Tuesday 22 December 2015

Bukan We Love You, Mom

Maukah kukisahkan Malin Kundang di zaman modern?


Masalah memuncak ketika Mamimu masuk ke UGD. Anak lelakiku menelepon kepadaku, “Ma, Mama tenang dulu.” Hatiku merasa tak enak. Pasti berita buruk. “Tante masuk rumah sakit.” Hatiku melayang jauh nelangsa. Apakah dia akan pergi? Hatiku merintih. Baru beberapa waktu lalu kuatur batin ini kembali ke semula. Haruskah ku bersedih lagi merelakan kepergian kedua saudaraku di waktu yang berdekatan.
Dua hari lalu aku mengujungi adikku, Ayi. Aku katakan kepadanya, “Aku mau ke Tanjung beberapa hari yah.” Dia menatapku. Sebentar-bentar bolak-balik badan. “Apa aku bisa menembus isi hati dia? Apakah dia paham perkataanku.”
Mamimu telah lama tak bisa bicara. Kami tak mengerti apakah dia sendiri yang tak mau bicara. Ataukah memang dia tak bisa mengeluarkan suaranya.
Aku tak tahu.
Dari situlah Mamimu dengan saudara-saudara perempuan Mamimu menjadi jauh. Namun hati kami dekat setipis selembar kertas putih.
Dia sering mengunjungiku semasa usia pernikahan seumur jagumg. Karena aku dahulu kecil menjaganya saat kami kehilangan orang tua. Dan jarak rumah kami sangat dekat setelah Mamimu menikah dan kami menetap di kota yang sama. Mudah saja dia datang kemari. Membawa kalian diantara satu entah si tengah atau si bungsu. Kadang berdua saja dari kalian tiga bersaudara. Kamu lebih sering dibawa oleh Mamimu ke rumah. Masih ingatkah kamu? Kamu masih kecil. Seumuran anak SD.
Kata Mamimu, “Dia berbulan madu denganku. Tapi di hotel, aku sendirian. Dia telepon temannya di sana, dia yang ajak mereka keluar malam.”
“Aku tidak diperbolehkan sentuh laci tokonya?” curhatnya suatu ketika.
“Apa?”
“Iya. Sebelum dia pergi antar barang ke pelanggan, dia menghitung jumlah seluruh uang di laci meja. Baru dia tinggalkan kunci lalu jalan.”
“Kau tak bilang apa-apa kepadanya?”
“Aku mesti bilang apa?”
“Jadi kau diam saja?”
Mamimu terdiam.
Aku menggeleng kepala. “Mana bisa kamu diamin terus. Dia akan terus memperlakukanmu seperti itu.”
“Kalau kamu diam dia akan menganggapmu lemah!” Aku meninggikan suaraku. Amarahku naik. Tak kusangka Mamimu seorang yang lemah dibalik tatapan yang terkadang tajam, sinis.
Mungkin Mamimu kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua sewaktu kecil.
Anakku perempuan pernah bilang, “Aku pernah lihat paman Djatmida makan di restoran sendirian. Tapi kenapa cuman makan semangkok mie? Mie instan. Jauh-jauh ke situ hanya makan mie. Aku heran ketika itu. Bertanya pada diriku sendiri. Apa Tante tak bisa meminta masakan mie untuknya? Aneh...”
Dulu anakku tak mengerti, beranjak dewasa baru dia mengerti.

Kuceritakan kepadamu.
Dimulai kepergian buah hati yang paling dia sayangi yaitu kamu-Rudika Djatmida-ke kota dingin, Semara.
Satu unit komputer lengkap dengan kamera untuk memonitor kalian. Namun, itu semua tak mampu menolong kerinduannya kepadamu, Rudika. Dia sangat, sangat mencintaimu. Aku tahu kamu mencintai Mamimu.
Dia sungguh teramat sangat menginginkan... hanya dirimu. Asal tahu saja, selepas lulus SMU, Djatmida mengirimmu ke Sekolah Tinggi Bidang Teknologi di Semara. Mengikuti abangmu. Hidup adikku berubah drastis. Perkembangan Mamimu dari tahun ke tahun semakin memburuk. Dia tak mengenaliku. Hingga kata Papimu, “Dia alami penyusutan otak.” Jika aku berkunjung menjenguknya, dia selalu berujar, “Dia lagi. Datang lagi. Datang lagi.”
Dan ucapan yang paling kudengar, “Semara. Semara.”

Satu hal hampir ku lupa. Papi kalian dulu menyukai adikku berarti juga kakak Mamimu. Hanya saja adik Tante tak menyukai Papimu. Selain itu dia telah dijodohkan dengan pria yang gagah, baik. Adik Tante kebetulan suka kepribadian calon suaminya.
Entah mengapa, Papimu malah menikahi Mamimu. Dulu aku tak tahu alasan mengapa ia masih mau menikahi Mamimu.

***

Di pojok, kuberdiri mengamati para penjenguk-kakak perempuan suamimu serta anaknya juga dari saudara kita datang menengok. Djatmida tiba-tiba mengelus-ngelus rambut di kepalamu.
“Anak-anakmu besar, tinggi, ganteng-ganteng, dan cantik, Yi. Apakah kamu bisa melihat jelas mereka? Chandi, Rudika dan Sisca datang menemuimu, Yi!”
Suatu kali anakku menjengukmu, dia bilang kamu memberikan respon berlebihan kepada dia. “Tante tahu, Ma. Dia bisa kenal orang. Dia ingat aku. Matanya berkaca-kaca lihat aku,” ucap anakku dengan yakin. Dia pun terlarut sedih, menangis melihatmu karena kamu berikan respek.
Kubisikkan ke telinganya tadi, “Anakku mengatakan anakmu sekarang tumbuh besar dan gagah. Anak dari anakku juga berkata anakmu mirip orang Korea. Ketika dia bertandang menemani kakak perempuan kita ke rumahku.”
Kuakui memang anakmu tampan, bertubuh subur dan pengakuan istrinya di video pernikahan mereka, berkata, Chandi itu romantis.
Si sulung ini tak pulang-pulang. Hanya sekali. Untuk mengurus KTP. Kudengar kabar dia mau menikah.

Jangan heran bila kau masih paham, aku lama tak bertandang ke rumahmu. Aku tak larat mengunjungimu. Melihatmu terkujur kaku padahal aku yakin hatimu dan pikiranmu menjangkau perasaanku. Aku tahu kau ingin ngomong. Tapi aku sudah mengetahui perasaanmu.
Kau makin kurus. Kulitmu membungkus tulangmu. Sakit hatiku melihatmu. Perlakukan engkau semacam ini. Kadang ku bertanya apakah dia memang sengaja membalas pada cinta yang tak terbalas? Apakah seperti itu? Sungguh tak kumengerti pada suamimu. Ku tahu dia bisa bermulut manis pada setiap orang. Memanjakan buah hatimu. Dia tahu cara sedemikian. Buktinya anak-anakmu menyukainya. Heran.
Aku teringat anakku pernah tunjukkan kepadaku. Di layar hape, aku melihat putrimu menulis status di akun jejaring sosial begini, “We love you, Dad.” Pas di hari ulang tahun Djatmida.
Aku... aku... Hatiku tersayat perih. Tidak ada rasa peduli, akan rasa cinta pada ibunya yaitu kau, Yi.
Aku tak berdaya. Kau membuatku tak bisa tidur.
Kau selalu terngiang-ngiang di pikiranku sepulang aku menjengukmu.
Meski aku tahu tak ada perkembangan berarti pada dirimu. Bikin aku frustasi.
Anakmu yang kau kasihi kini telah di sisimu.
Menemanimu.

***

Aku menuliskan ini untuk mengenangmu. Ibuku terima telepon. Pasti yang diomongin hanya berulang-ulang. Dulu ia berkata kepada kakakmu di Tanjung, suara ibuku berubah sendu, “Anak perempuannya pun tinggalkan mama pergi mencari ilmu setinggi langit. Anak berpendidikan tinggi untuk apa...” Suaranya kian serak lalu memekik, “mama sudah tak ada...” Hatiku pedih. Aku tak tahan kalau dia menangis. Aku segera tahu dia akan menangis. Akhirnya tangisan itu pecah.
Aku mendekati dia. Menepuk bahunya, “Ma, sudahlah, Ma.”
Dia mengibaskan tangan.
Aku pergi dari situ. Mau saja kurampas itu telepon. Tangisannya meraung-raung sehingga aku mendatangi dia lagi dan dia pasrah serahkan hape kepadaku. Kusambut dan kutempelkan ke telingaku, “Tante..” Di seberang sana Tante Win masih bicara. Aku tak terlalu menanggapinya dengan serius. Kubilang saja, “Tante, sudah yah, Mama nangis.”
Begiulah mengakhiri ketenangan ibuku.


26 Juni 2015
Kau pergi tinggalkan aku, kami, saudara perempuan dan saudara lelakimu. Aku tahu kabar kepergianmu dari kakakmu di Tanjung. Kita sekota tapi tak ada yang mengabariku. Justru aku tahu dari mereka yang jauh dariku.
Lihat! Bagaimana mereka bersikap terhadapku. Oleh karena ku lancang ke mereka.
Sehari sebelumnya aku berfirasat adikku yaitu kakakmu dan suaminya melewati rumahku. Aku curiga mereka pasti dari rumahmu. Dan kumendatangimu sebelum kau pergi.
Yang menjagamu mengatakan kau...
Yah, apa guna jika banyak yang menjagamu di saat dirimu sudah tak berdaya.
Mengapa dulu kau tak diberikan kepada kami untuk menjagamu. Pasti engkau lebih baik sekarang. Pasti bisa jalan. Aku tak habis pikir mengapa suamimu tak mengizinkan kami membawamu terapi.
Kini, kau bisa melihat anakmu paling kau cintai. Dari kejauhan, tempat yang damai. Lepas dari selang-selang menyakitkan yang membuatmu tampak tak lebih membaik.
“Aku sudah lama rela melepas kepergianmu, Yi.”




No comments:

Post a Comment