Wednesday 14 December 2016

Novel: Warung Ngopi Bab 5



Bab sebelumnya: Novel Warung Ngopi Bab 5


Latihan Cupping


Di bawah langit, tengah bukit berdiri rumah kecil berpondasi kayu yang bertahun-tahun. Tinggal seorang ibu beserta anak. Sang ayah alami serangan jantung mendadak. Meninggalkan warisan rumah dan uang tabungan yang diputar jadi usaha. Perempuan itu menjual masakan di warung. Ia beli rumah di tepi jalan berukuran 6x4 meter.

Malam saat santai duduk di lantai ruang keluarga.
Perempuan paruh baya itu baring di lantai memandang ke putranya.
Tomi masih kerja di kafe?
Iya.
“Kenapa sih kamu kasih anakmu kerja di sebagai pelayan. Kafe-kafe itu kan...”
“Apa, Mama Budi?”
“Biasalah... yang begitu itu tuh...”
“Itu tuh apa?” terdengar nada suara ibu Tomi mulai kesal.
“Mama Tomi tahulah.”
Hhhmm... ibu Tomi paham arah kemana tetangganya itu bicara. Bukan seperti yang Mama Budi bayangkan. Dia bukan kerja di klub malam.”
“Kamu perhatikan anak cowokmu satu-satunya, kepincut sama cewek nakal!” tetangganya itu mendekatkan kepalanya ke samping wajah ibu Tomi .
Ibu Tomi tetap menguatkan hatinya.
Mengingat pertanyaan miring kembali terngiang di kepala dan ia sudah lama ingin bertanya langsung sama Tomi, “Di tempat kamu kerja ada perempuan?” Putranya asyik menyantap nasi sekalian menemani ibunya nonton acara TV.
“Ada.”
“Gadis baik-baik?”
Tomi menggangguk.
“Ada,” tandas ibunya segera bangkit dari baringnya. Ingin memastikan jawaban Tomi, “Dia sama bagian denganmu.”
“Enggak.”
“Bagian apa dia?”
Tomi mengangkat bahu, Nggak tahu. Masuk kerja suka-suka.”
“Mengapa gitu?”
“Habis deket sama Bosku. Ada Bos dia nggak ada. Dia ada Bos nggak ada.”
“Ada pula begitu.” Ibunya bingung. Ia melongo. Terlihat gigi ompongnya di rahang atas. “Dia bukan cewek yang merayu orang kan, Tom?”
Tomi menoleh. “Apa maksud Mama? Merayu orang?”
Lalu ia menggerutkan kening, “Tempat kerjaku bukan seperti itu!” tegas Tomi.
Hati ibunya lega. “Aku sudah katakan padanya kamu kerja di tempat yang benar.”
Melihat Tomi bingung. Lantas ibunya perlu meluruskan perkataannya, “Ibu Budi...”
“Tak usah digubris omongan orang.”
Lalu ibu Tomi condongkan tubuh ke depan, “Gimana rupanya?”
“Cantik tapi... pendek. Kenapa?”
“Umurmu berapa?”
“26. Kenapa?”
“Tunggu apa lagi,” kata ibunya setengah berteriak.
“Apa, Ma?” Tomi tak kalah teriak. Namun lebih pelan dari ibunya.
“Kejar gadis itu.” desak ibu Tomi.
“Ma...”
“Dia... orangnya baik?”
Tanpa pikir panjang, Tomi menjawab dengan cepat, “Baik banget.”
“Nah. Apa lagi?”
Tomi balik bertanya, “Mama setuju?”
“Kamu suka dia?”
Tomi mengangguk-angguk. “Suka.” Suaranya tak terdenger jelas karena ia sibuk mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Apa dia secantik itu?” tunjuk ibu Tomi ke TV.
Ibu Tomi menonton drama Korea. Ia suka nonton karena artis-artis Korea berparas cantik.
“Hampir.”
“Mama setuju asal kamu suka. Itu cukup.”
“Mama nggak nonton? Ketinggalan jauh nanti gak ngerti jalan ceritanya.” Sebenarnya Tomi tak minat nonton namun ibunya tak mengerti apa yang diomongin. Dan Tomi disuruh menceritakan maksud adegan drama yang tak ia paham.
“Mama mau tanya kamu?” Ia masih mandang putranya. “Kamu sudah bilang?”
“Bilang apa?”
“Kamu suka dia?”
“Aih Mama, masak secepat itu?”
“Kamu takut,” ibunya melotot, “kapan kamu dapat pacar?”
“Ma, kita baru bertemu. Kaget dia. Entar lari tunggang langgang.”
“Kan anak sekarang main labrak.”
Tomi memalingkan wajah hingga ia berhadapan dengan ibunya. “Mama kok ajarin aku. Aku bukan anak remaja, Ma. Aku bukan lahir di zaman modern. 26 tahun lalu.”
“Kamu hidup di zaman modern! Zaman sekarang anak perempuan yang duluan dekatin. Apa namanya? Pedet...”
“PDKT.”
“Ya, itu. Bukan sepertimu. Takut dekatin perempuan.”
“Yaa...yah...” keluh Tomi, mengalah.
“Cepatlah cari menantu buat Mama, Tom...” rayu ibunya.
“Iya, iya,” seraya bangkit dari karpet mengalasi lantai kayu. Nasinya belum habis dilahap. Terus dijor-joran sang ibu. Siapa yang bernafsu makan.
Tomi keluar cari angin segar, duduk di teras.
Ibu Tomi tak bisa ikuti drama di TV. Bukan karena anaknya keluar menghindari omelannya. Tapi pikirannya sibuk melayang ke perempuan yang ada di tempat kerja Tomi.
“Tom, Tom... anakku masih malu-malu. Takut benar ditolak. Padahal belum ngomong,” ibu Tomi ngoceh sendiri.

***

“Kemana dia? Belum datang-datang. Bahanku tinggal sedikit. Lama betul!!!” Livi berkacak pinggang mondar-mandir di dapur.
Dan di jalanan nyaris dekat Warung Ngopi. Seorang lelaki berjalan kaki. Punggungnya membungkuk. Menapaki bukit. “Tom, kamu sekarang menuju ke tempat kerjamu. Hari ini harus ngomong,” perintah Tomi pada diri sendiri. “Kamu harus bicara sama Gee.” Sekarang Tomi berubah panggil Geizya jadi Gee-panggilan Geizya ketika di bangku kuliahnya-semenjak di tempat kerja.
Ia meringis dan garuk-garuk kepala, “Aih, kok susah amat kamu, Tom.”
Mengenakan celana panjang warna coklat muda dengan ujung kakinya model tergantung, sepatu kets hitam tanpa kaos kaki, kemeja kotak-kotak, dalamannya kaos putih. Dan bertopi hitam, snapback-nya diputar ke depan.
Apakah dia perhatikan penampilanku hari ini? Aku berjam-jam di cermin. Mama ngomel-ngomel. Berteriak suruh aku cepatan pergi kerja. Mudah-mudahan Gee lihat tampangku.
Tomi mengendus bajunya.
Wangi...
Selain menyemprot pewangi. Tomi menyiasati dengan mandi sehari tiga kali supaya tampil bersih dan keharuman tetap terjaga.
Pemilik warung Ngopi mewanti-wanti karyawannya, jangan sampai bau tak sedap di badan nangkring di hidung pelanggannya.
Kecuali aroma kopi.
Meja panjang nomor 1 khusus pengunjung famili atau untuk meeting tersaji:
1. Air panas
2. Timbangan
3. Cangkir untuk tiap jenis kopi
4. Gelas
5. Sendok makan
6. Timer
7. Teko berisi air putih
8. Wadah untuk membilas sendok
9. Kertas untuk mencatat
Empat cangkir ditata berjejer. Para tamu sibuk mempersiapkan kertas di meja dan saling menyodorkan sendok ke masing-masing orang.
Gee menyiapkan empat jenis kopi bubuk sebanyak 7 gr yang ditaruh ke dalam cangkir dengan inisial A, B, C dan D. Ia beri kesempatan untuk para tamunya membaui aroma kopi tersebut sebelum menyeduh kopi. “Jangan pakai air baru mendidih atau 100°C. Suhu air sekitar 93°C.”
Seorang anak muda bertanya, “Gimana kita tahu suhu segitu? Kalau nggak ada termometer.”
“Diamkan air mendidih selama 1-2 menit. Baru tuang, sahut Gee sambil menunggu air mendidih.
Semua orang mengangguk.
Merasa waktu telah cukup di timer. Gee menuang air panas 180 ml dengan suhu sekitar 90°-95°C ke dalam empat cangkir. Begitu dituang, gelembung-gelembung berdempetan di atas permukaan kopi.
Setelah empat menit menyeduh bubuk kopi.
“Ikuti saya, kita lakukan pecah tutup,” perintah Gee. Hidungnya di dekatkan ke cangkir. Dengan sendok ia dorong permukaan untuk memecah busa.
Aroma menguak.
Membayangkan. Aroma apa tersingkap dalam uap tak berwarna, cairan hitam itu?
Setelah gelembung kopi pecah dan ampas kopi mengendap. Dengan sendok tadi ia singkirkan bubuk kopi yang mengapung di atas cangkir. “Seduh kopi satu sendok. Diseruput cepat. Kalau nggak, bisa keselek.”
“Mengapa?” tanya salah seorang tamu Gee.
“Supaya kopi terasa di kerongkongan,” ujar Gee, “ambil sesendok kopi. Berkumur di dalam mulut. Cairan kopi itu membaur di lidah dan langit-langit mulut. Bagian lidah, indera perasa terbagi manis di ujung lidah, asam di samping kiri kanan, dan pahit di pangkal lidah (after-taste).
“O...” seru sebagian tamu. Sisanya mengangguk.
Disesapi kopi itu. Kemudian Gee ludahkan kopinya. Tamu Gee mengikuti langkah-langkah Gee.
“Silakan kalian gambarkan rasa kopi tadi,” bimbing Gee. Kemudian ia kumur mulut dengan air putih. Ia beri kesempatan kepada tamunya untuk mencoba kopi di cangkir pertama ia seduh.
Giliran kopi berikut Gee mengganti sendok begitupun para tamu mengikutinya. Sebelum memulai Gee mengatakan bahwa mereka perlu ikuti apa yang ia lakukan.
Di luar kedai, dua orang pengunjung menunggu minuman di bangku ujung kiri. Perempuan muda itu bermodel rambut pixie cut dan temannya berponi tebal, rambut panjang.
Di saat bersamaan seorang lelaki melintasi di hadapan kedua perempuan itu.
“Tuh tuh lihat dia, Brenda!” Flo manyunkan bibirnya ke belakang punggung Brenda.
“Cepat lihat!”
“Iya.” Brenda palingkan muka ke belakang. “Aku lihat.”
Langkahnya panjang dan cepat. Menenteng bungkusan hitam. Tangan satu lagi ditekuk ke dalam saku celana. Ujung kemejanya menjuntai-juntai. Gendong tas pungung. “Gee, pakaianku hari ini atas saran dan kritikmu,” kata Tomi tadi di depan cermin.
Gee kagok lihat Tomi pakai T-shirt yang kecil atau model press body. Selama Gee jaga warung. Ia mengamati gaya busana Tomi kadang besar malah kelihatan tenggelam. Siap terbang bak baju kering di jemuran yang ditiup angin.
Gee mengkritik temannya soal berpakaian. “Tom, kamu nggak pantas pakai baju itu. Kadang baju gobor kamu pakai. Nggak pantas. Jangan pakai yang besar. Seperti baju over size di badanmu.”
Gee mengomentari lagi. “Untuk dalaman pakai kaus oblong luar pakai kemeja atau jaket supaya badanmu tampak berisi.”
Nyelekit! Tapi, tanda bukti Gee perhatian terhadapku. Ckckckck.
Tomi tak menyadari kalau ada manusia lawan jenis perhatiin dirinya di pojok.
Flo menggoncang tangan Brenda, “Dia keren... kan? Apalagi pakai seragam.”
Brenda nyengir. “Menurutku, dia biasa.” Terdengar nada penekanan di kata terakhir.
“Ck.”
“Biasanya orang tampak lebih menarik saat makai baju bagus. Tapi dia tetap dandy biar bajunya kasual. Kayak model aja deh.” sambung Flo.
Hadueh... Hadueh... Jangan lebay deh nilai orang. Pertama kali kamu cuekin dia.”
Flo moncongkan bibirnya. “Kamu jangan dekatin dia! Doi milikku!”
“Beh... Yang duluan lihat siapa?”
“Kamu tempo hari belum menyukai dia?” Flo mendelikkan matanya. Mereka sudah kedua kali ke Warung Ngopi.
Brenda melongos.
“Cu…” Flo tunggu kelanjutan kata Brenda, “…man, dia kurus.”
Semerbak aroma kopi menguak seluruh ruangan. Langkah Tomi sengaja diperlambat. Matanya sempat-sempatin melirik Gee.
Kenapa dia dikelilingi...
Lima orang pria di seberangnya. Gee duduk di tengah. Mereka diundang lewat twitter secara gratis.
“Ngapain, Gee?bisik Tomi ketika ia di samping Gee. Siang ini ia paling terakhir turun kerja.
“Kita lagi cupping coffee.
“Kaping kopi?”
Gee tersenyum. “Nyoba kopi. Kita dapat 'amunisi' kopi daerah lain. Kiriman biji kopi Arabika lokal. Dari Allan.”
“Semua, Gee?” mata Tomi menyisir cangkir-cangkir di meja terisi kopi hitam.
“Dua saja ditambah yang ada di warung.”
Gee… nggak teler minum kopi?”
Gee tertawa kecil. “Enggak. Aku nyeduh beberapa sendok.” Gee miringkan kepala, “Tom, mau bergabung denganku?”
Di saat memikirkan bagaimana memulai bicara sama Gee. Di hadapannya seseorang lagi berkacak pinggang, muka merah padam, rahangnya mengeras, gemeretak giginya dan apalagi? Amarah Livi sudah memuncak sampai di ketinggian gunung Everest.
Tomi menunduk takut lihat keseraman wajah Livi. Pontang-panting ia menghampiri Livi yang berdiri di ambang pintu dapur. Pertanyaan dari Gee dibuat gantung oleh Tomi. Berjalan memutar di belakang Gee.
Gee menoleh ke arah Tomi. Ia langsung mengerti situasi Tomi.
Perasaan Tomi getar-getir sambil memohon, “Maaf, Livi. Maaf...!”
Kegeraman Livi mampu ditahan di hadapan semua orang. Kalau tidak...?
“Kenapa pakai lama?”
“Maafkan aku. Aku lupa.” Gara-gara lama mantengi depan kaca Tomi sibuk urus pakai baju apa yang pas baginya bukan bagi Gee. Bikin ia terlambat.
Dalam perjalanan ke warung Tomi ditelepon Livi minta cepat datang. Tapi ia ketahuan ngobrol dengan Gee.
“Di depan Gee kamu jadi buyar apa yang kutugaskan kepadamu. Konsentrasi kenapa?” hardik Livi, terselip noda amarah di setiap jengkal katanya.
Tomi tertunduk. Berkeringat. Memang salahnya. Untung Livi tak marah lagi karena ia kembali bekerja. Tomi menaruh-pesanan Livi-biji kopi lokal yang baru digoreng. Sebelum berangkat kerja ia singgah ke tempat penggoreng kopi. Disuruh ambil kopi. Di Warung Ngopi, Allan mempercayakan penggoreng kopi di sini untuk menggoreng kopinya.
“Bikin mood-ku jelek!” tukas Livi nyaring agar sengaja didengar Tomi.
“Tomi! Antar ke meja no. 4!” perintah Primo.
“Ya.” Ia tak menghiraukan lagi pakaian yang melekat di badan. Jika Allan melihat pasti meradang. Namun bagi Tomi pribadi yang paling penting kopi nyampai duluan.
“Kamu kemana, Tom?” Pertanyaan Uki membuat langkah Tomi tercekat. Ia masuk dengan secarik kertas untuk diberikan kepada Livi. Ia yang gantikan Gee melayani pengunjung saat Tomi belum datang.
“Antar.”
“Begitu?” Mata Uki tertuju ke badan Tomi.
“Iya.”
Uki ambil alih tugas Tomi, “Sini aku antar, cepat kamu ganti baju.”
Tomi turuti kemauan Uki. Saat melintasi Primo, ia berujar, “Kapten, Gee ajak aku kaping. Boleh aku ikut?”
Primo menahan tawa. “Hhm. Aku suruh Uki gantikan kamu.”
“Terima kasih, Kapten.”
Buru-buru Tomi ganti pakaian seragamnya. Derap langkah mengebu di lantai kayu.
“Ayo,” desak Gee, menoleh saat Tomi muncul. “Ambil sendok dengan gelasmu. Kopi keburu dingin.” Gee menunjukkan ada stok gelas dan sendok.
“Ok.”
Tomi menarik kursi di sebelah Gee yang kosong. Irama nafasnya tak keruan. Naik turun naik turun.
Teman-teman Gee sudah melangkah ke cangkir yang ke tiga. Walau ada seseorang yang balik ke cangkir pertama. Terlihat bingung. Mereka seolah dibawa ke dunia yang mereka deteksi di dalam rongga mulut. Tak berdaya menafsirkan apakah rasa sesungguhnya kopi itu.
Tomi duduk di samping Gee.
“Kamu ikuti langkah kami.”
Gee mengendus kopi yang sedang ia serut. Tomi menyeduh satu sendok di cangkir pertama paling kanannya.
“Serut sekali,” Gee ngarahin Tomi.
Tomi perhatikan Gee dan orang-orang di seberang. Mendekatkan hidung ke bibir cangkir, hirup aroma kopi kemudian mereka mencatat di kertas sambil memikirkan sesuatu. Kata-kata apa yang pas mengkategorikan kopi yang mereka rasa.
Slruup.
Kedengaran suara-suara semacam itu bertaut-tautan walau dirasa tak sopan.
Slruuup...
Berbagai kalangan orang datang ke warung sekadar mencicipi kopi jamuan Gee.
Slruup.
Tomi keselak. Ia gelalapan cari air putih, terbatuk-batuk. Matanya berair seperti menangis.
Gee memandangnya sambil menulis di kertas. “Tenangkan dirimu dulu, Tom. Pelan-pelan jangan maksa.”
Walaupun agak terusik suara batuk Tomi. Beberapa meneruskan berkonsentrasi penuh blind tasting mereka. Mereka bukan abaikan Tomi. Tapi mereka harus melanjutkan ketajaman indera mereka supaya tak hilang berkonsentrasi penuh tentang apa yang telah mereka coba, rekam dan bayangkan rasa kopi. Ada juga yang menertawai Tomi.
Tomi menenangkan dirinya. Dalam hatinya lebih baik ia pergi dari sini daripada mengganggu para tamu.

“Setelah kau incip, tulis di kertas.”
“OK.” Saat mau menulis Tomi mendongak, “Kenapa?”
“Aku mau tahu pendapatmu. Baunya gimana, rasanya, kepekatan kopi?”
“Aissh,” Tomi mengibaskan tangan di atas udara. “Aku mana tahu apa-apa soal itu, Gee.”
“Nggak apa-pa kalau salah. Aku pengen tahu opinimu. Mau kumasukkan ke dalam blogku. Bahan artikel untuk blogku.”
Pikiran Tomi sibuk dengan kata-kata ini, “Aku bisa ngomong sekarang langsung di depannya. Mumpung kita berdua.
“Pendapatku boleh diterima?”
“Of course.”
Gee janjian sama Tomi untuk cupping coffee. Tadi siang terkendala banyak rombongan pengunjung sehingga Tomi menyerah untuk layani mereka. Sore ini sebelum buka warung mereka melanjutkan yang sempat tertunda.
“Sudah kau tulis?”
“Maaf, Gee. Aku bingung, Gee.” Tomi mengernyit alis.
Tomi hanya mengikuti sebagian kopi. Lembar kerjanya yang dicentang bisa dihitung jari. “Tidak banyak yang kuisi.”
“Nggak apa-apa. Opini masing-masing orang pasti berbeda. Soal rasa tiada yang benar dan salah. Lidah, kesukaan seseorang pada citarasa kopi tidak ada yang sama, kan. Kita disini ngetest bukan siapa yang benar atau salah. Kita sekadar berbagi pendapat. Lain pendapat jadi masukan buat kita yang tak pernah pikirkan sebelumnya. Itu sudah sangat membantu. Jangan khawatir.”
“Tapi aku belum bisa nemukan apa yang terdapat pada kopi itu seperti yang kalian lakukan.”
“Tom, jangan membebani dirimu. Perlu latihan, Tom!” Gee menaruh tangan di pundak Tomi. “Aku pernah alami yang kamu alami sekarang. Pelan-pelan, okey.”
“Kau suka kopi yang mana, Tom?”
Tomi serahkan kertas pada Gee. “Sebenarnya aku bukan peminum kopi. Nggak suka minum.”
“Kenapa?”
“Entahlah. Mungkin karena pahit.”
“Lalu kopi yang sudah kamu coba yang mana bagimu sreg?”
“Yang ini.”
Gee membalik kertas dan membacanya, “Kopi Aceh Gayo.” Lalu ia membaca pendapat di kertas milik Tomi.
“Aku nggak tahu isi apa,” Tomi berkata dengan lesu. Tidak banyak yang terisi dalam kolom-kolom pendeskripsian kopi.
“Nggak apa-apa.” Gee memikirkan sesuatu, “Aku... Ini. Coba tebak kopi apa?”
Tomi pikir sejenak lalu menggeleng, “Aku nggak tahu.”
Gee membuka kertas di cangkir urutan ke 3, “Kopi Mandheling. Dari Sumatera.”
“Mengapa?”
“Aku suka karakternya yang kompleks dan kuat. Dia spicy, ada aksen chocolate dan terasa pekat.”
Tomi sekadar angguk kepala. Pikirannya sekarang tambah semrawut.
“Kenapa, Tom?”
“Aku masih nggak mampu menebak kopi.”
“Hei, kenapa kamu terbebani soal itu? Kita nggak bisa lakukan cupping sekali dua kali. Aku aja belum pandai banget. Kita akan ber-cupping di lain hari,” terang Gee.
Bola mata Tomi membesar dan bersinar seketika, “Kita?”
Gee membalas dengan senyum sambil mata dikedip sekali dan mengangguk pelan.
Itu sudah cukup bagi Tomi.
“Tom, tolong pegang sendok nih. Aku foto. Tahan bentar!”
“Ok,” tanggap Tomi penuh semangat.
Catatan Gee difoto. Ia dorong kursi ke belakang dan berdiri untuk memfoto cangkir kopi dari angle atas.
“Mau diunggah ke website-mu?”
“He-eh.”
Jepret.
Tomi terkesiap. Ia mengangga. Mukanya tegang. Membelalak. “Kenapa aku difoto?”
Gee menahan tawanya. “Aku mau pampang kamu jadi modelku. Kamu harus tampil di situsku.”
Tomi bersungut, “Masak dengan gaya itu?”
“Hahaha. Iya, ya. Ulang lagi.”
“Siap-siap, Tom.” Gee ancang-ancang menahan BB-nya di udara. Jebret. Gee melihat layar Blackberry. “Kayaknya kurang sip. Nih, kamu sambil pegang cangkir. Kayak lagi orang minum dan lihat kamera,” perintah Gee.
“Hmm.” pasrah Tomi.
Jepret.
“Gee pasti banyak tahu ngenai kopi?” ujar Tomi melipat tangan di meja.
Gee sibuk memilah foto-foto Tomi.
“Sedikit. Aku belajar dari Allan. Gara-gara dia aku kesemsem sama kopi. Aku bikin blog untuk berbagi aja.”
“Apa yang kamu tulis?”
All about of coffee. Kopi Indonesia. Aku tulis apa yang kuketahui.”
Asyik berfoto Tomi lupa pada omongan yang ingin ia sampaikan kepada Gee.

***

Gee kirim sms ke Tomi, Sudah tidur?
Belum.
Ngapain?
Lagi sms.
Gee tersenyum. Bisa tidur?
Enggak nih. Kamu gih ngapain?
Gee bangkit dari tepi spring bed-nya. Aku... mandang langit.
Kamu nggak bisa tidur?
He-eh. Gee kirim sms lagi. Hahaha.
Kenapa?
Keinget tadi kamu keselek.
Ah... kamu ngeledek aku.
Masak serut gitu sampai keselek.
Yah aku... nggak bisa saja langsung serut.
Tom... udahan yah. Aku cuma mau tahu apa kamu bisa tidur.
Ooookey.
Bye.
Gee belum terlelap. Gee mendekap guling. Gorden di jendela dibiarkan terbuka. Padahal matanya berat tapi pikiran melayang.
Tak mengertilah mengapa raut muka Tomi yang keselek masih membayangi. Sampai ia tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian itu. Temannya bersusah payah berusaha menenangkan dirinya, menghilangkan batuknya malah ia menahan tawa dan kini pun ia tertawa kecil.

Berharap dapat mengantarnya ke alam bawah sadar.

Bab selanjutnya: Novel Warung Ngopi Bab 6



No comments:

Post a Comment