Sunday 25 October 2015

Helm

Blog post ini dbuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com


Di ruang makan.
Wendy, umur 11 tahun, berambut  cepak, duduk di seberang ayahnya. “Minggu depan kalian harus pakai helm, tuh!” kata Ayah Wendy.
“Kenapa, Pa?”
“Ini, ada pemberitahuan. Kalau kamu gak pakai nanti kena razia.” Ayah Wendy merujuk ke artikel koran hari ini.
Mulai tanggal 1 Maret, warga kota Tarakan khususnya anak-anak diwajibkan memakai helm. Karena apa? Dua minggu terakhir sering terjadi lakalantas (kecelakaan lalu lintas). Kebanyakan korban adalah anak-anak remaja yang tak mengenakan helm sewaktu mengendarai motor. Berdasarkan  sumber data kepolisian, kecelakaan motor paling banyak terjadi di Tarakan.
“Daripada uang melayang bagus beli helm baru.”
“Sudah ada,” jawab Diana.
“Oh, sudah ada. Mana, coba Papa lihat?”
Wendy pergi ke ruang gudang. Dibawanya helm standar berwarna oranye.
“Oh, ini. Papa pikir helm siapa taruh di sini. Besarnya, kenapa gak beli yang kecil.”
“Hish, buat apa yang kecil. Sebentar mereka besar. Mama sekalianlah belikan yang besar,” seru Ibu Wendy sambil memotong-motong buah mangga.
“Tadi mau dikasih helm gratis, besaar.. sama Om Hardi.”
“Iya, Pa. Kayak orang-orang pembalap motor racing gitu.”
“HAHAHA,” ayah Wendy tertawa. Di balik punggung, ibu Wendy juga tersenyum melihat tawaran Hardi di rumahnya tadi siang. Ia yang memberitahu perihal kalau anak SD sekarang harus pakai helm.
“Ada SNI gak, nih?”
“Apa SNI itu, Pa?” tanya Wendy.
“Standar Nasional Indonesia. Helm sudah harus melalui standar pengamanan Indonesia. Kalau lolos ada cetakan SNI di helm.”
“Coba cari, Wen?”
Helm diambil Kak Diana dari tangan Wendy. Wendy cemberut.
“Iya, Pa. Ada.”
“Lihat bah, Kak!” rengut Wendy.
Kak Diana masih menahan helm di tangannya, “Tunggu, aku dulu.”
“Hisssh…”
Ibu Wendy menaruh sepiring mangga di meja. “Kakak, kasih ke Wendy-lah!”
“Nah.”

o0o

Suatu ketika, Wendy tak bisa dijemput oleh orang tua mereka. Ibu Wendy meminta tolong kepada adiknya kalau menjemput anaknya sepulang sekolah sekalian mengantar Wendy ke rumah.
Tampak Wendy berlari-lari kecil menuju je mobil. Kak Dipa yang berdiri di samping pintu, membuka pintu mobil.
Di dalam terdengar suara orang tertawa.
“Kenapa, Ma?”
“Tuh lihat sepupumu. Lucu pakai helm. Lebih besar helm daripada orangnya.”
Dilihat Wendy masuk ke dalam mobil. Tante Ira berujar, “Wen, helm-mu itu kebesaran bah?”
“Biarinlah.”
“Gak usah pakai helm, mana ada apa-apa. Tuh, teman-temanmu banyak yang gak pakai helm. Bikin repot, sudah bawa tas sekolah, belum lagi buku banyak-banyak.”
“Rugiiii,” Wendy menampakkan giginya. “Daripada kena razia lalu kena denda. Uang melayang. Nah, siapa yang mau bayar? Tante Ira?”
Tante Ira terdiam.
“Heeeeh...”
Tante Ira cuma tersenyum dikuti Kak Dipa.

o0o

Semenjak kakak Wendy, Diana, diperbolehkan mengendarai motor. Wendy suka ikut dan sering minta diboncengi sama Kak Diana.
Sebenarnya Diana ngebet banget mau bawa motor sendiri tapi ia tak diperbolehkan sama ibunya. Mengendarai motor sebelum usia (17 tahun usia dimana tepat boleh mempunyai izin mengemudi kendaraan). Padahal banyak teman-temannya yang sudah bisa bawa motor ke sekolah.
Tapi ibunya berpegang teguh pada prinsipnya.
“Din, kau sudah pulang?”
“Iya, Ma!” Diana masuk ke dapur. Meletakkan sekotak kue di meja. Ibunya memperhatikan bagian kepala Diana yang masih mengenakan helm, “Jemput Wendy di tempat les Bu Raisa.”
Diana mengeluh, “Ihh, Mama! Aku baru aja sampai. Mama jemputlah!”
Ibunya sedang membasuh piring, “Wendy mau kau pergi jemput dia!” mata ibu Wendy melotot.
“Haiissh! Anak itu!” Diana memutar badan.
“Din, kancing tali helm-mu!” pekik ibu Wendy.
“Iya!!” sahut Diana di pintu depan.
Segera ia mengaitkan tali pengaman helm di dagunya. Diana tak ingin kecolongan lagi.
Ada hari itu, ia disuruh pergi menjemput adiknya juga macam di saat seperti ini. Ia tiba-tiba terjatuh ke jalanan aspal. Dan  tak sadar diri. Kata orang-orang sana, ia sempat kejang-kejang. Mereka pun terheran-heran. Aneh, mengapa Diana mengendarai motor dengan kecepatan pelan kok bisa tiba-tiba jatuh sendiri. Itupun jadi pertanyaan orang-orang di rumah.
Diana sendiri disuruh check up di kepalanya. Takut ada masalah karena ia lupa mengancing tali pengaman.
Setelah di-check. Ia tak mengalami sembarang keluhan, masalah apa-apa pun di kepala. Paling sakit kepala sedikit.
Hal ini sempat membuat ibunya gelisah dan dibuat repot. Harus bolak balik ke rumah sakit untuk mengecek keadaan kepalanya. Diana sendiri merasa aneh kenapa ia pingsan dan tak tahu kejadian sebenar.
Kecelakaan tunggal yang menimpa dirinya membuat ia sadar pentingnya helm. Hal itu mengingatkan pada ucapan Bu Pendeta yang menjenguk Diana di rumah sakit.
Ia selalu mengingat kata-kata itu, “Pakai helm, lain kali jangan lupa ikat tali pengaman helm.”

o0o

“Ma, agak cepat bah, Ma!”
“Kenapa terburu-buru?”
“Mama bawa motor lambat kayak bekicot!”
“Yang penting kita sampai selamat.”
Sontak ibu Wendy terkesiap, “Wuiih.”
“Kenapa, Ma?”
“Kau gak lihat tadi?”
“Gak. Mataku lihat ke sebelah kiri.”
“Orang itu tiba-tiba nyalip di sebelah mama. Kaget aku. Bikin jantungan!”
“Motor, Ma?”
“Iya,” Ibu Wendy mengelus dada lalu tangannya kembali memegang stang motor. “untung aku sigap.”
Jalan raya di Tarakan sudah tak seperti sekarang. Kian banyak motor di jalanan. Semakin padat. Banyak motor. Kalau tak berhati-hati bisa celaka. Yang tak salah bisa alami kecelakaan bukan orang yang ngebut, atau menyalip. Malah mereka lari.
“Kenapa mereka lari, Ma?”
“Pasti mereka tak ada SIM.”
Tiba di rumah.
“Nah, Wen. Biar mama bawa motor nyantai, pelan. Tapi kita sampai kan di tujuan. Bukan di rumah sakit.”
“Hhm.. Yalah tuh, Ma.”
Wendy tersenyum.
“Kalau Mama juga ngebut kayak orang tadi. Kita sama-sama tertabrak tuh.”
“Haissh, Mama nih.”
“Makanya Mama kalau mau belok tunggu dulu gak banyak motor di jalanan.”*W



No comments:

Post a Comment