Friday 3 June 2016

Novel: Warung Ngopi Bab 1



Teman Java dan Mandheling


Para penikmat kopi, helloos…!
Kendati di kota besar mulai beramai-ramai buka coffee shop. Para pebisnis tak kehabisan akal. Mereka melihat peluang untuk membuka coffee shop yang saat ini lagi tren di kota besar. Atau buka cabang baru.
Pasarannya adalah kota kecil yang tengah berkembang.
Nah, mereka-para pebisnis-gencar berekspansi untuk masuk ke ranah daerah-daerah yang lebih berpotensi. Misalkan owner coffee shop yang kami kunjungi.
“Kami ingin masyarakat sedikit mengenal tentang kopi,” ujar pemilik warung Ngopi, Allan ketika ditanya mengapa membuka coffee shop.
“Hanya sedikit?”
“Untuk tahu lebih. Harus datang ke sini,” serunya seraya tertawa.
Berdiri di kota kecil, Tarakan dengan tempat parkir di lantai dasar. Kalau ke warung kopi mereka, kudu naik tangga dahulu.
Di lantai dua, kaca bening yang tinggi nan lebar sebagai pemisah antara gerai dengan dunia luar. Tiang-tiang penopang kaca diberi cat warna hitam. Dinding beton dalam ruangan berwarna coklat gelap dan sedikit aksen warna coklat muda. Permainan warna yang tak jauh dari warna-warna biji kopi.
Cafe ini mengusung konsep alam dan eklektik (memilih dari berbagai sumber). Unsur kayu dengan urat-urat kayu alami pada lantai dan meja dipertahankan. Menambah nilai estetika pada ruangan. Perpaduan unsur kayu dan bata memberikan nuansa cozy, nyaman dan cocok sekali bagi para pengunjung untuk bersantai.
Kita berasa dalam rumah sendiri!!
Kalian bisa memilih area indoor atau outdoor yang sangat adem di kala malam hari. Istilah-istilah asing dalam ranah perkopian tak luput disisipkan ke dalam garis horizontal warna hitam 10 % sebagai aksen pada jendela. Melalui kaca transparan itu, kalian minum-minum kopi sambil dihidangkan permainan lampu dari rumah penduduk dan siluet-siluet pohon di bukit.
“Jenis kopi yang ditawarkan murni berasal dari daerah. Menu yang tersedia ada Hot drinks based milk like Caffee Latte, Cappuccino, Moccacino, and Cold Drinks. Dengan menu dasar seperti kopi hitam maupun kopi susu,” terang Allan soal menu dan teman sandingan seperti kentang goreng, roti bakar.
“Kami melayani sistem take out,” imbuhnya.
Penikmat setia kopi, kalian bisa membeli kopi bubuk untuk diracik sendiri ala kamu bila mau menyeduh kopi atau bereksperimen di rumah.
Guys and girls, fell free to try it!
Harap dicatat yah jam buka warung! Senin-Jumat mulai pukul 07.00 pagi sampai 12.00 siang lalu jam 06.00 sore hingga 10.00 malam.
Hari Sabtu full time. Dan hari Minggu, that's close.
Sesudah mengedit dan cukup memuaskan, Geizya Tanaja langsung klik tombol publish. Ia mem-posting artikel baru di blog selepas mengunjungi Warung Ngopi.

***

Allan berjalan sambil mengantongi celana. Dengan gerakan perlahan dan lembut seorang perempuan berusia 26 tahun melingkarkan tangan ke lengannya.
Pasangan itu sama-sama melangkah pelan dan seirama. Jalan mereka sangat santai boleh dibilang mereka menikmati suasana malam.
Allan sengaja parkir kendaraan di bawah di tepi jalan. Mereka memuncaki bukit yang tak begitu tanjak. Padahal di lantai dasar-tempat yang mereka datangi-tersedia tempat memparkir mobil.
Mereka tiba di anak tangga kayu pertama yang dipoles cat hitam. Dinding di bordes tangga dibentuk ukiran pola daun, biji kopi dan pohon kopi. Lalu tepat pada tangga puncak, tertera kata Warung di daun pintu kaca dengan huruf yang lebih kecil dari kata Ngopi. Di bawah nama logo, sebuah cangkir dengan garis berliukan yang melambangkan uap. Di liukan itu ada beberapa bentuk yang menunjukkan simbol-simbol biji kopi dan daun. Pekerjaan ini khusus dari calon iparnya yang mendesain nama logo kafe.
Allan membuka pintu kaca transparan, “Please, my princess!” Ia membungkukkan badan seraya tangan satunya mempersilakan Gee-panggilan Allan kepada Geizya-masuk.
Gee tersenyum manis dan menggidik bahu. Kakinya mendarat ke lantai kayu. Melihat meja counter yang didesain dwi fungsi. Bagian luar meja tersusun buku-buku fiksi yang dibentengi kaca bening.
Kemudian Allan mendahului langkah Gee untuk menarik kursi dekat jendela kaca.
Di seberang sana lampu-lampu rumah penduduk bagaikan kerlap-kerlip bintang di langit. Ia sangat menyukai. Angkat topi buat Allan menemukan tempat sestrategis begini. Dan sangat tepat bila ia memilih posisi warung dikelilingi rumah warga, alam dan tak jauh dari jalan raya.
Jelang larut malam begini penduduk rumah itu berdengkur, menonton, mungkin ada yang bekerja malam. Jika benar, apakah mereka mengetahui keberadaan warung yang akan menemani mereka agar tetap terjaga dari rasa ngantuk.
Perlahan-lahan Gee hempaskan tubuh di sofa empuk.
Moccacino?” tawar Allan saat pikiran Gee melayang ke seberang.
Jauh-jauh hari Gee telah memesan tiket pesawat namun kendala menghampiri sehingga ia tak sempat menghadiri grand opening. Baru sekarang ia dapat membayar janji.
Belum puas melahap benterang cahaya di luar. Gee menoleh dan angguk kepala. Kemudian ia mencegat pergelangan Allan sebelum berbalik.
“Ng?”
Aku mau tawarin seseorang mengisi bagian pelayan?” ketika Gee teringat akan sesuatu yang ingin ia tanyakan langsung pada Allan.
Allan meletakkan tangan di tepi meja,Siapa?” lalu mencondongkan badan, “Kamu? Jarak muka mereka kian dekat.
Mereka saling menatap.
“Pluk.” Gee memukul pelan lengan Allan, “Bukan, temanku.”
Pipi Allan mengembung lalu mengangguk pelan.
“Tadi sore dia minta tolong cari pekerjaan.” Gee geleng-geleng kepala dan menyeringai, “Aku nggak nyangka bisa kontak dengan dia.” Tangannya masih bertahan di lengan Allan.
Tak heran raut wajah Gee begitu sumringah. Mata berbinar-binar. Ia bersemangat sekali jikalau bersua dengan teman lama. Apalagi teman perempuan.
Allan turut ikut senang melihat Gee segembira itu. “Tunggu.” Sudut bibir Allan kembali normal. Ia berdiri tegak dan berpikir sejenak. “Tadi kamu bilang dia minta tolong cari pekerjaan.”
Gee mendongak. “Iya. Dia teman sekolahku.”
Allan melipat tangan dan pahanya merapat di sisi meja. Otomatis tangan Gee terkulai bebas. “Jangan bilang ia seorang cewek?”
Gee balik bertanya, “Kenapa? Apa kamu nggak terima seorang perempuan?”
“Tidak.”
Allan melihat Gee sedang menatapnya dengan tajam, “Untuk saat ini.”
“Di Jakarta kamu terima?”
“Di sini baru buka. Kalau sudah lancar akan kupertimbangkan. We will see.”
Gee melebarkan senyumnya. “Dia cowok kok.”
Allan melengus. “Aaaa…” Jari Allan menjepit hidung Gee. Namun lembut.
Gee terkikik. Ia puas. Ia sukses mengacau Allan.
“Bagaimana dia mengontakmu?” kata Allan.
“FB. Dia kirim pesan ke aku. Gimana?” tanya Gee pada Allan.
“Ng…” Allan berpikir sejenak sebelum memutuskan, “Okey, suruh ke sini besok.
Tanpa berpikir lama ambil keputusan, pertimbangan atau penolakan. Tak seperti biasa. Allan menerimanya. Baginya bila direkomendasi sama tunangan pasti telah dipikirkan jauh-jauh hari dan ia percaya kepada Gee.
Pilihan Gee. Pilihannya.
Dirasa tidak ada apa-apa lagi yang hendak dikatakan, Allan berujar, “Tunggu ya!” Menyentuh lembut punggung tangan Gee hingga genggaman tangan itu melepas di ujung jari sejurus Allan berbalik badan.
“Mmm,” desis Gee.
Lega... permintaan Gee dikabulkan sama Allan. Sedikit kekhawatiran sempat menempel namun ia yakin usulannya akan diterima sebab warung Allan asli membutuhkan tenaga untuk melayani orang. Memang baru buka. Namanya bisnis kadang datang ramai kadang sepi. Untuk sementara waktu Allan mengandalkan Uki melayani para pengunjung.
Pemilik rambut sebahu itu menjelajahi sekitar kedai kopi.
Semenjak Allan mengenal aroma dan mencicipi rasa kopi, lantas mengubah drastis orientasi minum dalam hidupnya. Membuatnya jatuh cinta dan rasa keingintahuan yang terus merongrongnya tanpa henti. Jadi ia pun berkeputusan untuk mendalami dan mempelajari ilmu kopi.
Sehingga oleh ayahnya, Allan dibawa ke pilihan terjun dengan bangun bisnis sendiri atau bekerja di perusahaan ayahnya. Allan menyadari sendiri bahwa ia berjiwa dagang. Mungkin pengaruh turunan dari ayahnya. Jeli melihat kafe bertaburan di kota besar. Lalu ia berani mengambil peruntungan dengan membuka coffee shop di Jakarta.
Ia sukses dengan waktu tak lama ia lebarkan sayap ke daerah. Meskipun cabang di Tarakan masih sepi. Gee kagum sama tunangannya. Allan pernah bercerita kepadanya.
Kopi...
Tak akan pernah habis untuk di obrak-abrik.
Selalu menimbulkan rasa penasaran dan ingin mengali apa saja tentang kopi. Selalu punya banyak cerita. Tersangkut paut seperti mata rantai. Ia mempunyai misi yang kuat dengan kopi. Dari sanalah ia berniat untuk mulai menyasar dan survei di daerah mana yang layak berpotensi untuk membuka kafe.
Sehingga di tempat mereka sekarang berada.
Gee kembali mengingat ketika ia mengkonfirmasi permintaan teman atas nama Tomi saat membuka aplikasi jejaring sosial. Berikut puluhan pesan masuk dari kalangan temannya. Salah satunya...
“Hallo, Geizya, kan?”
Ia balas pesan yang nangkring beberapa minggu lalu. “Apa kamu Tom Tom?”
Setelah dibalas Gee, Tomi tanam pesan ke Facebook Gee. “Aku Tom Tom, Geizya. Besok malam kita bisa chatting nggak? Aku pengen ngobrol panjang sama kamu. Abis, kelamaan kalo aku balas hari ini kamu balas aku besok, begitu seterusnya. Kalo iya, jam 7 malam. OK.”
Seminggu kemudian. Yaitu tadi sore. Gee iseng buka Facebook. Senyam-senyum membaca status dinding. Banyak pesan masuk yang belum dibacanya. Di kotak obrolan, sebelah kanan foto Tomi ada bulatan hijau.
Hei, Tom.
Kamu lama...
(ketika itu Tomi lagi mengetik, tertekan Enter)
(Gee segera balas) Maaf, aku baru baca pesanmu. Aku jarang buka fb-ku belakangan ini. Sorry... lambat balas pesanmu.
(Tomi lanjutkan kata-katanya) tinggalkan kampungmu.
O... Maksudmu pulang kampong? hehehe.
Aku pernah baca di statusmu. Ada buka kafe di sini?
Gee menulis status di Facebook ketika pembukaan Warung Ngopi.
Iya. Sekalian promosi gawe tunanganku.
Oh itu milik tunanganmu?
He-eh. Mampir ya!
Pasti.
Kegiatanmu apa, Tom?
Aku bantu mamaku, jaga jualan.
(Tomi mengetik pesan lagi)
Gei, boleh dong aku kerja di tempat cafe tunanganmu?
Hahaha.
(Gee mengirim pesan)
Kamu serius atau bercanda?
Aku serius.
Betulan?
Iya.
Kenapa kamu mau masuk?
Aku pengen ngerasain kerja di kafe.
Jika serius, aku bisa bantu.
Benar?
Iyaaaa. Bagian apa kamu mau?
Apapun aku bisa.
Kalau ada kabar kuhubungi kamu.
Ok.
Gimana aku bisa kabarin kamu?
Hah?
Nomor hp-mu? Supaya cepat.
Benar juga.
BB?
Aku nggak punya BB. 081xxxxxxxx

“Wadoi...!” jerit Tomi, mengusap-usap bahu habis ditepuk oleh seorang perempuan paruh baya.
“Hampir tiap malam kamu ‘pacaran’ dengan laptop.”
Tomi tahu ia sedang disindir ibunya. Selesai makan malam Tomi duduk bersila di lantai. Mantengin laptop di meja ruang tamu. Baca ulang chatting-nya dengan Gee. Mulai dari minggu-minggu lalu sampai sore tadi belum dihapus. Ngobrol di Facebook, walaupun melalui huruf-huruf Tomi mendengar suara Gee. Suara yang sangat lama terkubur. Terngiang akrab di telinga. Gaya khasnya tak berubah.
“Ngapain kamu?”
Ibunya duduk di samping Tomi. Ibunya cuma memperhatikan layar laptop. Tak tahu apa yang dibuat anak itu.
“Ada pokoknya.” Tomi tetap berfokus pada laptop.
“Ada pokoknya. Tiap malam laptop Budi kamu pinjam. Dia nggak marah?”
Tomi menjawab dengan cuek. “Tenang saja! Dia tuh baik.”
“Iya. Ibunya pasti sudah ngomelin dia. Kembalikan sudah!”
Tomi memberengut. “Nanti, Ma. Aku ada bisnis nih sama kenalanku.”
“Bisnis apa?” bentak ibunya, suaranya agak kencang. “Bagus kau pergi kerja, Tom... Kamu kuat main internet.”
Tomi menoleh ke samping. “Ma, daripada aku ke warnet main game pakai uang.”
“Ih...” ibunya menepuk lebih keras.
“Ma...!”
“Kamu pergi kerja, Tom Tom. Kamu nggak tahu orang omongin di belakangmu?”
“Apa? Mama Budi bilang apa? Dia bilang apa lagi?”
“Dia bilang kenapa kamu gak pergi kerja? Kenapa Mama yang biayain kamu. Sudah dewasa, laki-laki, anak tunggal harusnya keluar cari uang untuk orang tua.”
“Itu Mama sudah cerita ke aku.”
“Iya, dia singgung lagi.”
Alis Tomi mengerut. “Gak usah di masuk dalam hati, Ma. Omongan orang.”
Ibunya mendorong bahu Tomi. “Kamu harus camkan omongan orang.”
Iya, iya.”
Akan kubuktikan padamu, Ma!
“Tit tit,” terdengar di layar hape Tomi lalu membaca pesan itu. Tom, besok kamu bisa datang ke kafe Allan? Ia terbelalak lebar.
Melihat Tomi bercengkeraman dengan hape, ibunya bangkit berdiri.
Tomi memajukan jarak pandang. Siapa tahu ia sendiri salah baca atau orang salah kirim sms. Suara hatinya baca keras-keras.
Tom, besok kamu bisa datang ke kafe Allan?
Benaran, Geizya?
Yap. Kamu di-interview dulu.
Terima kasih, Geizya. Aku akan balas budimu? Traktir makan!
Kalau aku balik ke sini.
Oh, kamu di sini?
Iya.
Berapa lama kamu ada di Tarakan, Gei?
3 hari lalu. Besok pagi aku balik.
Janji ya! Kamu luangkan waktu untukku. Hahaha.
I’m promise. Aku kasih tips supaya kamu diterima. Tampil serapi mungkin!
Baik!
Setelah ibu Tomi menutup semua gorden jendela, mengunci pintu depan dan hendak masuk ke kamar.
“Yuhuuu... Aku berhasil. Bisnisku beres,” Tomi meliuk-liukkan badan dan tangannya ke atas.
Ibu Tomi menoleh ke belakang. “Kenapa dengan anakku? Kayak kerasukan,” gumamnya. Lalu masuk ke kamar. Ia sudah mengantuk sekali. Tak larat pergi bertanya keanehan tingkah anaknya.
Tomi mulai membayangkan bagaimana ia nanti bekerja di kafe. Apa yang harus ia pakai? Tomi belum pernah merasakan di-interview itu bagaimana? Namun ia tahu apa itu interview. Ia pernah dengar dari cerita Budi semasa ia melamar kerja di sebuah bank.
“Aku bisa traktir Mama dan Budi. Yang lebih penting lagi...,” batin Tomi.
Tiba-tiba ia terdiam kaku sambil mengenggam hape. Menunduk tatap layar hape.
Sampai jumpa, Tom.

Sehabis kirim sms ke Tomi, Gee taruh BB-nya di meja.
Allan menyampiri meja Gee. Sweater tanpa lengan berpola wajik, dalaman ia kenakan kemeja putih lengan pendek. Barengan Gee memakai sweater. Lengan panjang sweater-nya digulung hingga di siku. Dipadu short pants bermotif papan catur.
Dua cangkir Latte atas nampan kayu. Hanya satu cangkir Latte Art dengan teknik free pour bertuliskan “I'll miss u”. Lukisan di media cairan kopi. Allan bawa minuman bukan pesanan Gee.
Menjatuhkan mata ke caffe Latte seraya berucap, “So sweat. Nggak sanggup hapus ungkapan hatimu.” Gee bahkan tak protes karena tak sesuai kemauannya dan ia tak memikirkan Moccacino lagi. Seakan menguap.
Cangkir di hadapan Gee diangkat oleh Allan. Kopi ini selagi tersaji panas langsung diminum. Disuguhkannya ke bibir Gee. “Daripada kamu kangen Latte-ku. Ayo!” Allan menatap Gee menyeruput kopi susunya.
“Berapa lama?” tanya Gee soal rencana mau ke Jakarta. Yang pernah Allan singgung sebelumnya.
Selera tunangannya sama dengan orang Surabaya. Ia mewakili kaum perempuan yang memfavoritkan Caffe Latte dan Cappucino. Mereka menyukai kopi berunsur susu lebih banyak, Latte yang rasio susu tiga kali lipat dari kopi. Hingga susu lebih mendominasi dan meminum kopi pun terasa ringan dan lembut. Tak salah ia mengganti pesanan Gee. Sekaligus mengungkapkan perasaannya saat ini dan esok ia tak dapat memandang wajah Gee.
“Dua bulan,” jawab Allan, menaruh cangkir ke tatakan.
“Dua bulan!” tandas Gee. “Lama banget?”
Allan tersenyum, menelengkan kepalanya. “Bisa 1-2 minggu. Who knows?” seraya mengangkat bahu.
Oh, iya!”
“Mmm...”
Gee agak ragu melanjutkan, “Ajarin dia tentang kopi!”
“Aku tahu.”
Allan menatap Gee lekat-lekat, “Hei, aku lihat kamu...”
“Kenapa?” Gee mengernyit kening.
Allan menggeleng, “Tak apa.”
“Hei, kok?” Tangan Gee menarik jemari Allan dan menggengam dengan lembut. “Kita janji saling terbuka?”
Allan mendesah. “Perhatian banget sama dia?”
Gee mengulum senyum sambil menyipitkan sebelah mata, “Cemburu...”
Allan melepaskan kacamatanya lalu menangkup jemari Gee di atas tangan kanannya. Wajahnya berubah serius. “Gee, aku mau ikat kamu one hundred percent?”
“Hmmm, aku mikir-mikir jika lamaranmu biasa-biasa kayak gini. Hahaha.”
“Aku mau…” Gee menerawang ke atap dan menopang dagu, “seseorang berlutut di depan umum. Huh… itu romantis!”
Allan melenguh, “Oh... Gee.”
Gee tahu Allan tak suka melakukan hal yang remeh temeh. Mana di khalayak ramai. Ia tak mau. Terpaksa ia mengalihkan pembicaraan. Kalau ia mengatakan yang ini pasti pikiran Gee akan teralihkan. “Gee, aku mau tambah kopi. Aku nggak puas. Menurutku terlalu sedikit.” Allan menatap Gee. “Nggak sesuai prinsipku dan motto warung Ngopi jadi... aku mau blusukan. Ke Papua sekalipun.”
Gee mengernyit alis. Gee tahu Allan mau berangkat tapi ia tak tahu kalau Allan pergi jauh.
Jadi ini rencanamu yang katanya mau ke Jakarta.
“Jauh tuh, Lan!” sambar Gee penuh bimbang. Suara Gee yang tersirat rasa kekhawatirannya. Allan menyukai perhatian dan kekhawatiran dari Gee.
“Kamu mau, kan?”
 Allan tak mendapat tanggapan dari Gee. Gee sibuk memikirkan apa yang akan terjadi nanti bila Allan berpergian. Perjalanannya kali ini sangat jauh dari yang pernah ia tempuhi.
“Tapi...” Kening Gee menggerut, “haruskah kamu ke Papua?”
 “Minimal warungku dapat satu kopi wakili satu pulau di Indonesia. Minimal!” terdengar penekanan di ucapan kata terakhirnya, Aku harus cari.
Allan menatap Gee seolah-olah ia mencari jawaban di sana. Semenjak tadi Gee belum menjawab pertanyaannya. Lalu Allan berkata, “Siapa duga tiba-tiba aku pengen buka di Papua…”
“Kamu!”
Allan tertawa lepas.
“Berhenti menggangguku.”
“Hahaha. Okey, okey.”
Hening sesaat.
“Besok aku antar yah?” pinta Allan.
“Hhm, tak payahlah!” Gee mengibas tangan ke udara, “aku bisa minta tolong taxi bandara antarin aku. Kamu... harus layani tamu besok!”
“Oh, iya. Tapi kamu mau bantu aku, kan?”
Dengan suara pelan, lembut, Gee menyahut, “Iya, iya.”
Pasangan itu sama-sama tersenyum, jatuhkan pandang ke Latte kemudian menikmati hangatnya Latte.

***

Pagi jam 9.
Begitu buka pintu kaca, Tomi melihat seorang lelaki membungkuk mengelap meja.
Lelaki itu memandang Tomi. Rambutnya berjabrik, berkulit putih. Agak gemuk dan tinggi. Kacamata bertengger di batang hidungnya.
Orang itu lagi ngelap meja mungkin pelanggannya barusan pulang, pikir Tomi.
“Permisi, bisa ketemu dengan pemilik warung ini?”
Lelaki itu berhenti mengelap dan kainnya ditaruh di sisi meja, “Saya sendiri.”
Tomi menyodor salaman, “Kenalkan aku teman Gei,” dan mengumbar senyum ramah, “Tomi.”
“Gei…” Terdengar aneh mendengar nama panggilan tunangannya, “…zya?”
“Ya.”
Kemudian Allan menyalaminya. Dari atas hingga ke bawah ia memperhatikan body shape Tomi, tinggi kurus. Pakai hem dan jeans warna abu-abu. “Allan. Mari!” Tomi mengikuti Allan.
Mereka menuju ke meja panjang tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Apa kamu pernah bikin kopi?” tanya Allan begitu mereka duduk.
Tomi yang seberangan dengan Allan berkata, “Belum.”
“Suka minum kopi?”
“Aku nggak suka kopi.”
Tomi melihat lawan bicaranya berpikir keras.
“Hmm…” Allan menyungging bibir tipis, “tapi pernah minum kopi?”
“Enggak.”
“Kopi instan?”
Tomi menggeleng.
“Nggak pernah?” tandas Allan.
“I... iya.” Tomi cengengesan.
“Berarti kamu sama sekali tidak tahu rasa kopi?”
Tomi garuk-garuk kepala. Kembali cengengesan.
Allan menghela nafas, “Baiklah. Karena 3 hari lagi awal bulan. Tanggal 1 kamu masuk, Tomi?”
Tomi bingung sendiri. Apa hubungan dengan aku suka dan tak suka minum kopi. Toh kerjaanku paling hanya membersihkan meja, sajikan menu dan apalah itu. Kenapa?
“Baik.”
“Aku tempatkan kamu bagian pelayan. Mau?”
“Mau.”
“Tunggu sebentar.” Allan beranjak dan masuk ke dalam pintu di sudut kanan warung.
Beberapa menit kemudian Allan muncul dengan setumpuk baju. “Ini seragammu. Sebaiknya kamu coba, apa cocok?”
Tomi berdiri dan menyahut, “Di sini.”
Allan menyeringai, “Di rumahmu dong.”
“I… iya,” Tomi tertunduk malu. Betapa bodohnya ia melontarkan pernyataan macam itu.
Aku pilih size S. Jika tetap besar kamu permak. Dan kalau penjahitnya nggak bisa. Kamu ukur badan nanti kubuatkan baju baru sesuai ukuran badanmu.” Allan agak ragu-ragu mengeluarkan ucapannya. Ia tak mau Tomi tersinggung oleh perkataaannya, “Maksudku kedodoran enggak bagus di mata. Aku sangat mengutamakan kerapian, kebersihan. Selain itu aku ingin karyawanku eye catching supaya tampil menarik.”
Allan pandang Tomi dari atas ke bawah.
Ngapain sih dari tadi dia lihat aku begitu terus.
Allan merapikan posisi kacamatanya. “Rambut keritingmu asli?”
“Nggak.”
“Dirapiin, tolong!”
“Hhm!” Tomi membelalak.
“Potong rambutmu. Kukumu harus pendek jangan hitam-hitam. Kamu harus serapi kayak aku.”
Tomi memperhatikan cara berbusana rapi ala Allan. “Aku mengerti.”
Disangka pekerjaan seorang pelayan sangat mudah, menyajikan pesanan, melayani pengunjung lalu bersihkan meja.
Itu.
Tomi merasa tak segampang seperti apa yang dibayangkan. Orang yang akan menjadi majikannya terlalu menuntut Tomi mengubah dirinya. Bertolak belakang dengan pribadi Tomi yang selengekan dan semaunya.
Keluar dari pintu. Tomi menoleh ke kedai kopi itu sejenak. “Baik banget orang itu. Sayang, dia...
Langkah kaki Tomi mendadak terhenti. “Gawat…” keluhnya. “Kalau aku kerja di sini, bagaimana dengan warung Mama?”
“Bisa-bisanya aku lupain Mama? Siapa yang bantu dia?”
Tomi menggaruk kepalanya. Meneruskan langkahnya menuju rumah sambil ia memikirkan siapa yang menggantikan dirinya nanti membantu ibunya.

***

Di kamar, Tomi mengelus baju seragamnya. “Aku nggak sabar tunjukan ke Mama.” Lalu selonsor ke dapur. Ia membuka tudung. Menyabet roti tawar.
“Tumben bangun pagi?”
Tomi menyuap roti ke dalam mulut.
“Kamu sudah mandi?”
Anaknya mengangguk, mulutnya kembung karena mengunyah roti.
“Kau mau kemana?”
“Nanti Mama tahu...”
Selang beberapa menit. Tomi keluar. Mengenakan kemeja putih, celana panjang berbahan kain.
“Wah... Mau kemana kamu, Tom? Pagi-pagi rapi betul. Ke kondangan?” Matanya berbinar melihat pancaran silau kegantengan anaknya, “Dimana kamu beli baju tuh?”
“Seseorang kasih aku,” Tomi tertawa kikik, “Aku pergi kerja!”
“Kerja? Yang benar?” Alis ibunya terangkat. “Ah... Mama nggak percaya.” Ibunya mengikuti Tomi. ”Biasa kamu bilang begitu. Tapi siang hari kamu cepat pulang ke rumah.”
Tomi tertawa. Lebih renyah. Ia memasukkan kaki ke kaos kaki putih kemudian berjalan dengan sepatu pantopel hitam. Tadi malam ia lap mengkilat sampai mencining kinclong, di ujung sepatunya terlihat sinar terang. Cling. Kilatannya seperti iklan sabun cuci piring.
“Ma, aku pergi!”
Ibunya bengong.
Anak itu nggak bohong padaku? Dia sering bergurau denganku bilang pergi kerja. Hasilnya...
“Aku tunggu kamu sampai sore, Tom!!!” teriak ibu Tomi.

***

Tomi menyusuri jalan sepanjang trotoar di seberang sungai dengan tenang. Ia sudah menemukan seseorang yang akan membantu ibunya di warung.
Kesehariannya sejak hari ini berubah total melalui jalan dan bukit ini ia lalui sekarang. Tibalah ia di gerai pada beberapa hari lalu ia datangi. Di sini ia memulai bekerja sungguh-sungguh.
Wuaaah, asyik nih tempat. Keren!
Ia bersandar di tiang kayu. Kemarin ia tak begitu memperhatikan. Di samping kafe ternyata ada koridor, ia mengintip lewat pintu kaca ruangan itu. Sebuah meja panjang merapat ke dinding menghadap ke luar jendela kaca. Belantara sungai di depan mata, pemandangan yang menenangkan hati ketika sedang resah nan galau.
Tomi mendengar suara hentakan sepatu. Menoleh ke tangga. Dua lelaki melihat Tomi seperti orang aneh dari kepala hingga ujung mata kaki. Tomi merasa diperhatikan, tersenyum kepada mereka dan angguk sedikit kepalanya. Lelaki satu berperawakan pendek, agak gendut kalau teman sebelahnya tinggi, kurus seperti Tomi tapi ia lebih berisi sedikit. Tomi menafsir usianya lebih tua dari lelaki gendut tadi.
Kecurigaan Tomi, mereka adalah orang-orang yang bekerja di sini. Lelaki yang paling muda itu terkikik di belakang temannya. Dan sepertinya ia tengah berbisik dengan temannya sambil melihat Tomi. Bikin Tomi risih sendiri.
Tak lama kemudian, datang seorang laki-laki bertubuh tinggi, besar, tegap. Nampak sangar, garis mukanya keras dan tegang. Kesamaan mereka pakai baju kasual. Masing-masing menentang tas.
Mereka semua menatap Tomi dengan pandangan bertanya-tanya.
Lalu pria tinggi yang datang terakhir maju ke depan untuk membuka pintu gerai. Tomi pun mengeluarkan senyum terpaksa. Tapi pria itu tak beri reaksi apa pun dan berdiri di samping Tomi karena ia bersandar di dekat pintu.
Kenapa dia yang buka?
Pintu telah terbuka dan didahului dua pria di belakangnya berjalan masuk ke dalam. Tomi masih menunggu di luar. Kira-kira siapa dia?
 “Masuk!” seru lelaki itu. Ia tahu siapa diri Tomi. “Duduk dulu di sini.”
“Iya.”
Seorang lelaki lagi muncul di balik pintu di sudut kiri. Berpakaian rapi, dari atas ke bawah full berwarna hitam. Lelaki yang Tomi jumpai kemarin. Kemeja berlengan panjang, celana jeans dan sepatu pantopel yang begitu mengkilat. Tali sepatu saja berwarna putih.
Keren.
Allan terheran-heran melihat karyawan barunya. “Tunggu,” seru Allan. Dengan sigap ketiga pria tadi berhenti melangkah. Menghadap Allan. Ia benahi kacamatanya.
“Ini karyawan baru. Pelayan Warung Ngopi, Tomi.”
Lelaki pertama yang menyuruh Tomi masuk merentangkan tangan kepada Tomi, “Primo.”
Lelaki di samping Primo berujar, “Livi.” Ekspresinya datar.
Teman sebelahnya lagi, sambil tersenyum, “Uki.”
“Tolong kalian bimbing dia!” pinta Allan. Ketiganya mengangguk pelan dan masuk bersama ke dapur. Tomi masih berdiri tunggu aba-aba keluar dari mulut Allan. Apa yang harus ia lakukan di tempat baru tersebut. “Tomi,” panggilnya.
“Ya.”
“Besok ke sini pakai baju biasa. Baru ganti pakaian seragam.”
Tomi garuk-garuk kepala. “Iya. Aku nggak tahu. Aku tunjukin ke ibuku di hari pertamaku, Bos. Besok aku nggak begini.”
Kita seumuran. Aku panggil dia Bos. Lidahku harus adaptasi setiap hari. Uh... Nasibku!

***

Uki bisikin sesuatu pada Tomi. Ia orang pertama yang mendekati dan langsung mengajak Tomi ngobrol. Hal pertama Tomi diperkenalkan seisi dapur dahulu baru Allan beritahu aturan-aturan sebagai pelayan. Dan apa yang menjadi bagian tugasnya.
“Dia manasin mesin Espresso.” Mata Uki merujuk ke arah Primo setelah melihat Tomi memperhatikan Primo sedang berdiri di depan mesin. “Namanya saja Primo tapi bukan seorang primo.”
Alis Tomi mengerut.
Uki tahu Tomi bingung dengan omongannya dan segera melanjutkan, “Primo itu jabatan tertinggi seorang barista di kafe. Di sini nggak ada seorang Primo. Semua sama rata. Cuman kita saja segan sama Primo. Ia senior kita. Primo, panggil dia Kapten. Pemimpin dapur, gitu.”
“Kenapa Primo? Kok sesuai namanya?” ujar. Tomi. Dilihatnya Primo sedang memanaskan mesin.
“Tau. Kapan-kapan kita ke rumah Primo.”
“Kenapa?”
“Tanya Mamanya?”
Tomi tersenyum menyeringai sambil geleng kepala. Uki menahan tawa lalu tertawa lepas. Mungkin cara ini dapat mengurangi kekakuan mereka. Ketegangan hari pertama Tomi bekerja. Sesaat Uki berpikir, “mungkin ibunya pengen Primo jadi Primo. Barista andal.”
“Apa ibunya dulu ngerti soal barista?”
“Itu dia!”
Lalu Uki tertawa kecil. Tomi hanya nyinyir.
“Tapi Bos mau kita semua sama-sama berjuang. Siapapun itu saling berkerja sama. Primo bagian Espresso, Livi manual brewing.”
“Kamu?” Tomi menafsir usia Uki lebih muda darinya. Jadi tanpa sungkan Tomi tak menambahkan embel-embel sebutan kakak. Dengan sedikit candaan Uki, Tomi merasa ketegangnnya berkurang. Itu bagus untuk dirinya. Membuatnya nyaman di sini.
“Aku? Aku bantu mereka, barista biasa. Selain itu aku yang nyediain cemilan untuk si coffee.
“Trus yang masak?”
“Livi sama aku. Hehehe.”
“Hei... Kerja! Pagi-pagi ngegosip.” Suara dari Livi memecah percakapan antara Tomi dan Uki.
“Kami bukan bergosip. Aku mengenalkan keadaan dapur.”
Tomi mengedar pandang ke seluruh isi dapur. Setelah panaskan mesin-Espresso machine yang disebut Uki-Primo memilih sandar di dinding. Mengaitkan kaki dan menyesap secangkir kopi.

***

“Mengapa kamu lihat aku macam mandor?” ketus Livi. Ia risih saat kerja diperhatikan Tomi.
“Bang, boleh aku belajar? Bikin kopi.”
Livi tersenyum ngeyek sementara ia sedang menyeduh kopi. “Minta ajarin racik kopi, huh...” gumam Livi. Ia mendongak dagu dan berkata, “Siapa kamu?”
“Tomi.”
Tomi sedang menunggu di meja bar. Ia menyela begitu membuat Livi menghela nafas panjang. “Siapa kasih kamu masuk?”
“Gei.”
“Siapa Gei?”
“Tunangan Bos.”
“O... Spesial. Kamu... kerjakan tugasmu di depan. Atau berbuat sesuatu di sini. Jangan antri di mukaku!”
Tomi langsung menjauh dari Livi. Bukannya ia menuruti ucapan Livi. Tapi perhatian Tomi beralih ke botol-botol toples berisi biji kopi sambil menunggu kopi buatan Livi selesai. Ia menunduk dan kedua tangannya menopang lututnya.
Tingkah polanya diamati Livi. Ia jadi kesal melihat karyawan baru itu. “Aku akan mengawasimu!” gumam Livi.
Tomi sempat-sempati dekati rak kopi. Tulisan itu menarik hatinya. Secarik kertas di tempel di badan toples kaca, “Mandheling,” mengarahkan telunjuknya ke toples sebelahnya, “Java.”
“Aku...”
Saat Livi menuang ke cangkir, aroma kopi menyeruak bak menari-nari di udara kemudian singgah di hidung Tomi. Hmm... harum.
“Tomi,” panggil Livi.
Tomi memalingkan kepalanya.
“Berhati-hatilah!” pekik Livi. “Jangan ganggu kopi itu.”
Cuma pegang aja.
“Nih, kopi meja nomor 2,” seru Livi dengan nada suara yang tinggi.
Tomi mendekat mengambil cangkir itu untuk dibawa ke depan. “Nomor 2 berarti di meja pojok.”

Uki mengajak Tomi keliling dapur yang terbagi dua. Satu untuk meracik kopi dan sebelahnya dapur masak. Ia telah menjelaskan setiap pojok dapur. Allan tak menginginkan asap masakan bercampur dengan kopi. Takut mempengaruhi keadaan kopi. Untuk antisipasi itu ia memisahkan dapur.
Jelang makan siang Livi menyuruh Tomi kerjakan sesuatu. “Tomi, tugasmu cuci cangkir dan bersihkan dapur.”
“Bersihin dapur. Tapi tugasku melayani tamu.”
“Ngeyel kamu... Sudah pakem di dapur kalau orang baru diberi tugas seperti itu.”
Uki menyikut lengan ke pinggang Tomi. “Turuti saja. Aku juga begitu pertama masuk. Disuruh ini itu,” bisiknya.
“Cepat ke sink. Cangkir kotor menumpuk.”
Mau tak mau Tomi turuti perintah Livi. Sedang Uki mulai berbenah apa yang menjadi bagian tugasnya sebelum pulang.


Bab selanjutnya:
novel warung ngopi bab 2



No comments:

Post a Comment