?”
Rei menoleh ke sumber suara halus itu.
“Kita,” tambah Cha Cha.
“Maksud kamu?” Rei terkesiap, salah tingkah. “Eee... Kamu gak takut?”
“Kamu gak ganggu aku kan?”
“Haha.” Rei seringai lebar, “Nggaklah.”
“Yah udah. Mataku minus. Jadi kalau di belakang, pandanganku agak sulit.” Cha Cha lirik ke kanan. Baris kedua masih sisa satu bangku kosong.
Rei jadi ingat tahun lalu Cha Cha duduk paling depan. Ia mengangguk kencang.
“Kau gak ingat daku?”
“Kau, emang pernah kita bertemu.”
“Benar. Lupa?”
“Walaupun pernah, aku gak mungkin ingat muka 100 murid di sekolah nih kan.”
“Baiklah,” dengus Rei.
“Cowok mudah ngambek,” desis Cha Cha.


Lingkaran merah tertera di ulangan harian Matematika Rei. Menoleh ke sebelahnya. Cha Cha memandang kertas itu. Cepat-cepat Rei tutupi dengan bukunya.
“Siapa dapat nilai rendah, ketemu minggu depan.” Bu Nunung susun rapi buku-buku di mejanya. “Test ulang. Siapkan jauh hari belajar di rumah yah!”
Semua murid kelas II-3 berseru, “Huh...”
“Rei, aku bisa ngajarin kamu.”
“Hah.”
“Aku gak sengaja lihat hasilmu.”
“Kamu... Bisa. Maksudku waktumu?”
“Tenang.”


“Masuk!”
Jam 2 siang, hari Minggu adalah disepakati oleh Cha Cha.
“Wah... Ini ruang belajarmu, Cha? Luas banget, mirip perpustakaan.”
“Bukan, papiku.”
“Banyak komik?”
Cha Cha  tersenyum jengah.
“Kita gak belajar di ruang tamu?”
“Gak papa kok.”
“Nggak enak.”
“Gak papa. Gak ada orang. Tinggal aku sama mbok.”
“Ortumu kemana?”
“Napa? Mau ketemu?”
“Ah... Kamu, bisa aja.”
“Lagian, ini malam belum malam minggu.”
Rei melongo, “Hah...” Rei nyegir doang. Mengusap jidatnya mulai basah.
“Kamu gak takut aku mencuri barangmu?”
“Curi apa? Silakan aja!” seloroh Cha Cha.
“Kalau kucuri hatimu?”


Bau aroma pizza masuk ke dalam ruangan.
Belum lama disini, udah disuguhi makanan, bisik Rei.
Cha Cha pegang sekotak pizza. “Makan yuk, Rei!”
Aduh, Rei! Otak kamu kok lamban mikir sih Rei. Masak ke rumah Cha Cha gak bawa sedikit cemilan kek. Rei hentakkan tangan ke dengkulnya.
“Kenapa, Rei?”
“E... Gak. Nih, soal yang ini aku bingung.”
“Mana? Sini kubaca.” Cha Cha meraih buku paket Rei.

Pertama, sejak sore itu. Di pertengahan tahun 1997.
“Kamu gak berubah. Masih muda. Karenaku, aku juga tak bisa melihat perubahan wajahmu. Setelah lulus SMU, lulus kuliah. Bagaimana pula rupamu dalam 10 tahun, 15 tahun kemudian, 20 tahun sampai kamu menua.”
Cha Cha duduk di atas tepi dinding, lantai paling atas. Kakinya goyang-goyang, seperti bermain air di tepi kolam renang.
“Cha Cha, aku mohon jangan duduk di sana, jatuh nanti!”
“Seandainya aku terjatuh. Apa kau ikut?”
“Maafkan aku.”

Minggu ke-2
“Aku dulu pengen punya pacar gagah, rambutnya berantakan gitu.”
Rei beranjak dari alas kardus. Pergi ke sudut, membuka air kran. Ia membasahi rambutnya.
Ia menghampiri Cha Cha. “Gimana, mirip orang yang kau cari?”
“Sedikit.”
Lalu tertawa garing seiringan.
“Tapi aku suka lihat wajahmu. Terutama di sini,” tunjuk Cha Cha ke alisnya sendiri, bersila di atas kardus. “Tebaaal.”
Keduanya gelak tawa.

Tahun ke 2, Pertemuan ke 3
“Aku bukan hidupmu, Reizky. Kita telah usai.”
“Sejak dulu. Jangan sering ajak aku main dalam mimpimu!” katanya.
“Aku gak bisa lupakan dirimu.” Kening Rei mengerut, bersuara lirih, “Berat bagiku, Cha Cha .”

Tahun ke 3
Duduk berseberangan di hamparan kardus yang sudah dibongkar. Di tempat favorit mereka bertemu, loteng.
“Aku ingin sentuh pipimu, Cha Cha.”
Pipi Cha Cha merona pink. Namun seketika berubah jadi sendu.
Rei pula bermuka masam. Dia tak berdaya untuk berbuat sesuatu.

10 Tahun.
“Aku mau kamu. Ada kehidupan baru.”
Rei memandang jauh ke langit malam.
“Kala siang, datang rindu padamu.”
“Aku pasti datang ke dalam bawah sadarmu, benarkan?” timpal Cha Cha. “Kerinduanmu bikin aku selalu hadir. Kurasa kamu lebih memahaminya?”
Dia membungkam.
“Kalau saja seorang gadis menarik hatimu.”
“Tiada satupun gantikanmu.” Jakun Rei turun naik, “Kamu... selalu di hati dan terbaik untukku.”
“Kamu masih harus menatap dunia. Terima realitas, Rei!”

Tahun ke 14.
“Aku cinta kamu,” kata Rei.
“Dari dulu. Kamu datang dan pergi. Berulang kali. Kata itu gak bisa keluar.” Rei maju selangkah. “Aku sekarang dewasa. Aku berani.”
“Aku tahu,” tutur Cha Cha, berdiri di pojok. “Bagiku. Kamu belum dewasa. Kamu belum mau menerimaku.”
“Seandainya takdir kita bukan kayak gini. Adakah peluang buatku jadi pacarmu?”
“Aku hanya ingin tahu,” desak Rei.
“Aku tak tahu.” Kulit putih Cha Cha menjadi merah. “Tapi, aku punya...”

Tahun ke ... Pertemuan ke ... (Rei mulai lupa)
“Apa... kamu mau pergi?”
Cha Cha menunduk, suaranya hampir tak terdengar, “Iya.”
“Sepuluh tahun lebih, Rei.”
“Lebih dari itu, aku bisa.”
“Apa kamu gak lelah.”
“Lelah? Aku gak tahu apa arti lelah. Kalau aku mencintaimu setulus hatiku. Takkan padam.”
“Hapuslah cintamu. Kita gak akan pernah sampai di tujuan.”


Di hari ulang tahun Cha Cha.
Di tanggal itu, pabila sedang berkendara, dalam bis, atau dimanapun. Jika ingat di saat malam. Rei berkata pada langit malam, Selamat ulang tahun, Chatra! :)
Aku sering mendengar kata-kata itu darimu setiap tahun, ucap Cha Cha berdecak kagum.
Darimana kamu tahu, tanyanya ketika rasa penasaran Cha Cha tentang hari lahirnya.
“Aku nguping obrolan kalian.”
Cha Cha tak dapat berkata lebih.


Tahun ke? Pertemuan ke?
“Kayaknya aku pengen agak lama.”
Rei mengelar kardus bekas di lantai. “Wow. Ini paling kusukai.”
“Rei, lupakan aku.”
Rei terdiam.
“Rei!”
Dia pura-pura tak mendengar.
“Relakan diriku.”
“Aku mau, Cha.”
“Aku gak bisa lupakan dirimu,” lanjutnya.
“Harus bisa, Rei. Bukalah hatimu untuk orang lain.”
“Kasih kesempatan dong betapa baiknya diri kamu, cintamu, ke orang lain. Ini harapan-ku.”
“Kamu harus ingat, masa lalu kita tak ada yang salah. Bahkan kita belum memulai dari semula,” jelas Cha Cha. “Kamu tidak SALAH, Rei.”
(Pertemuan ini, Rei lupa yang ke berapa kali)

Jalan 17 tahun
“Kamu tidak lupa kan? Aku sudah mati. Mobil nyalip, kecepatan tinggi...”
“Hentikan!”
“Menabrakku saat janji kita pergi makan mie ayam.”
“Tolong! Cha Cha, itu mengerikan,Cha.”

“Aku berhasil. Nilai matematikaku tinggi.Cha, sore nih aku ajak makan mie ayam, mau?”
“Hmm, dimana?”
“Aku belum mikir. Entar sambil jalan baru kuputuskan.”
“Ok.”
“Tunggu! Dikau gak jijik?”
“Napa jijik? Makanan kok jijik.”
“Di pinggir jalan.”
“Tapi higienis kan?”
Rei mengganguk.

“Cukup. Maafkan aku. Kalau aku menolongmu seperti drama TV. Si cowok selamati pacarnya,” ungkap Rei, “jika saja aku gak mengajakmu untuk balas pizza-mu.”
“Kamu egois, Rei. Kamu pikir aku gak sedih melihatmu, sekarang. Aku bukan ingin ungkit masa lampau.”
“Aku memiliki perasaan kepadamu.”

Tahun 2014
“Tolong, biarkan aku pergi!”
Cha Cha menelengkan kepala untuk menatap muka seorang lelaki di sebelahnya.
“Jangan sakiti hatimu. Aku tak tega melihatmu memikirkan diriku. Hatiku perih, Rei.”
“Kamu banyak memikirkan aku setiap napasmu. Maka aku datang dan pergi.”
Seperti biasa, Rei dan Chatra duduk di loteng beralaskan kardus. Melipat lutut dengan tangan bertautan di tempurung lutut. Mereka sama-sama bergaya semacam itu.
“Aku juga sulit menerima keadaan. Gak pernah kontak fisik, walau itu hanya senggolan. Tapi aku merasakan perasaanmu, cintamu, kamu simpan fotoku. Dan pernah tinggalkan jejak sentuhan di bukuku. Masih banyak hal lagi tentangmu.”
“Baiklah,” gumam Rei.
Dia tenggelam dalam lamunan. Dalam pemikirannya.
“Rei… Jangan lupa sering cukur jenggotmu!”
Walaupun aku suka melihatmu sedikit berewokan. Kelihatan macho.
“Aku sudah siap, Cha Cha.” Dia memandang bulu mata Cha Cha melentik alami. Mata itu menatapnya jua.
“Dan lagi, terakhir, ucapan ultahmu adalah hadiah yang berupa wujud benda terindah untukku.”

“Kamu cintaku, selamanya.”


Dua hari tiga malam sudah berlalu. Atau bertahun-tahun. Mimpi, di pikiran Rei masih teringat sangat jelas. Adegan-adegan itu tak kurang sedikitpun.

Motor Scoopy beraksen merah senada helm di kepala Rei. Berkemeja warna putih, dasinya ikut bertiup oleh angin. Seperti mimpi Rei, kenangan bersama Cha Cha bertiup oleh angin. Menyetir motor ke kantornya.

Dia hadapi pagi ini. Dia berhadapan antrian penyetor tunai. Di salah satu bank ternama.





No comments:

Post a Comment