Gellyta dari kamarnya pindah ke kamar Gee, mengamati kakaknya tersenyum sendirian sambil mantengi Blackberry. Mulai hari ini ia tinggal di Tarakan. Ia datang ke mari berinisiaif menemani kakaknya yang seorang diri. Gee masih tak tahu alasan pasti Gellyta datang kemari. Ngakunya sih kangen sama Gee.
“Ngapain
kakak tuh?” pikir Gellyta, sudut matanya mengawasi Gee dari refleksi cermin.
Sang kakak senyum-senyum sendiri.
Gellyta
mengekori Gee yang beranjak dari kursi lalu ke luar kamar. Kesempatan itu tak
mau Gellyta sia-siakan. Diraih BB
milik kakaknya, Gellyta ternganga, dibuat bingung campur aduk.
Sekembalinya
Gee baru semenit lalu, Gellyta ketahuan sedang memergoki BB-nya. “Hei, hei, hei... ”
Gellyta malah
dengan percaya diri balik bertanya, “Kak, apa ini?”
Tangan kiri
Gee menopang sikut sebelah dengan telapak tangan menengadah ke atas, “Sini!”
pinta Gee.
“Kasih tahu
Mami.”
Gee menangkup
tangannya kecuali jari telunjuk. “Jangan!”
Jika lewat
kata-kata tak bekerja langsung saja Gee mendekati Gellyta. Jelas Gellyta
menghindar dari jangkauan si kakak. Mereka kejar-kejaran selayaknya anak kecil
berebutan mainan. “Jawab aku dulu?” Blackberry milik Gee dipegang erat.
Gee angkat tangan. “Ok, ok. Apa pertanyaanmu,
kamu belum tanya?”
“Kenapa kakak
simpan foto dia?” interogasi Gellyta.
“Siapa?”
Gellyta
memutar BB dihadapkan ke Gee, “Orang
ini? Kenapa dia?”
“Mau tahu
banget. Sini BB-ku.” Gellyta
bersikeras tak memberi. “Nggak
mau kasih yah!”
“Kalau nggak jawab,
kasih tahu Papi!”
“Jangan,
Gellyta...” Gee gerakkan
tangan ke kiri-kanan, “Tomi.”
“Dia? Ohh...
Kakak suka dia?”
Mata Gee
terbelalak. “Enggak!” Ia mendaratkan bokongnya ke tepi tempat tidur dan
merebahkan diri. “Nggak tahulah. Kalau bilang suka aku suka. Dia sering nawarin
Kakak ‘minum kopi apa, Bu?’ dan saat
dia naruh cangkir kopi di hadapanku, itu... manis sekali. Aku...”
matanya menerawang di atap plafon cat putih, “...dapat perlakuan dari Tom Tom.”
Wajahnya tersipu malu, memerah hampir seluruh muka.
Gellyta menghampiri dan duduk bersila di sebelah Gee seraya
menaruh BB di atas kasur.
“Kamu tahu, kan?”
“Nggak tahu.”Gee
memukul lembut pada
lengan adiknya.
“Dia sering
nyampiri aku.”
“Lalu...” Gellyta
ikut berbaring di spring bed. “Apa
artinya?” Adik Gee menebak sesuatu.
“Hhm...” Gee
melongos panjang.
Gellyta
menopang dagu di guling empuk menatap kakaknya. Tergambar di
sana wajah dilanda asmara jatuh cinta. Kayak baru mengenal arti cinta pertama
kali.
“Ini nggak
boleh, Kak.”
“Aku tahu,
Gel,” ucap Gee pasrah.
“Lalu Kak
Allan, bagaimana?”
“Memang
kenapa?”
“Ke-na-pa?” Gellyta melotot.
“Kakak sudah
terbiasa dengan gaya hidup mewah. Allan sudah mapan. Coba lihat Tomi. Apakah kakak
sanggup bersama dia?”
“Kekhawatiran
berlebihan tak baik untuk tubuhmu. Tenang, adikku... aku takkan sampai sejauh yang kamu bayangkan.
Hmm...”
Gellyta hanya terpaku memandangi kakaknya.
Gee jatuhkan pandang ke layar BB lalu jarinya dengan cepat mengetik, “Tom, besok
kamu ada waktu?”
Kenapa Gee?
Mm... Lupa
janji kita?
O, iya. Aku lupa. Aku kapan-kapan bisa. Kamu?
Pesan singkat
mengatakan lupa. Padahal
di relung hati Tomi sangat menanti-nantikan waktu tersebut. Hanya ia bingung bagaimana
mengatakannya. Mengajak Gee. Terus makan dimana. Apakah
pilihannya nanti sesuai selera Gee? Dan apakah tak mengecewakan ia?
Aku ada
waktu.
Hari Minggu Gee bisa meluangkan waktu buatku.
Bisa.
Gellyta
menindihkan pipinya di atas guling sambil menatap Gee, “Kak, BBM siapa? Kakak
ipar?”
Gee palingkan
wajah.
Tersenyum
kecil.
“Ayo, mari
kita bobo!”
Berapa kali
Tomi bolak-balik kelilingi kamarnya. Ia bukan mengukur panjang lebar kamar
untuk pasang karpet. Ia belum mutusin pakai baju apa, cemas atas penampilan
perdananya di luar jam kerja.
Bersama Gee.
Walau saban
hari bertemu Gee tapi hari ini, SPESIAL DONG.
Semenjak sore
hingga jelang malam Tomi bingung sendiri mikirin rambutnya hendak dibuat kayak
apa? Mau ikut role mode siapa, Taylor Lautner?
“Poniku nggak bisa disasak rambutku terlanjur keriting. Mau di-pomade
ala Al Ghazali nggak bisa. Ah... Terlebih parah. Salahkan saja pada pilihan
sendiri. Kenapa mau dikeriting tuh rambut,” geram hati
Tomi.
Mau minta
pendapat sama adik perempuan tak punya. Lalu sama ibunya? Entar beliau tanya
yang macam-macam malah tak meruncing kegelisahan Tomi.
Sisa sepuluh
menit jarum jam dinding merapat ke angka tujuh. Terpaksa ia mengenakan kaos
berkerah dengan jeans. Supaya bila
berpapasan sang ibu tak di terpa pertanyaan. Yang terutama adalah pakaiannya
masih layak dipakai dan tak bikin malu di hadapan Gee.
Meski...
Bukan nge-date sepasang
kekasih.
Sebelumnya Gee menelepon Tomi agar tunggu di bawah. Janjian
mereka, Gee menjemput dengan mobil. Berangkat dari sana ke sebuah gedung
bertingkat dan halaman luas.
Gee tertawa lebar dan panjang. “Kamu ajak
aku ke sini?”
“Iya.”
Ada pohon
cemara di halaman gereja. Mereka duduk-di bawah pohon di tepi pot
semen-berhadapan dengan sekolah SMP tempat mereka bersekolah dulu. Di gereja
inilah Tomi kelak akan mengelar pernikahannya. Bila ia bertemu dengan seseorang
yang dapat mengukuhkan hatinya bina mahligai rumah tangga. Gee tersenyum
angguk-angguk mendengarnya. Kemudian ia tertawa lepas ketika Tomi berujar ia
akan mengadakan resepsi pernikahannya di halaman basket dan alun-alun sekolah
seperti yang ditunjuknya sekarang.
Gee
berhandai-handai Tomi mengatakan semua itu seperti sedang mengutarakan isi hati
kepada seorang kekasih. Membuat Gee tergelak kecil di batinnya. Ia merasa di
posisi 'seseorang'. Padahal ia tahu itu merupakan curhatan seorang teman
semata.
Tapi, kenapa
pula harus ia?
Tomi membuka bungkusan kantong kain yang berisi rantang dan
minuman botol mineral. “Rupanya ini bungkusan
dibawa Tomi,” batin Gee.
Di dalamnya menyeruak main course
nasi dengan beef steak dilengkapi
sayuran rebus serta buah-buahan kaya serat.
Ia membuatnya
saat ibu Tomi tak berada di rumah. Jika ia pulang dan menanyakan apa yang berisi di kantong
kain, untuk siapa. Tomi berdalih itu untuk teman kerjanya yang telah memasukkan
ia ke Warung Ngopi.
Pudar sudah rasa kekhawatiran Tomi jika keberatan Gee diajak
makan di pinggir jalan. Ia tak sedikitpun mengeluh akan debu. Untung di sini
jalanan tak terlalu ramai. Kendaraan tak banyak berlalu lalang.
Tomi kepengin tahu pendapat Gee tentang makanan malam yang
dibawakan.
“Hhm,” tanggapan pertama Gee menatap makan
malamnya yang dipangku di paha. Mengugah selera.
“Gimana?”
Sendok nasi Gee mengambang di dekat mulutnya. Belum
santap sesuap nasi
langsung disergap pertanyaan Tomi. Ia menyeringai, “Belum makan.” Ia
kunyah dan mengecap. “Enak ya buatan ibumu.”
“Bukan.”
“Oh, beli?”
Tomi
menggeleng.
“Lalu,
siapa?”
“Kamu bakal
nggak percaya.”
Raut muka Gee
jadi jengkel tebakannya tak ada yang benar. Sambil mengoyangkan badannya dengan
manja, ia memohon, “Siapa sih?”
“Aku,” Tomi
mengalah.
“Oh, Kamu
bisa masak?”
“Nah, kan.”
Dari tadi Tomi menunggu Gee cicipi suapan pertama. Lega... Ketegangan yang
muncul dalam dirinya sedikit mengganggunya santap makanan. Setelah dengar nada
positif dari Gee barulah ia menjatuhkan pandangan pada nasinya. Mulai makan miliknya. “Bisalah.
Mamaku jualan makanan aku harus bisa masak dong.”
“Hebat yah.”
“Tiada yang teristimewa dari sajian buatan sendiri.”
Gee mencermati ucapan Tomi. “Benar,” sahutnya.
“Kamu bisa
masak?” tanya Tomi, mulutnya
sibuk kunyah makanan.
“Hm-mm.”
Jarinya mengibas udara. “Nggak suka masak. Malas nyuci-nyuci.”
“Wah...
Gimana nih anak perempuan. Kalau jadi istri orang?”
“Aku harus
pakai pembantu,” jawabnya dengan santai. “Kamu... istrimu pasti senang suaminya
pintar masak.”
“Masak iya?”
“Benar.”
Tomi memiringkan kepala, “Kalau Allan, nggak protes?”
Gee menggeleng penuh keyakinan, “Nggak ada masalah.”
“Aku salut
pada Allan. Calon istri nggak
bisa masak. Tetap gandeng kamu.”
Gee
bergeming.
Tomi mengacung-acungkan sendok nasi ke hadapan Gee.
“Jika istri sepertimu, aku nggak akan pilih kamu.”
Gee tersentak sejak kapan Tomi berani
berargumen. Hhm, ada
perubahan. Dulu zaman sekolah saat Gee hampiri Tomi lalu ajak bicara cuma ia
buka mulut ala kadarnya. Ditanyain dijawab singkat. Tak ada kata-kata yang
menahan Gee untuk mengobrol lebih lama. Tomi bukan seperti cowok biasa yang
penuh gombal dan rayu. Gee segera balas dengan guyonan, “Siapa yang mau sama kamu, huh?”
“Kalau nggak masak, makan
dimana?”
“Hang out sambil
kencan. Restoran banyak kok.” Gee tak tahu komentar sesantai itu membuat hati Tomi pilu.
Sendok demi sesendok membuat mereka menikmati makan malam
sampai habis. Setelah Tomi terakhir makan dan menyimpun rantang ke dalam
kantong kain. Keduanya sempat berdiam lama. Tak keluar sepatah kata.
Gee mendongak
kepala, mengibas-ngibas tangannya ke wajah Tomi, “Hei, melamun!”
Tomi tersadar
dari tatapannya yang di sudut alun-alun. “Aku ingat seorang murid. Terlambat
ikut upacara Senin. Dia paling belakang. Kita sama-sama telat. Aku terlambat
cepat dua menit darinya. Kita sama-sama barisan belakang.”
“Waktu kita
sekolah kalau terlambat kita gantung tas di pagar itu.” tunjuk Gee. Mengingat
masa dua belas tahun lalu. Kemudian Gee tersenyum menggoda, “Oou... Kamu suka
dia?”
Bila Tomi tak
jawab ia ingin cari jawaban itu di raut wajah Tomi. Sudut bibir Tomi tergores
senyum tipis. “Betul, kan?”
Tomi memutar
kepalanya. Tak ingin menampakkan wajah merah padamnya pada Gee.
“Sekarang dia
gimana?”
Tomi mengidik
bahu.
“Kenapa nggak
temui dia?”
Tenggorokan
Tomi tercekat.
“Kamu nggak
cari dia?”
“Haruskah?”
Tomi balik bertanya.
“Cari dia
dong kalau suka. Siapa tahu dia belum punya pasangan? Cepatan kamu cari pacar!
Aku bentar mau married...”
Tomi menepuk
telapak tangannya. Bangkit berdiri. “Ayo, kita pulang!”
Gee terkesiap
tiba-tiba diajak pulang dan mendongak, “Kamu belum dapat pacar. Kapan dong kamu
kenalkan seseorang yang kamu suka kepadaku?”
Aduh... Dia masih ngebahas.
“Janji yah
kamu musti cari dia.” Melihat Tomi tak
menanggapinya, Gee
meneriak, “hei!”
“Iya...”
jawab Tomi memelas.
Tomi memancing Gee agar obrolan mereka tak mentok di masalah
percintaan Tomi. Ia berminat pada hidup Gee. Maka ia bertanya Gee selepas
angkat kaki dari Tarakan. Karena yang ia tahu Gee melanjutkan sekolah di
Australia. Mereka bertukar kisah puluhan tahun lalu. Tentang kuliah Gee dan
Tomi baru mengetahui Gee beserta ibunya menjalankan bisnis butik di mal
Surabaya dengan desain baju oleh adik Gee.
“Kamu...,” Gee jadi kepengin tahu tentang
Tomi setelah panjang lebar menceritakan masa sekolahnya, “Pengen jadi apa? Pasti
ada dong impianmu belum kamu gapai?”
“Aku...” Tomi
menerawang ke atas. “Jualan
nasi kuning.”
“Nasi
kuning?”
“Iya. Hahaha.
Aku suka main jual-jualan,
buka warung nasi kuning. Aku lihat tetangga depan rumahku jualan nasi.”
“Jangan
bilang kamu main masak-masakan!”
Tomi terdiam.
Gee
menengadah kepala, mulutnya terbuka, “Seriously.”
Tomi menatap
ke batu-batu semen hexagon.
“Sebenarnya, kalau dipikir-pikir kamu sudah punya keinginan lho besar mau jadi
apa.”
Tomi tersenyum simpul sebagai balasan tanggapan Gee. “Aku
main sama teman seberang rumahku. Anak perempuan.
Kasian dia main sendirian. Aku perhatikan dia nggak ada teman. Lalu nyampirin dia
sebagai pembeli.”
“Se... karang
dia dimana?”
“Pindah ke
Jawa.”
Lengan Tomi
bersandar di kaca mobil. Punggung tangannya menopang kepala yang dimiringkan.
“Aku puas pada diriku sendiri. Kesempatan bekerja di gerai kopi. Banyak hal
menarik dan nggak pernah habis kalau bicara kopi.”
Gee tertegun
pada ucapan temannya. Diam-diam ia curi pandang ke Tomi. Sekilas.
Belum selesai
Tomi keluarkan unek-uneknya. Ia menambahkan, “Terima kasih, Gee. Kamu bantu
aku. Aku senang bisa mengenal
seorang teman sepertimu dalam
hidupku. Banyak
orang di luar sana kayak aku pengen bekerja dan pengen turut jadi bagian meracik kopi. Tak semua orang
mendapati kesempatan
yang kualami. Jadi makasih banget sama kamu, Gee.”
Mobil Gee
berhenti di bawah bukit, tempat rumah
Tomi berdiri.
Tomi menatap
serius kepada Gee. Ia jadi terkesima dan terharu. Lidahnya kelu oleh ucapan Tomi.
Sebenarnya
Tomi tak ingin ungkit soal married
married-an sebab
kalau singgung married
membuat hatinya pedih.
Tomi berpikir keras
gimana memecah keheningan, kekakuan mereka. Setelah tatap menatap sejenak, mereka sempat blank seakan habis sudah bahan
omongan.
Di samping
ingin tahu sisi lain dari Gee soal ini, Tomi berujar, “Gee... Kalau seandainya aku ketemu
dia?”
“Ngg...”
Ketika Tomi menanyakan itu membuat Gee berpikir sejenak. Gee
menghela nafas kuat-kuat. “Kejar dia dong!”
“Punya pacar
atau menikah?”
Gee hirup
udara dalam-dalam, hembuskan sampai terdengar, “Huft... Jangan
ngerusak hidup orang,
Tom!” tambahnya
lagi, “Memang kamu tipe orang seperti itu, tegaan?”
“Nggak.”
“But.. if you really love her you must get her!”
“Aku nggak ngerti
omonganmu? Bahasa Inggrisku jelek. Jangan ajak ngomong gitu dong! Apa artinya?”
“Forget it!”
“Gee...”
“Tidak ada
siaran ulang, Tomi. Intinya cari dia!!!”
“Thanks for dinner. Bawakan
aku suasana beda. Indah banget.”
Aku sengaja membawamu dan menunjukkan kepadamu ke kenangan kita masa
SMP.
Perasaan tak menentu sejak sore kini menguap kabur saat
mendengar ungkapan terima kasih Gee. Tomi tak mampu menawarkan restoran dengan
makanan yang wah. Ia ingin Gee menyantap kembali masa lampau untuk terakhir
kali sebelum bangunan itu direnovasi.
“Hehe.” Tomi
tersipu. Terasa hawa panas mulai membumbung di muka Tomi. Sebelum memerah dan
ditengok perubahan wajahnya, ia berpaling. “Terima kasih tumpangannya,” ujar
Tomi buru-buru sebelum turun dari kendaraan Gee, “sampai besok!”
Kening Gee mengkerut. Heran pada tingkah Tomi. Lalu balas
dengan senyuman. “Bye, Tom!”
Tomi
angguk-angguk kepala. Mukanya membelakangi Gee. Tomi mana tahu Gee senyam-senyum terus seraya
geleng-geleng kepala. Lalu ia meluncurkan mobil merahnya.
***
Rumah Gee lama ditinggal tanpa berpenghuni sejak orang tua
Gee pindah ke Surabaya. Paman Gee yang diamanatkan mengurus rumah itu. Karena
Gee seorang diri di rumah ia meminta seseorang menemaninya, Mbak Ati. Sebelum
Gellyta ke sini.
Air putih
diteguk habis. Di sink terdapat beberapa gelas. Termasuk gelas Gee pakai. Omongan
Tomi tadi terngiang
di benaknya. Ia
memutar badan.
Sementara itu
Mbak Ati tertatih-tatih dengan matanya masih setengah tertutup. Mbak Ati adalah asisten rumah tangga
paman Gee yang dialihkan untuk mengurusi kebersihan rumah Gee. Ia
hendak ke kamar mandi tapi ia mendengar suara air di pencucian piring. Nggak biasa jam segini ada yang nyuci.
Siapa?
“Non,
ngapain!” pekik pembantu rumah itu. Matanya langsung segar bugar melotot. Terkejut apa yang
dilihat di depannya.
“Ngagetin!” diiringi badan Gee
terlonjak,
“nggak
lihat aku nyuci.”
“Iya. Nona lebih ngagetin saya. Sudah larut
malam.” Mbak Ati mencoba geser tubuh Gee. “Sini, nggak usah dicuci. Aku
cuci.”
“Nggak apa-apa.”
“Sudah, Non.
Ditinggal,” desak Mbak Ati. Badannya yang subur mencoba merampas gelas di tangan Gee. Tak
berhasil. Gee menahan kuat kakinya, kukuh tetap mencuci. Gee membalik piring dengan hati-hati.
Tangannya licin karena buih-buih sabun.
Tatapan Mbak Ati yang penuh keheranan mengundang tanya
Gee, “Kenapa? Aneh?”
“He-eh.”
“Aku selama
ini jarang cuci yah?”
“Bukan
jarang! Nggak
pernah.”
Gee manyunkan bibir bawah.
Tak sadar keceplosan Mbak Ati memukul pelan
mulutnya sendiri.
“Mbak Ati nggak salah.”
“Mbak tidur saja. Sedikit kok nih.”
Sulit
membujuk Gee maka pembantu itu menuruti perintahnya. Kembali ia masuk tidur. Ia
mengeluh aneh. Ada apa dengan sikapnya malam ini dan nggak apa-apa kali yah
sekali-kali ia membiarkan majikan cuci piring.
***
“Kapten,
ajarin aku Latte Art dong!” pinta
Tomi saat Allan tak berada di warung. Walau Bos ada di tempat, sah-sah saja kepada
sesiapa yang ingin belajar racik kopi di kedainya. Dan pasti ia mendukung.
Kebebasan di tangan mereka.
“Kamu benar
berminat di Latte Art?” Berat
tubuh Primo bertumpu pada lengan kanannya yang menopang ke meja. “Mengapa?”
“Aku pengin
hias-hias di kopi. Tunjukkan kepada orang.”
“Mau
gaya-gayaan?”
“Tidak. Bukan
macam tuh maksudku. Aku mau menjadi sepertimu, Kapten.”
Primo
tertegun. “Sungguh?”
Dengan mantap
Tomi mengangguk. Supaya Primo dapat menembus kedalaman hatinya. Merasakan
kesungguhan Tomi.
Tiga hari
Tomi diajarin Primo.
Racik kopi
dengan metode mesin Espresso.
Berbagai macam teknik Latte dan pola
gambar. Sedangkan tugas melayani tamu ditangani Gee.
Seorang gadis berambut pendek yang akhir-akhir ini datang minum-minum ke kedai. Sekadar
ngalor-ngidul bersama sahabatnya. Gadis itu menghampiri Gee. Berdiri di depan counter, “Permisi.”
Gee tersenyum ramah. “Iya. Ada keperluan apa?”
“Bisa minta tolong, kita sudah request Latte Art.”
Gee merunduk ke meja. Memastikan kebenaran order
pelanggannya. “Iya.”
“Aku mau yang hias Latte-ku... pelayan sini. Bisa?”
“Maksudmu, pelayan kami?” Gee bukan
tidak paham ia minta ulang. Siapa tahu ia lagi blank.
“Iya. Tomi,
kan?”
“Ya.”
Nama pun dia tahu.
“Aku tahu dia
bisa bikin.” Flo menyadari kesangsian di ekspresi Gee yang tampak kecut.
“Di kafe kota besar bisa ngedemoin Latte
Art di
depan pengunjung. Kulihat dia kemarin.” Pada saat itu Tomi belajar menuang Latte Art di luar dapur.
“Dia bukan di bidang itu. Baru belajar.”
“Aku tahu.”
“Kalau hasilnya nggak memuaskan?”
“Tak apa-apa.” Ujung telunjuk Flo rapikan rambut pixie asimetris. Rambutnya menyamping
kanan dengan bentukan menyudut tajam.
“Ngg.”
“Tolonglah!”
Gee tak bisa berkata apa-apa lagi. Kalah gesit pada
kengototan gadis itu.
“Lalu model apa yang mau di-request?”
“Love.”
Hampir saja seluruh isi perut Gee muncrat keluar. Lalu
ia menata mimiknya secara wajar. Perbaiki kekagetan supaya tak disadari gadis itu.
Heart... Love...
Baiklah.
“Dia belum
mahir.”
“Nggak
apa-apa, kok.” Gadis itu tersenyum seringai, “Aku sudah bilang aku nggak
terlalu permasalahkan. Aku ingin melihat aksi cowok itu.”
“Apa kamu
menyukainya?” Entah mengapa pertanyaan bodoh tersebut terhembus begitu saja
seakan kontrol dirinya saat ini blong. Ia tak mengerti kenapa tak
dipertimbangan di pikirannya. Pantas apa tidak pertanyaan itu dilontarkan pada
orang yang baru ia kenal.
Flo dibuat tersipu oleh Gee. Untung Flo tak mengumpatnya. “Memang
terbaca benar di wajahku?” Membuang pandangan ke pintu dapur. Khawatir Tomi keluar.
“Tolonglah... kabulkan permintaan customer-mu! Bisakah kakak beritahu
dia sebelum Latte-ku selesai?”
Dia memanggilku, kakak.
Padahal Gee menelisik umur mereka tak jauh, yah, setahun dua
tahun.
Pintu dapur
terbuka lebar.
Tomi
terlonjak. Tahu-tahu seseorang berdiri di situ. “Jantungku... Gee!” Demikian
juga menimpa pada Gee namun ia telah menguasai dirinya.
Gee melayangkan kertas warna pink
persegiempat. “Auw...” Tomi menaruh
tangannya ke dada. Selembar stick note
warna pink menempel di baju Tomi.
“Nih, pesanan
dua cewek,” didorongnya dada bidang Tomi ke belakang. Wajah Gee cemberut. Ia segera
membalik dan membiarkan Tomi mematung dengan simbol tanda tanya di kepala. Tomi
tak menyadari ekspresi muka Geizya. Dengan sigap ia menangkap kertas itu agar
tak melayang jatuh.
Tomi baca
tulisan itu. “Meja no. 3 Latte Art, love. Tomi buat.” Sejumput pertanyaan bersarang di
benaknya, “Maksudnya apa?” gumam Tomi.
“Apa artinya,
Gee?” terdengar suara Tomi berteriak.
Gee tak
menyahut. Ia terlanjur jauh.
Tomi
mengintip ke luar. “Cewek itu.” Ia kembali masuk. “Kapten, apa arti ini?”
“Request from customer.
Mereka mau kamu tunjukkan Latte Art
di depan mereka.”
Tomi kaget, bersuara
nyaring, “APA?” tampak samar
tiga garis sejajar di kening.
Tiga pria
barista dibuat terperangah atas kepanikan
Tomi.
“Kurasa kamu
sudah punya pengemar,” Primo tepuk bahu Tomi. Menentramkan Tomi. “Ayo, sini
bikin Espresso.”
Bahan utama Latte Art yaitu Espresso telah Primo ajarkan kepadanya.
“Tapi, aku
nggak mahir, Bang!” Ia tak beranjak. “Aku pemula. Kenapa dia suruh aku bikin
sih?” Kecemasannya bertambah. Alisnya mengkerut.
“Nggak
apa-apa.”
“Kalau nggak
enak gimana, Bang?” Bulir-bulir keringat ngalir turun di tepi
rambutnya. “Aku nggak
PD, Bang.” Disertai cekikikan Uki. Livi hanya menyeringai. “Kalau rusak?”
“Tenang saja. Buat dulu. Jangan bimbang! Kalau nggak enak kubuatkan.
Kamu mau ngecewain
pelangganmu. Runtuhkan kepercayaan mereka.”
Mulut Tomi terkatup rapat.
Sementara Gee
di balik meja counter sembari
moncongkan bibir. Ia mengoceh sendiri, “Kenapa baru kenal sudah minta
dibuatin Latte Art, and then why 'love'? Wait a minute,
mengapa aku harus kesel sama cewek tuh.”
Primo selalu
menekankan
Espresso harus dibuat secara fresh dan langsung dinikmati. Espresso jika diminum terasa kental.
Perpaduan bodi yang penuh dengan krema hingga menghasilkan tekstur yang halus.
Begitu pun Espresso based milk harus memakai susu
segar.
Tentu Tomi
berkali-kali memperhatikan para barista bekerja selama masa training. Ia telah melakukan percobaan
meracik kopi.
Tapi hari ini
tak lazim ia turun tangan sendiri dalam meracik kopi. Untuk yang
pertama kali kepada konsumen.
Biji kopi yang baru 3 hari
digoreng dengan proses full french
roasted dimasukkan
ke dalam electric coffee grinder. Lalu ia atur tingkat
kehalusan bubuk kopi sangat halus (fine)
seperti gula bubuk.
Tomi menakar kopi
bubuk sebanyak 7
gr untuk single Espresso.
Ia menghangatkan cangkir kopi dahulu.
Sebelum ekstraksi kopi, ia
melakukan flushing-membilas protafilter dan membersihkan sisa-sisa
kopi-dari grouphead (mengeluarkan
cairan kopi pada mesin Espresso).
Zessshhh, suara air panas keluar dari grouphead.
Penting
sekali portafilter dibilas dengan air
dari boiler bila tak digunakan dalam
jangka waktu tertentu. Grouphead dan portafilter harus disuhu yang sama
ketika mengekstraksi kopi.
“Portafilter jangan sampai dibiarkan lama terlepas dari grouphead,”
pesan Primo.
Tomi
menyiapkan portafilter dalam kondisi
hangat kemudian dilap sebelum dipakai.
Setelah itu
proses dosing (takaran bubuk kopi
dimasukkan ke dalam portafilter). Ia
ketuk-ketuk portafilter dengan tangan
kirinya agar bubuk kopi yang menumpuk di portafilter
merata. Ia mengambil tamping-bentuknya
menyerupai stempel-tujuannya meratakan dan memadatkan bubuk kopi. Terakhir, ia angkat tamper lalu lakukan gerakan memutar.
Tamping berkali-kali. Nyaris
portafilter-nya jatuh dari sisi meja
bar. Kalau barista handal cukup dua kali tamping.
“Dia ragu,”
batin Primo.
Tomi pasang portafilter yang telah dipadatkan ke grouphead. Ia ikuti kata-kata Primo sewaktu diajarin, “Atur suhu
air berkisar 90-96° C,
tekanan 9 bar kira-kira
bisalah dapat 25-35 gr.”
Tomi tekan tombol ekstraksi.
“Tunggu sekitar 20-30 detik,” ucapan Primo terngiang di benak
Tomi.
“Ingat! Teman
sejati Espresso adalah crema. Kunci dapat crema yang baik kamu sering-sering
bersihkan mesin,” pesan Primo.
Cairan panas 30 ml yang berwarna coklat mengalir dari grouphead ke dalam cangkir keramik.
Air kopi
berhenti mengucur.
Ekstraksi
selesai.
Untuk segelas
Espresso.
Sela
berkonsentrasi penuh pada mesin Espresso
ia lupa satu hal, susu. Tanpa ia sadari. Dari awal ia belum buat.
Ada orang
berdiri di samping. Tomi melirik siapa di sebelahnya. “Bang Primo
nolongin aku,” gumamnya.
Primo
menyiapkan susu dalam stainless steel mug.
Ia membilas steam wand dan celupkan
ke dalam susu. Angkat perlahan-lahan sampai steam
wand (untuk memanaskan dan membuihkan susu) kira-kira1cm ujung tangkai steam. Panaskan susu dengan mengatur
kenop steam yang ada di sebelah kiri
mesin. Ia putar kenop steam itu
berlawanan arah jarum jam. Suhu steam
sekitar 60°-70°C.
Primo
mengistilahkan ini stretching.
Membuat foam susu.
Ia ingin
dapatkam foam yang halus. Lakukan
sangat berhati-hati tanpa keluar suara yang keras dari susu yang sedang
dipanaskan. Chchchch, bunyi suara frothing milk.
Ia tetap
menahan posisi steam wand dekat
permukaan susu. Busa kelihatan cukup. Sampai suhu susu sesuai yang dinginkan.
Setelah itu padamkan steamer. Flushing the steam wand sambil mengelap
ujung tangkai steam susu.
Langkah berikut
rolling. Ia ketuk-ketuk bagian bawah mug ke meja. Supaya buih-buih susu
menjadi halus. Kemudian lakukan gerakan memutar untuk memecah gelembung susu.
Lalu kasih ke
Tomi. Untuk dicampurkan ke dalam Espresso.
Sebenarnya di hati kecil Tomi pengin persembahkan Latte kepada Flo tanpa campur tangan orang lain. Tapi
apa mau dikata. Terlanjur Primo bantu Tomi.
Sebelum
keluar Tomi bercermin di kaca yang digantung dekat pintu dapur. Apakah
rambutnya tertata rapi? Ia berkaca sebelah kiri, sebelah kanan. Tak urakan
rambut tengahnya.
Kemudian Tomi
nongol.
“Ikuti dia,”
kata Primo kepada Uki di sampingnya.
Tomi menjadi
komandan bagi Uki. Mereka ke meja no. 3. Tak biasanya,
Flo suka pilih meja di outdoor no. 4
yang di pojok.
“Permisi, pesan Caffe Latte.
Ini...” kata Tomi, umbar senyum. Uki menyambung, “Espresso diracik sendiri olah waiter
Warung Ngopi sesuai request. Jika
tidak sesuai harapan, Kapten kami akan ganti bikin. Silakan, Tomi!”
Atas petunjuk
Primo sela-sela Tomi training, Susu harus panas ketika kamu tuang agar
muncul crema.
Tangan kanan
Tomi memegang teko susu panas yang mempunyai ujung lancip dan tak berantakan. Pelan-pelan
tuang susu panas ke dalam cangkir.
“Cangkir dimiringkan. Pitcher-mu harus stabil ketika menuang. Bayangkan
cangkir dalam 3 tingkat. Perlahan-lahan tuang Latte mulai dari sisi cangkir
dengan gerakkan tangan searah sampai menuju ke ujung seberang sisi cangkir.
Sedikit demi sedikit. Antara mug dengan cangkir harus tinggi. Jaraknya
kira-kira 4 inchi. Dekatkan jarak menuang susu saat susu hampir habis. Bentuknya makin mengerucut.
Secepatnya ke titik semula dan tarik ke atas,” terang Primo sambil praktekan
keahlian di depan pelangannya. Ini adalah langkah dasar buat pola di media air.
Waktu itu
Tomi amati dari jauh.
Ia ikuti
langkah Primo saat Primo lagi bikin gambar hati permintaan konsumen. Sesuai
seingatnya.
“Pakai teknik
free pour,” Gee membatin. “Bisa nggak
dia eksekusi?”
Flo dan
Brenda terpesona pada gerakan Tomi menuang susu. Walau tampak kaku. Muka
memerah karena khawatir, gugup, cemas. Orang-orang tak tahu tangannya
berkeringat akibat proses metabolisme dalam tubuh bekerja dari pengaruh rasa
kecemasan.
Finishing, ia membelah pola itu hingga membentuk jantung
terbalik di hadapan Tomi. Lalu meletakkan cangkir ke meja.
Sayang, Latte Art Tomi kacau balau. Entah
kenapa dia, apakah kecepatan tuang? Apakah kelambatan atau grogi?
Dari atas tampak garis putih kulit kepala Flo membelah rambutnya ke
kanan. Turun ke bawah Tomi
jeli memperhatikan ekspresi gadis itu. “Maaf.” Lukisan heart di atas Latte
berantakan seolah-olah merefleksikan hati Tomi. Kecewa, patah hati seperti heart di cangkir Flo.
Gagal.
Teman di sebelah Flo mengamati, tiada
kemasaman di raut wajah
Flo.
Mereka
menunggu Flo.
Flo memandangi hasil Latte
Tomi. “Nggak mengecewakan,” Flo menyeruput, “untuk seorang pemula. Sedikit beda
belum rapi amat.”
“Gimana
rasanya?”
Flo
menyibakkan rambutnya, “Pahit. Tapi aku suka usahamu. Makasih ya!” Flo tetap tersenyum lebar.
Tetap gembira amat nih
cewek. Not bad, Tom. Kamu berhasil menghibur hati dia.
Tomi menunduk, “Maaf! Nggak sesuai harapanmu. Lain kali aku berusaha
keras lagi.”
“Iya, aku suka itu.” Ucapan Flo buat
kaget orang di sekelilingnya. “Kuterima maafmu. Kenalkan aku Flo.” Flo mengulur tangan dengan gerakan
feminim, lembut.
“Aku Tomi.
Nama kerenku Tom Tom.”
“Hihihi. Aku
tahu.”
“Agh...”
“Tuh!” tunjuk Flo pada tag name di baju Tomi. “Kalau
Tom Tom aku nggak tahu. Dia Brenda.”
Tomi melayang pandang di sebelah Flo. “Hai!
Tomi.”
“Hai!”
Ch, Kenapa aku menjadi sirik terhadap
cewek tuh sih? Gawat
deh, sinis Gee.
Kedua gadis
muda itu beranjak dari bangku. Tomi berlari kecil. Menjegat Flo, “Flo,
makasih.” Napasnya memburu. “Kamu telah membantu, semangatiku. Aku
akan buatkan kamu Latte Art yang
bagus.”
“Kamu janji
untukku?”
“Janji.”
“Aku tunggu!”
“Jia you!!!” seru Flo. Brenda tak mau kalah, “Ganbatte, Waiter Tomi!”
“Harus bisa lho! Kami datang lagi.”
Flo
melambaikan tangan. “Ciao.”
Tomi membalas
dengan seuntai senyum mengembang kepada pemilik pipi yang berisi.
Gee
memperhatikan pengunjungnya yang barusan pergi.
Baik banget kamu sama dia!
Tomi
membersihkan cangkir di meja Flo singgah. Kecewa bercampur senang karena dia
bisa membuat Latte meski tak
berhasil. Ia berpikir tentang Flo yang telah membantunya menarik minat pada
desain kopi. Minat barunya tergugah.
Terima kasih, Flo.
Hati Tomi gembira,
senang karena ada satu orang menghargai karya walau belum berhasil. Setidaknya
ada pihak yang mendukungnya. Menantikan Tomi. Sehingga pacu semangat Tomi.
Untuk
secangkir Latte Art.
“Berhasil kamu?” tanya Primo di dapur.
“Enggak rapi
dan dia bilang pahit.”
“Aku tahu.”
Tadi Primo melipat tangan bersandar di ambang pintu dapur. Merekam semua di
depan matanya.
“Hah?”
“Waktu ekstraksimu mungkin lebih dari 30
detik.”
Tomi menguji
dirinya untuk tak menggunakan timer.
Pengalaman Primo memang tak patut diragukan. Waktu yang diekstraksi Tomi, ia
pun mengetahui kesalahan Tomi dimana.
Sebagai pemula ia selalu berhasil melakukan ekstraksi under extraction or over extraction.
Banyak hal yang bisa mempengaruhi ekstraksi kopi dengan pakai mesin Espresso. Belum pernah ia dapat hasil Espresso yang pas. pertama ia coba bikin
dengan tekanan sama 9 bar, Tomi hasilkan Espresso
50 ml dibilang Primo waktu itu, “Too
watery.” Saat-saat
ia belajar dari Primo.
“O... Terima
kasih, Bang Primo kasih aku kesempatan.”
“Bukan. Dua fans tadi.”
“Oh... iya. “ Tomi tawa cengengesan.
Rasa kecewa
merongrongi. Latte Art buatannya berantakan. Walau ia
sudah dibujuk Uki, “Wajar kamu, pengalaman pertama kamu tampil di Latte Art. Lagian permintaan mendadak
kok.”
Ia tak puas
hanya keahlian menuang susu ke coffee
dengan style itu-itu saja. Dasar menuang Latte-nya
jauh dari kata memadai. Laptop kepunyaan Budi dipinjam lagi sama Tomi. Mencari Latte Art di situs, youtube. Berulang-ulang ia me-replay
tayangan orang mendemo menuang susu ke Latte
Art.
“Wah... Hebat
benar mereka nih. Two jempolan deh!
Aku bikin Latte Art karena dia suka. Aku
jadi demen sama desain kopi.”
Lalu ia
pindahkan ke hape agar suatu saat bisa ditonton semaunya. Pelajari body langguage barista tersebut saat
menuangkan susu. Ia telah berguru pada Primo. Namun itu tak cukup, ia perlu
cari tambahan infomasi untuk menerangkan seluruh kekacauan, keresahan di dalam
otaknya. Sibuk memikirkan dan sungguh banyak sekali pertanyaan
bersarang di benaknya. Kalau tak dapat ia pecahkan, penasaran yang terus
menghantuinya ke dunia bawah sadar.
Ia mengali
inspirasi untuk membuat gambar.
“Bagus-bagus
begini, susah banget. Bisa nggak sih aku. Pengen seperti mereka. Ah, besok minta petunjuk
sama Primo. Puuusing
kepala!”
Bab selanjutnya: Novel Warung Ngopi Bab 8
No comments:
Post a Comment