Friday 3 February 2017

Novel: Warung Ngopi 7


Bab sebelumnya: Novel Warung Ngopi Bab 6

Latte Art, Tomi!


Gellyta dari kamarnya pindah ke kamar Gee, mengamati kakaknya tersenyum sendirian sambil mantengi Blackberry. Mulai hari ini ia tinggal di Tarakan. Ia datang ke mari berinisiaif menemani kakaknya yang seorang diri. Gee masih tak tahu alasan pasti Gellyta datang kemari. Ngakunya sih kangen sama Gee.
“Ngapain kakak tuh?” pikir Gellyta, sudut matanya mengawasi Gee dari refleksi cermin. Sang kakak senyum-senyum sendiri.
Gellyta mengekori Gee yang beranjak dari kursi lalu ke luar kamar. Kesempatan itu tak mau Gellyta sia-siakan. Diraih BB milik kakaknya, Gellyta ternganga, dibuat bingung campur aduk.
Sekembalinya Gee baru semenit lalu, Gellyta ketahuan sedang memergoki BB-nya. “Hei, hei, hei... ”
Gellyta malah dengan percaya diri balik bertanya, “Kak, apa ini?”
Tangan kiri Gee menopang sikut sebelah dengan telapak tangan menengadah ke atas, “Sini!” pinta Gee.
“Kasih tahu Mami.”
Gee menangkup tangannya kecuali jari telunjuk. “Jangan!”
Jika lewat kata-kata tak bekerja langsung saja Gee mendekati Gellyta. Jelas Gellyta menghindar dari jangkauan si kakak. Mereka kejar-kejaran selayaknya anak kecil berebutan mainan. “Jawab aku dulu?” Blackberry milik Gee dipegang erat.
Gee angkat tangan. “Ok, ok. Apa pertanyaanmu, kamu belum tanya?”
“Kenapa kakak simpan foto dia?” interogasi Gellyta.
“Siapa?”
Gellyta memutar BB dihadapkan ke Gee, “Orang ini? Kenapa dia?”
“Mau tahu banget. Sini BB-ku.” Gellyta bersikeras tak memberi. “Nggak mau kasih yah!”
“Kalau nggak jawab, kasih tahu Papi!”
“Jangan, Gellyta...” Gee gerakkan tangan ke kiri-kanan, “Tomi.”
“Dia? Ohh... Kakak suka dia?”
Mata Gee terbelalak. “Enggak!” Ia mendaratkan bokongnya ke tepi tempat tidur dan merebahkan diri. “Nggak tahulah. Kalau bilang suka aku suka. Dia sering nawarin Kakak ‘minum kopi apa, Bu?’ dan saat dia naruh cangkir kopi di hadapanku, itu... manis sekali. Aku...” matanya menerawang di atap plafon cat putih, “...dapat perlakuan dari Tom Tom.” Wajahnya tersipu malu, memerah hampir seluruh muka.
Gellyta menghampiri dan duduk bersila di sebelah Gee seraya menaruh BB di atas kasur.
“Kamu tahu, kan?”
Nggak tahu.”Gee memukul lembut pada lengan adiknya.
“Dia sering nyampiri aku.”
“Lalu...” Gellyta ikut berbaring di spring bed. “Apa artinya?” Adik Gee menebak sesuatu.
“Hhm...” Gee melongos panjang.
Gellyta menopang dagu di guling empuk menatap kakaknya. Tergambar di sana wajah dilanda asmara jatuh cinta. Kayak baru mengenal arti cinta pertama kali.
“Ini nggak boleh, Kak.”
“Aku tahu, Gel, ucap Gee pasrah.
“Lalu Kak Allan, bagaimana?”
“Memang kenapa?”
“Ke-na-pa?” Gellyta melotot.
“Kakak sudah terbiasa dengan gaya hidup mewah. Allan sudah mapan. Coba lihat Tomi. Apakah kakak sanggup bersama dia?”
“Kekhawatiran berlebihan tak baik untuk tubuhmu. Tenang, adikku... aku takkan sampai sejauh yang kamu bayangkan. Hmm...”
Gellyta hanya terpaku memandangi kakaknya.
Gee jatuhkan pandang ke layar BB lalu jarinya dengan cepat mengetik, “Tom, besok kamu ada waktu?
Kenapa Gee?
Mm... Lupa janji kita?
O, iya. Aku lupa. Aku kapan-kapan bisa. Kamu?
Pesan singkat mengatakan lupa. Padahal di relung hati Tomi sangat menanti-nantikan waktu tersebut. Hanya ia bingung bagaimana mengatakannya. Mengajak Gee. Terus makan dimana. Apakah pilihannya nanti sesuai selera Gee? Dan apakah tak mengecewakan ia?
Aku ada waktu.
Hari Minggu Gee bisa meluangkan waktu buatku.
Bisa.
Gellyta menindihkan pipinya di atas guling sambil menatap Gee, “Kak, BBM siapa? Kakak ipar?”
Gee palingkan wajah.
Tersenyum kecil.
“Ayo, mari kita bobo!”

Berapa kali Tomi bolak-balik kelilingi kamarnya. Ia bukan mengukur panjang lebar kamar untuk pasang karpet. Ia belum mutusin pakai baju apa, cemas atas penampilan perdananya di luar jam kerja.
Bersama Gee.
Walau saban hari bertemu Gee tapi hari ini, SPESIAL DONG.
Semenjak sore hingga jelang malam Tomi bingung sendiri mikirin rambutnya hendak dibuat kayak apa? Mau ikut role mode siapa, Taylor Lautner?
“Poniku nggak bisa disasak rambutku terlanjur keriting. Mau di-pomade ala Al Ghazali nggak bisa. Ah... Terlebih parah. Salahkan saja pada pilihan sendiri. Kenapa mau dikeriting tuh rambut,” geram hati Tomi.
Mau minta pendapat sama adik perempuan tak punya. Lalu sama ibunya? Entar beliau tanya yang macam-macam malah tak meruncing kegelisahan Tomi.
Sisa sepuluh menit jarum jam dinding merapat ke angka tujuh. Terpaksa ia mengenakan kaos berkerah dengan jeans. Supaya bila berpapasan sang ibu tak di terpa pertanyaan. Yang terutama adalah pakaiannya masih layak dipakai dan tak bikin malu di hadapan Gee.
Meski...
Bukan nge-date sepasang kekasih.
Sebelumnya Gee menelepon Tomi agar tunggu di bawah. Janjian mereka, Gee menjemput dengan mobil. Berangkat dari sana ke sebuah gedung bertingkat dan halaman luas.
Gee tertawa lebar dan panjang. “Kamu ajak aku ke sini?”
“Iya.”
Ada pohon cemara di halaman gereja. Mereka duduk-di bawah pohon di tepi pot semen-berhadapan dengan sekolah SMP tempat mereka bersekolah dulu. Di gereja inilah Tomi kelak akan mengelar pernikahannya. Bila ia bertemu dengan seseorang yang dapat mengukuhkan hatinya bina mahligai rumah tangga. Gee tersenyum angguk-angguk mendengarnya. Kemudian ia tertawa lepas ketika Tomi berujar ia akan mengadakan resepsi pernikahannya di halaman basket dan alun-alun sekolah seperti yang ditunjuknya sekarang.
Gee berhandai-handai Tomi mengatakan semua itu seperti sedang mengutarakan isi hati kepada seorang kekasih. Membuat Gee tergelak kecil di batinnya. Ia merasa di posisi 'seseorang'. Padahal ia tahu itu merupakan curhatan seorang teman semata.
Tapi, kenapa pula harus ia?
Tomi membuka bungkusan kantong kain yang berisi rantang dan minuman botol mineral. “Rupanya ini bungkusan dibawa Tomi,” batin Gee. Di dalamnya menyeruak main course nasi dengan beef steak dilengkapi sayuran rebus serta buah-buahan kaya serat.
Ia membuatnya saat ibu Tomi tak berada di rumah. Jika ia pulang dan menanyakan apa yang berisi di kantong kain, untuk siapa. Tomi berdalih itu untuk teman kerjanya yang telah memasukkan ia ke Warung Ngopi.
Pudar sudah rasa kekhawatiran Tomi jika keberatan Gee diajak makan di pinggir jalan. Ia tak sedikitpun mengeluh akan debu. Untung di sini jalanan tak terlalu ramai. Kendaraan tak banyak berlalu lalang.
Tomi kepengin tahu pendapat Gee tentang makanan malam yang dibawakan.
“Hhm, tanggapan pertama Gee menatap makan malamnya yang dipangku di paha. Mengugah selera.
“Gimana?”
Sendok nasi Gee mengambang di dekat mulutnya. Belum santap sesuap nasi langsung disergap pertanyaan Tomi. Ia menyeringai, “Belum makan.” Ia kunyah dan mengecap. “Enak ya buatan ibumu.
“Bukan.”
“Oh, beli?”
Tomi menggeleng.
“Lalu, siapa?”
“Kamu bakal nggak percaya.”
Raut muka Gee jadi jengkel tebakannya tak ada yang benar. Sambil mengoyangkan badannya dengan manja, ia memohon, “Siapa sih?”
“Aku,” Tomi mengalah.
“Oh, Kamu bisa masak?”
“Nah, kan.” Dari tadi Tomi menunggu Gee cicipi suapan pertama. Lega... Ketegangan yang muncul dalam dirinya sedikit mengganggunya santap makanan. Setelah dengar nada positif dari Gee barulah ia menjatuhkan pandangan pada nasinya. Mulai makan miliknya. “Bisalah. Mamaku jualan makanan aku harus bisa masak dong.”
“Hebat yah.”
“Tiada yang teristimewa dari sajian buatan sendiri.”
Gee mencermati ucapan Tomi. “Benar,” sahutnya.
“Kamu bisa masak?” tanya Tomi, mulutnya sibuk kunyah makanan.
“Hm-mm.” Jarinya mengibas udara. “Nggak suka masak. Malas nyuci-nyuci.”
“Wah... Gimana nih anak perempuan. Kalau jadi istri orang?”
“Aku harus pakai pembantu,” jawabnya dengan santai. “Kamu... istrimu pasti senang suaminya pintar masak.”
“Masak iya?”
“Benar.”
Tomi memiringkan kepala, “Kalau Allan, nggak protes?”
Gee menggeleng penuh keyakinan, Nggak ada masalah.”
“Aku salut pada Allan. Calon istri nggak bisa masak. Tetap gandeng kamu.”
Gee bergeming.
Tomi mengacung-acungkan sendok nasi ke hadapan Gee. “Jika istri sepertimu, aku nggak akan pilih kamu.”
Gee tersentak sejak kapan Tomi berani berargumen. Hhm, ada perubahan. Dulu zaman sekolah saat Gee hampiri Tomi lalu ajak bicara cuma ia buka mulut ala kadarnya. Ditanyain dijawab singkat. Tak ada kata-kata yang menahan Gee untuk mengobrol lebih lama. Tomi bukan seperti cowok biasa yang penuh gombal dan rayu. Gee segera balas dengan guyonan, “Siapa yang mau sama kamu, huh?”
“Kalau nggak masak, makan dimana?”
Hang out sambil kencan. Restoran banyak kok.” Gee tak tahu komentar sesantai itu membuat hati Tomi pilu.
Sendok demi sesendok membuat mereka menikmati makan malam sampai habis. Setelah Tomi terakhir makan dan menyimpun rantang ke dalam kantong kain. Keduanya sempat berdiam lama. Tak keluar sepatah kata.
Gee mendongak kepala, mengibas-ngibas tangannya ke wajah Tomi, “Hei, melamun!”
Tomi tersadar dari tatapannya yang di sudut alun-alun. “Aku ingat seorang murid. Terlambat ikut upacara Senin. Dia paling belakang. Kita sama-sama telat. Aku terlambat cepat dua menit darinya. Kita sama-sama barisan belakang.”
“Waktu kita sekolah kalau terlambat kita gantung tas di pagar itu.” tunjuk Gee. Mengingat masa dua belas tahun lalu. Kemudian Gee tersenyum menggoda, “Oou... Kamu suka dia?”
Bila Tomi tak jawab ia ingin cari jawaban itu di raut wajah Tomi. Sudut bibir Tomi tergores senyum tipis. “Betul, kan?”
Tomi memutar kepalanya. Tak ingin menampakkan wajah merah padamnya pada Gee.
“Sekarang dia gimana?”
Tomi mengidik bahu.
“Kenapa nggak temui dia?”
Tenggorokan Tomi tercekat.
“Kamu nggak cari dia?”
“Haruskah?” Tomi balik bertanya.
“Cari dia dong kalau suka. Siapa tahu dia belum punya pasangan? Cepatan kamu cari pacar! Aku bentar mau married...”
Tomi menepuk telapak tangannya. Bangkit berdiri. “Ayo, kita pulang!”
Gee terkesiap tiba-tiba diajak pulang dan mendongak, “Kamu belum dapat pacar. Kapan dong kamu kenalkan seseorang yang kamu suka kepadaku?”
Aduh... Dia masih ngebahas.
“Janji yah kamu musti cari dia.” Melihat Tomi tak menanggapinya, Gee meneriak, “hei!”
“Iya...” jawab Tomi memelas.
Tomi memancing Gee agar obrolan mereka tak mentok di masalah percintaan Tomi. Ia berminat pada hidup Gee. Maka ia bertanya Gee selepas angkat kaki dari Tarakan. Karena yang ia tahu Gee melanjutkan sekolah di Australia. Mereka bertukar kisah puluhan tahun lalu. Tentang kuliah Gee dan Tomi baru mengetahui Gee beserta ibunya menjalankan bisnis butik di mal Surabaya dengan desain baju oleh adik Gee.
Kamu...,” Gee jadi kepengin tahu tentang Tomi setelah panjang lebar menceritakan masa sekolahnya, “Pengen jadi apa? Pasti ada dong impianmu belum kamu gapai?”
“Aku...” Tomi menerawang ke atas. Jualan nasi kuning.
“Nasi kuning?”
“Iya. Hahaha. Aku suka main jual-jualan, buka warung nasi kuning. Aku lihat tetangga depan rumahku jualan nasi.”
“Jangan bilang kamu main masak-masakan!”
Tomi terdiam.
Gee menengadah kepala, mulutnya terbuka, “Seriously.”
Tomi menatap ke batu-batu semen hexagon. “Sebenarnya, kalau dipikir-pikir kamu sudah punya keinginan lho besar mau jadi apa.”
Tomi tersenyum simpul sebagai balasan tanggapan Gee. “Aku main sama teman seberang rumahku. Anak perempuan. Kasian dia main sendirian. Aku perhatikan dia nggak ada teman. Lalu nyampirin dia sebagai pembeli.”
“Se... karang dia dimana?”
“Pindah ke Jawa.”

Lengan Tomi bersandar di kaca mobil. Punggung tangannya menopang kepala yang dimiringkan. “Aku puas pada diriku sendiri. Kesempatan bekerja di gerai kopi. Banyak hal menarik dan nggak pernah habis kalau bicara kopi.”
Gee tertegun pada ucapan temannya. Diam-diam ia curi pandang ke Tomi. Sekilas.
Belum selesai Tomi keluarkan unek-uneknya. Ia menambahkan, “Terima kasih, Gee. Kamu bantu aku. Aku senang bisa mengenal seorang teman sepertimu dalam hidupku. Banyak orang di luar sana kayak aku pengen bekerja dan pengen turut jadi bagian meracik kopi. Tak semua orang mendapati kesempatan yang kualami. Jadi makasih banget sama kamu, Gee.”
Mobil Gee berhenti di bawah bukit, tempat rumah Tomi berdiri.
Tomi menatap serius kepada Gee. Ia jadi terkesima dan terharu. Lidahnya kelu oleh ucapan Tomi.
Sebenarnya Tomi tak ingin ungkit soal married married-an sebab kalau singgung married membuat hatinya pedih. Tomi berpikir keras gimana memecah keheningan, kekakuan mereka. Setelah tatap menatap sejenak, mereka sempat blank seakan habis sudah bahan omongan.
Di samping ingin tahu sisi lain dari Gee soal ini, Tomi berujar, “Gee... Kalau seandainya aku ketemu dia?”
“Ngg...” Ketika Tomi menanyakan itu membuat Gee berpikir sejenak. Gee menghela nafas kuat-kuat. “Kejar dia dong!”
“Punya pacar atau menikah?”
Gee hirup udara dalam-dalam, hembuskan sampai terdengar, “Huft... Jangan ngerusak hidup orang, Tom!” tambahnya lagi, “Memang kamu tipe orang seperti itu, tegaan?”
“Nggak.”
“But.. if you really love her you must get her!”
“Aku nggak ngerti omonganmu? Bahasa Inggrisku jelek. Jangan ajak ngomong gitu dong! Apa artinya?”
“Forget it!”
“Gee...”
“Tidak ada siaran ulang, Tomi. Intinya cari dia!!!”
Thanks for dinner. Bawakan aku suasana beda. Indah banget.”
Aku sengaja membawamu dan menunjukkan kepadamu ke kenangan kita masa SMP.
Perasaan tak menentu sejak sore kini menguap kabur saat mendengar ungkapan terima kasih Gee. Tomi tak mampu menawarkan restoran dengan makanan yang wah. Ia ingin Gee menyantap kembali masa lampau untuk terakhir kali sebelum bangunan itu direnovasi.
“Hehe.” Tomi tersipu. Terasa hawa panas mulai membumbung di muka Tomi. Sebelum memerah dan ditengok perubahan wajahnya, ia berpaling. “Terima kasih tumpangannya,” ujar Tomi buru-buru sebelum turun dari kendaraan Gee, “sampai besok!”
Kening Gee mengkerut. Heran pada tingkah Tomi. Lalu balas dengan senyuman. “Bye, Tom!”
Tomi angguk-angguk kepala. Mukanya membelakangi Gee. Tomi mana tahu Gee senyam-senyum terus seraya geleng-geleng kepala. Lalu ia meluncurkan mobil merahnya.

***

Rumah Gee lama ditinggal tanpa berpenghuni sejak orang tua Gee pindah ke Surabaya. Paman Gee yang diamanatkan mengurus rumah itu. Karena Gee seorang diri di rumah ia meminta seseorang menemaninya, Mbak Ati. Sebelum Gellyta ke sini.
Air putih diteguk habis. Di sink terdapat beberapa gelas. Termasuk gelas Gee pakai. Omongan Tomi tadi terngiang di benaknya. Ia memutar badan.
Sementara itu Mbak Ati tertatih-tatih dengan matanya masih setengah tertutup. Mbak Ati adalah asisten rumah tangga paman Gee yang dialihkan untuk mengurusi kebersihan rumah Gee. Ia hendak ke kamar mandi tapi ia mendengar suara air di pencucian piring. Nggak biasa jam segini ada yang nyuci. Siapa?
“Non, ngapain!” pekik pembantu rumah itu. Matanya langsung segar bugar melotot. Terkejut apa yang dilihat di depannya.
“Ngagetin!” diiringi badan Gee terlonjak, “nggak lihat aku nyuci.”
“Iya. Nona lebih ngagetin saya. Sudah larut malam.” Mbak Ati mencoba geser tubuh Gee. “Sini, nggak usah dicuci. Aku cuci.”
Nggak apa-apa.”
“Sudah, Non. Ditinggal,” desak Mbak Ati. Badannya yang subur mencoba merampas gelas di tangan Gee. Tak berhasil. Gee menahan kuat kakinya, kukuh tetap mencuci. Gee membalik piring dengan hati-hati. Tangannya licin karena buih-buih sabun.
Tatapan Mbak Ati yang penuh keheranan mengundang tanya Gee, “Kenapa? Aneh?”
“He-eh.”
“Aku selama ini jarang cuci yah?”
“Bukan jarang! Nggak pernah.”
Gee manyunkan bibir bawah.
Tak sadar keceplosan Mbak Ati memukul pelan mulutnya sendiri.
“Mbak Ati nggak salah.”
Mbak tidur saja. Sedikit kok nih.”
Sulit membujuk Gee maka pembantu itu menuruti perintahnya. Kembali ia masuk tidur. Ia mengeluh aneh. Ada apa dengan sikapnya malam ini dan nggak apa-apa kali yah sekali-kali ia membiarkan majikan cuci piring.

***

“Kapten, ajarin aku Latte Art dong!” pinta Tomi saat Allan tak berada di warung. Walau Bos ada di tempat, sah-sah saja kepada sesiapa yang ingin belajar racik kopi di kedainya. Dan pasti ia mendukung. Kebebasan di tangan mereka.
“Kamu benar berminat di Latte Art?” Berat tubuh Primo bertumpu pada lengan kanannya yang menopang ke meja. “Mengapa?”
“Aku pengin hias-hias di kopi. Tunjukkan kepada orang.”
“Mau gaya-gayaan?”
“Tidak. Bukan macam tuh maksudku. Aku mau menjadi sepertimu, Kapten.”
Primo tertegun. “Sungguh?”
Dengan mantap Tomi mengangguk. Supaya Primo dapat menembus kedalaman hatinya. Merasakan kesungguhan Tomi.
Tiga hari Tomi diajarin Primo.
Racik kopi dengan metode mesin Espresso. Berbagai macam teknik Latte dan pola gambar. Sedangkan tugas melayani tamu ditangani Gee.
Seorang gadis berambut pendek yang akhir-akhir ini datang minum-minum ke kedai. Sekadar ngalor-ngidul bersama sahabatnya. Gadis itu menghampiri Gee. Berdiri di depan counter, “Permisi.”
Gee tersenyum ramah. “Iya. Ada keperluan apa?”
“Bisa minta tolong, kita sudah request Latte Art.
Gee merunduk ke meja. Memastikan kebenaran order pelanggannya. Iya.”
Aku mau yang hias Latte-ku... pelayan sini. Bisa?”
“Maksudmu, pelayan kami?” Gee bukan tidak paham ia minta ulang. Siapa tahu ia lagi blank.
“Iya. Tomi, kan?”
“Ya.”
Nama pun dia tahu.
“Aku tahu dia bisa bikin.” Flo menyadari kesangsian di ekspresi Gee yang tampak kecut. “Di kafe kota besar bisa ngedemoin Latte Art di depan pengunjung. Kulihat dia kemarin.” Pada saat itu Tomi belajar menuang Latte Art di luar dapur.
“Dia bukan di bidang itu. Baru belajar.”
“Aku tahu.”
“Kalau hasilnya nggak memuaskan?”
“Tak apa-apa.” Ujung telunjuk Flo rapikan rambut pixie asimetris. Rambutnya menyamping kanan dengan bentukan menyudut tajam.
“Ngg.”
“Tolonglah!”
Gee tak bisa berkata apa-apa lagi. Kalah gesit pada kengototan gadis itu. “Lalu model apa yang mau di-request?”
“Love.”
Hampir saja seluruh isi perut Gee muncrat keluar. Lalu ia menata mimiknya secara wajar. Perbaiki kekagetan supaya tak disadari gadis itu.
Heart... Love...
Baiklah.
“Dia belum mahir.”
“Nggak apa-apa, kok.” Gadis itu tersenyum seringai, “Aku sudah bilang aku nggak terlalu permasalahkan. Aku ingin melihat aksi cowok itu.”
“Apa kamu menyukainya?” Entah mengapa pertanyaan bodoh tersebut terhembus begitu saja seakan kontrol dirinya saat ini blong. Ia tak mengerti kenapa tak dipertimbangan di pikirannya. Pantas apa tidak pertanyaan itu dilontarkan pada orang yang baru ia kenal.
Flo dibuat tersipu oleh Gee. Untung Flo tak mengumpatnya. “Memang terbaca benar di wajahku?” Membuang pandangan ke pintu dapur. Khawatir Tomi keluar. “Tolonglah... kabulkan permintaan customer-mu! Bisakah kakak beritahu dia sebelum Latte-ku selesai?
Dia memanggilku, kakak.
Padahal Gee menelisik umur mereka tak jauh, yah, setahun dua tahun.

Pintu dapur terbuka lebar.
Tomi terlonjak. Tahu-tahu seseorang berdiri di situ. “Jantungku... Gee!” Demikian juga menimpa pada Gee namun ia telah menguasai dirinya.
Gee melayangkan kertas warna pink persegiempat. “Auw...” Tomi menaruh tangannya ke dada. Selembar stick note warna pink menempel di baju Tomi.
“Nih, pesanan dua cewek,” didorongnya dada bidang Tomi ke belakang. Wajah Gee cemberut. Ia segera membalik dan membiarkan Tomi mematung dengan simbol tanda tanya di kepala. Tomi tak menyadari ekspresi muka Geizya. Dengan sigap ia menangkap kertas itu agar tak melayang jatuh.
Tomi baca tulisan itu. “Meja no. 3 Latte Art, love. Tomi buat.” Sejumput pertanyaan bersarang di benaknya, “Maksudnya apa?” gumam Tomi.
“Apa artinya, Gee?” terdengar suara Tomi berteriak.
Gee tak menyahut. Ia terlanjur jauh.
Tomi mengintip ke luar. “Cewek itu.” Ia kembali masuk. “Kapten, apa arti ini?”
Request from customer. Mereka mau kamu tunjukkan Latte Art di depan mereka.”
Tomi kaget, bersuara nyaring, “APA?” tampak samar tiga garis sejajar di kening.
Tiga pria barista dibuat terperangah atas kepanikan Tomi.
“Kurasa kamu sudah punya pengemar,” Primo tepuk bahu Tomi. Menentramkan Tomi. “Ayo, sini bikin Espresso.”
Bahan utama Latte Art yaitu Espresso telah Primo ajarkan kepadanya.
“Tapi, aku nggak mahir, Bang!” Ia tak beranjak. “Aku pemula. Kenapa dia suruh aku bikin sih?” Kecemasannya bertambah. Alisnya mengkerut.
“Nggak apa-apa.”
“Kalau nggak enak gimana, Bang?” Bulir-bulir keringat ngalir turun di tepi rambutnya. “Aku nggak PD, Bang.” Disertai cekikikan Uki. Livi hanya menyeringai. “Kalau rusak?”
“Tenang saja. Buat dulu. Jangan bimbang! Kalau nggak enak kubuatkan. Kamu mau ngecewain pelangganmu. Runtuhkan kepercayaan mereka.
Mulut Tomi terkatup rapat.

Sementara Gee di balik meja counter sembari moncongkan bibir. Ia mengoceh sendiri, “Kenapa baru kenal sudah minta dibuatin Latte Art, and then why 'love'? Wait a minute, mengapa aku harus kesel sama cewek tuh.”
Primo selalu menekankan Espresso harus dibuat secara fresh dan langsung dinikmati. Espresso jika diminum terasa kental. Perpaduan bodi yang penuh dengan krema hingga menghasilkan tekstur yang halus.
Begitu pun Espresso based milk harus memakai susu segar.
Tentu Tomi berkali-kali memperhatikan para barista bekerja selama masa training. Ia telah melakukan percobaan meracik kopi.
Tapi hari ini tak lazim ia turun tangan sendiri dalam meracik kopi. Untuk yang pertama kali kepada konsumen.
Biji kopi yang baru 3 hari digoreng dengan proses full french roasted dimasukkan ke dalam electric coffee grinder. Lalu ia atur tingkat kehalusan bubuk kopi sangat halus (fine) seperti gula bubuk.
Tomi menakar kopi bubuk sebanyak 7 gr untuk single Espresso.
Ia menghangatkan cangkir kopi dahulu. Sebelum ekstraksi kopi, ia melakukan flushing-membilas protafilter dan membersihkan sisa-sisa kopi-dari grouphead (mengeluarkan cairan kopi pada mesin Espresso).
Zessshhh, suara air panas keluar dari grouphead.
Penting sekali portafilter dibilas dengan air dari boiler bila tak digunakan dalam jangka waktu tertentu. Grouphead dan portafilter harus disuhu yang sama ketika mengekstraksi kopi.
“Portafilter jangan sampai dibiarkan lama terlepas dari grouphead,” pesan Primo.
Tomi menyiapkan portafilter dalam kondisi hangat kemudian dilap sebelum dipakai.
Setelah itu proses dosing (takaran bubuk kopi dimasukkan ke dalam portafilter). Ia ketuk-ketuk portafilter dengan tangan kirinya agar bubuk kopi yang menumpuk di portafilter merata. Ia mengambil tamping-bentuknya menyerupai stempel-tujuannya meratakan dan memadatkan bubuk kopi. Terakhir, ia angkat tamper lalu lakukan gerakan memutar.
Tamping berkali-kali. Nyaris portafilter-nya jatuh dari sisi meja bar. Kalau barista handal cukup dua kali tamping.
“Dia ragu,” batin Primo.
Tomi pasang portafilter yang telah dipadatkan ke grouphead. Ia ikuti kata-kata Primo sewaktu diajarin, “Atur suhu air berkisar 90-96° C, tekanan 9 bar kira-kira bisalah dapat 25-35 gr.
Tomi tekan tombol ekstraksi.
“Tunggu sekitar 20-30 detik,” ucapan Primo terngiang di benak Tomi.
“Ingat! Teman sejati Espresso adalah crema. Kunci dapat crema yang baik kamu sering-sering bersihkan mesin,” pesan Primo.
Cairan panas 30 ml yang berwarna coklat mengalir dari grouphead  ke dalam cangkir keramik.
Air kopi berhenti mengucur.  
Ekstraksi selesai.
Untuk segelas Espresso.
Sela berkonsentrasi penuh pada mesin Espresso ia lupa satu hal, susu. Tanpa ia sadari. Dari awal ia belum buat.
Ada orang berdiri di samping. Tomi melirik siapa di sebelahnya. “Bang Primo nolongin aku,” gumamnya.
Primo menyiapkan susu dalam stainless steel mug. Ia membilas steam wand dan celupkan ke dalam susu. Angkat perlahan-lahan sampai steam wand (untuk memanaskan dan membuihkan susu) kira-kira1cm ujung tangkai steam. Panaskan susu dengan mengatur kenop steam yang ada di sebelah kiri mesin. Ia putar kenop steam itu berlawanan arah jarum jam. Suhu steam sekitar 60°-70°C.
Primo mengistilahkan ini stretching. Membuat foam susu.
Ia ingin dapatkam foam yang halus. Lakukan sangat berhati-hati tanpa keluar suara yang keras dari susu yang sedang dipanaskan. Chchchch, bunyi suara frothing milk.
Ia tetap menahan posisi steam wand dekat permukaan susu. Busa kelihatan cukup. Sampai suhu susu sesuai yang dinginkan. Setelah itu padamkan steamer. Flushing the steam wand sambil mengelap ujung tangkai steam susu.
Langkah berikut rolling. Ia ketuk-ketuk bagian bawah mug ke meja. Supaya buih-buih susu menjadi halus. Kemudian lakukan gerakan memutar untuk memecah gelembung susu.
Lalu kasih ke Tomi. Untuk dicampurkan ke dalam Espresso. Sebenarnya di hati kecil Tomi pengin persembahkan Latte kepada Flo tanpa campur tangan orang lain. Tapi apa mau dikata. Terlanjur Primo bantu Tomi.
Sebelum keluar Tomi bercermin di kaca yang digantung dekat pintu dapur. Apakah rambutnya tertata rapi? Ia berkaca sebelah kiri, sebelah kanan. Tak urakan rambut tengahnya.
Kemudian Tomi nongol.
“Ikuti dia,” kata Primo kepada Uki di sampingnya.
Tomi menjadi komandan bagi Uki. Mereka ke meja no. 3. Tak biasanya, Flo suka pilih meja di outdoor no. 4 yang di pojok.
“Permisi, pesan Caffe Latte. Ini...” kata Tomi, umbar senyum. Uki menyambung, “Espresso diracik sendiri olah waiter Warung Ngopi sesuai request. Jika tidak sesuai harapan, Kapten kami akan ganti bikin. Silakan, Tomi!”
Atas petunjuk Primo sela-sela Tomi training, Susu harus panas ketika kamu tuang agar muncul crema.
Tangan kanan Tomi memegang teko susu panas yang mempunyai ujung lancip dan tak berantakan. Pelan-pelan tuang susu panas ke dalam cangkir.
“Cangkir dimiringkan. Pitcher-mu harus stabil ketika menuang. Bayangkan cangkir dalam 3 tingkat. Perlahan-lahan tuang Latte mulai dari sisi cangkir dengan gerakkan tangan searah sampai menuju ke ujung seberang sisi cangkir. Sedikit demi sedikit. Antara mug dengan cangkir harus tinggi. Jaraknya kira-kira 4 inchi. Dekatkan jarak menuang susu saat susu hampir habis. Bentuknya makin mengerucut. Secepatnya ke titik semula dan tarik ke atas,” terang Primo sambil praktekan keahlian di depan pelangannya. Ini adalah langkah dasar buat pola di media air.
Waktu itu Tomi amati dari jauh.
Ia ikuti langkah Primo saat Primo lagi bikin gambar hati permintaan konsumen. Sesuai seingatnya.
“Pakai teknik free pour,” Gee membatin. “Bisa nggak dia eksekusi?”
Flo dan Brenda terpesona pada gerakan Tomi menuang susu. Walau tampak kaku. Muka memerah karena khawatir, gugup, cemas. Orang-orang tak tahu tangannya berkeringat akibat proses metabolisme dalam tubuh bekerja dari pengaruh rasa kecemasan.
Finishing, ia membelah pola itu hingga membentuk jantung terbalik di hadapan Tomi. Lalu meletakkan cangkir ke meja.
Sayang, Latte Art Tomi kacau balau. Entah kenapa dia, apakah kecepatan tuang? Apakah kelambatan atau grogi?
Dari atas tampak garis putih kulit kepala Flo membelah rambutnya ke kanan. Turun ke bawah Tomi jeli memperhatikan ekspresi gadis itu. “Maaf.” Lukisan heart di atas Latte berantakan seolah-olah merefleksikan hati Tomi. Kecewa, patah hati seperti heart di cangkir Flo.
Gagal.
Teman di sebelah Flo mengamati, tiada kemasaman di raut wajah Flo.
Mereka menunggu Flo.
Flo memandangi hasil Latte Tomi. “Nggak mengecewakan,” Flo menyeruput, “untuk seorang pemula. Sedikit beda belum rapi amat.
“Gimana rasanya?”
Flo menyibakkan rambutnya, “Pahit. Tapi aku suka usahamu. Makasih ya!” Flo tetap tersenyum lebar.
Tetap gembira amat nih cewek. Not bad, Tom. Kamu berhasil menghibur hati dia.
Tomi menunduk, Maaf! Nggak sesuai harapanmu. Lain kali aku berusaha keras lagi.
Iya, aku suka itu.” Ucapan Flo buat kaget orang di sekelilingnya. “Kuterima maafmu. Kenalkan aku Flo.” Flo mengulur tangan dengan gerakan feminim, lembut.
“Aku Tomi. Nama kerenku Tom Tom.”
“Hihihi. Aku tahu.”
“Agh...”
“Tuh!” tunjuk Flo pada tag name di baju Tomi. “Kalau Tom Tom aku nggak tahu. Dia Brenda.”
Tomi melayang pandang di sebelah Flo. “Hai! Tomi.”
“Hai!”
Ch, Kenapa aku menjadi sirik terhadap cewek tuh sih? Gawat deh, sinis Gee.

Kedua gadis muda itu beranjak dari bangku. Tomi berlari kecil. Menjegat Flo, “Flo, makasih.” Napasnya memburu. “Kamu telah membantu, semangatiku. Aku akan buatkan kamu Latte Art yang bagus.”
“Kamu janji untukku?”
“Janji.”
“Aku tunggu!”
“Jia you!!!” seru Flo. Brenda tak mau kalah, “Ganbatte, Waiter Tomi!”
“Harus bisa lho! Kami datang lagi.”
Flo melambaikan tangan. “Ciao.”
Tomi membalas dengan seuntai senyum mengembang kepada pemilik pipi yang berisi.
Gee memperhatikan pengunjungnya yang barusan pergi.
Baik banget kamu sama dia!
Tomi membersihkan cangkir di meja Flo singgah. Kecewa bercampur senang karena dia bisa membuat Latte meski tak berhasil. Ia berpikir tentang Flo yang telah membantunya menarik minat pada desain kopi. Minat barunya tergugah.
Terima kasih, Flo.
Hati Tomi gembira, senang karena ada satu orang menghargai karya walau belum berhasil. Setidaknya ada pihak yang mendukungnya. Menantikan Tomi. Sehingga pacu semangat Tomi.
Untuk secangkir Latte Art.
“Berhasil kamu?” tanya Primo di dapur.
“Enggak rapi dan dia bilang pahit.”
“Aku tahu.” Tadi Primo melipat tangan bersandar di ambang pintu dapur. Merekam semua di depan matanya.
“Hah?”
“Waktu ekstraksimu mungkin lebih dari 30 detik.”
Tomi menguji dirinya untuk tak menggunakan timer. Pengalaman Primo memang tak patut diragukan. Waktu yang diekstraksi Tomi, ia pun mengetahui kesalahan Tomi dimana.
Sebagai pemula ia selalu berhasil melakukan ekstraksi under extraction or over extraction. Banyak hal yang bisa mempengaruhi ekstraksi kopi dengan pakai mesin Espresso. Belum pernah ia dapat hasil Espresso yang pas. pertama ia coba bikin dengan tekanan sama 9 bar, Tomi hasilkan Espresso 50 ml dibilang Primo waktu itu, “Too watery.” Saat-saat ia belajar dari Primo.
“O... Terima kasih, Bang Primo kasih aku kesempatan.”
“Bukan. Dua fans tadi.”
“Oh... iya. “ Tomi tawa cengengesan.
Rasa kecewa merongrongi. Latte Art buatannya berantakan. Walau ia sudah dibujuk Uki, “Wajar kamu, pengalaman pertama kamu tampil di Latte Art. Lagian permintaan mendadak kok.”
Ia tak puas hanya keahlian menuang susu ke coffee dengan style itu-itu saja. Dasar menuang Latte-nya jauh dari kata memadai. Laptop kepunyaan Budi dipinjam lagi sama Tomi. Mencari Latte Art di situs, youtube. Berulang-ulang ia me-replay tayangan orang mendemo menuang susu ke Latte Art.
“Wah... Hebat benar mereka nih. Two jempolan deh! Aku bikin Latte Art karena dia suka. Aku jadi demen sama desain kopi.”
Lalu ia pindahkan ke hape agar suatu saat bisa ditonton semaunya. Pelajari body langguage barista tersebut saat menuangkan susu. Ia telah berguru pada Primo. Namun itu tak cukup, ia perlu cari tambahan infomasi untuk menerangkan seluruh kekacauan, keresahan di dalam otaknya. Sibuk memikirkan dan sungguh banyak sekali pertanyaan bersarang di benaknya. Kalau tak dapat ia pecahkan, penasaran yang terus menghantuinya ke dunia bawah sadar
Ia mengali inspirasi untuk membuat gambar.
“Bagus-bagus begini, susah banget. Bisa nggak sih aku. Pengen seperti mereka. Ah, besok minta petunjuk sama Primo. Puuusing kepala!”



Bab selanjutnya: Novel Warung Ngopi Bab 8



No comments:

Post a Comment