“Kak, mana baju yang...” Gellyta menoleh, “Kakak...”
Bahu Gee
menunduk lesu bagaikan padi merunduk. Matanya menatap seseorang di refleksi
kaca. Tapi tak fokus.
“Woi,
ibuuuu!”
Gee
terperanjat. “Ogah dipanggil ibu. Kamu panggil aku Ibu atau Bu. Jangan ingatkan
aku pada dia. Sebel!”
Tomi sering
kali mengajak Gee bercandaan dengan memanggilnya ibu, kakak ketika ia berada di
counter menyodori orderan.
Gee tersenyum
kecut. Tepuk lembut ke pipi chubby adiknya. Bangkit dari
bangku meja hiasnya. Melangkah pelan ke jendela. Tatap kosong di luar sana di
kegelapan malam.
Gellyta
menghela napas dan geleng kepala melihat keadaan kakaknya.
“Kenapa
denganmu, Kak?”
“Hari ini
seorang perempuan minta dibuatin Latte Art.
Semakin aku memikirkan dia, aku sakit hati bila seorang perempuan di dekatnya.”
“Lantas?”
“Ngh?”
“Mengapa kakak sewot?”
***
Ritme langkahnya cepat. Terkesan buru-buru. Tomi
mengayunkan tangan agak melebar. Bertepatan itu seseorang menaiki tangga. Tak dinyana, ujung
jemari kiri orang itu tersentuh lembut di telapak tangan kiri Tomi.
Ngg....
Sangat singkat. Refleks, langkah mereka terhenti.
Tomi
mendongak ke orang yang berdiri di dua anak dari Tomi injak sekarang. Tomi
melihat sekilas orang itu ketika menuruni tangga, bahwa ia… tapi tak yakin dan
ternyata benar. “Gee,”
ucapnya dalam hati.
Gee menoleh ke bawah. Pandangi Tomi. Tangannya
yang terpaut melepas setelah beberapa detik.
Mereka
tercengang. Selama sepersekian detik.
Tidak satu
kata pun keluar. Kemudian mereka melanjutkan tujuan perjalanan mereka. Mungkin
berusaha menutupi. Atau pura-pura tak tahu.
Tomi menengok
ke belakang. Gee terus menaiki tangga. Yah… Tomi tak
tahu Gee sempat menoleh sebentar. Melihat punggung Tomi.
Gee memikirkan sesuatu. Ia berlindung di belakang meja counter. Meletakkan tasnya di sudut
meja. Tiba-tiba saja memorinya memutar momen tadi.
Tadi itu... cuman nggak sengaja. Jika dia nggak sengaja, kenapa... Jantung
Gee bergelora. Aaa... ku nggak sengaja menyentuh
dia.
Saksi
Tertinggi-lah yang menjadi saksi kebenaran mengenai keadaan sebenar mereka.
Gee menaruh
tangan di dadanya, belum berhenti.
Sentuhan itu pelan, berkibas seperti tiupan angin. Sekilas,
tapi efeknya terasa di ujung jari hingga mengalir sengatan mengelitik di hati
mereka.
Gemuruh di
dada Gee.
Degup kencang
di balik kemeja putih Tomi.
Tomi
mengabaikan perasaan itu sesaat yang sempat menyesakkan tenggoroknya.
Lagi-lagi, sentuhan itu mengapung di benak Tomi. Kok bisa tanganku tersentuh sama Gee? Masa iya dia sengaja sentuh
tanganku. Alaaa... Sudahlah. Tomi mengibaskan tangan. Seolah mengindahkan
pikirannya. “Lebih baik pergi ambil kopi bubuk.”
Mereka
berhasil. Sukses berat.
Mereka
berakting seolah tidak terjadi apa-apa. Atau Tomi berpikir Gee tak terlalu
memikirkan perkara itu dengan serius atau ia memang menganggap itu tak penting.
Toh tersentuh merupakan
hal biasa. Melihat Gee yang bersikap macam itu terhadap Tomi. Ia
pun bertindak seolah tidak ada yang terjadi tadi siang. Mereka bekerja selayaknya
hari-hari kemarin. Tak seorangpun yang memulai menyinggung. Baik Tomi ataupun
Gee. Tomi pergi melayani, menyerah orderan ke dapur lalu serahkan ke Gee.
Begitu sampai pulang kerja. Mungkin memang tak perlu membahasnya. Kecuali
seseorang yang masih terus memikirkan walaupun itu telah terjadi beberapa jam
lalu.
Kapas wajah
dengan susu pembersih menempel di muka Gee. Membersihkan
sisa-sisa dandanan. Tangan kirinya terhenti selepas dua tiga kali usapan.
Teringat tangan yang sama ketika tertubruk di tangga. Bersentuhan saat
berpapasan di tangga bisa saja terjadi. Bahkan di tangga eskalator mal, dua
orang saling bersentuhan tangan terjadi di pegangan tangga yang berjalan
berlawanan arah. Gee pernah melihat itu. Jadi, wajar saja. Tapi, mengapa…
Kenapa dia? Gee bicara dengan orang yang di
cermin. Ia menggeleng-geleng seolah dapat menghapus ingatan di otaknya.
Tangannya diperhatikan. Perasaan ini tak nyaman setelah tertubruk.
Sementara di
rumah lain.
Tengah malam.
Kedua tangan ditaruh di belakang kepala Tomi. Ia menggambar kejadian tadi siang
di atap plafon. Ia memejamkan matanya. Ia tetap merasakan dengupan yang sama
walau peristiwa itu lama berlalu.
Dini hari jam
03.00 matanya lelah, perih dan berat. Pikiran terus mengelana. Tomi bolak-balik
di kasur. “Tidur. Tidur. Ayo, tidurlah Tomi! Besok kerja,” katanya, memantrai
diri sendiri untuk mengenyahkan gangguan pada tidurnya.
Seakan tak memiliki kekuatan penuh untuk menyihir diri. Tomi
angkat bahu dari kasur, “Kenapa kamu ada dalam pikiranku!” pekik Tomi.
“Singkirkan, singkirkan wajah Gee malam ini. Singgirkan!” Ia selayaknya
bertapa, duduk bersila di kasur yang tipis tergerus waktu
dan tindihan tubuhnya.
***
“Kakak,
bolehkah aku pesan Cappucino?”
Di bibir Tomi
terbentuk garis melengkung ke atas. “Tentu saja. Pesan gratis.” Anak laki-laki
itu kira-kira seusia anak SMP. Ia tersenyum.
“Tapi aku
nggak minum di sini.”
“Oh... Take out. Bisa. Kami melayani. Berapa?”
“Dua.”
Tomi menekan
tombol angka di mesin penghitung. “Kamu nggak sekolah?”
“Masuk siang.”
“Emm. Kamu minum
bersama seseorang spesial banget?”
“Tidak,
mmm... Sebenarnya iya.”
“Cieee.”
“Bukan
pacar.”
“Oh?”
“Aku beli
untuk tanteku. Aku pengen dia nyoba di kafe ini. Dia suka minum
sambil cuap-cuap.”
“Hah?”
“Dia
penyiar.”
Tomi
mengangguk dan tersenyum, “Terima kasih, Dik.” Lalu sobek kertas struk, strrrt. Setelah cowok remaja itu
membayar. Tomi berkata, “Tunggu ya, Dik. Silakan duduk dulu.”
Pagi ini baru
satu orang pembeli. Di luar hujan deras. Awan gelap membumbung tinggi menutupi
seluruh bumi kota Tarakan.
Setelah Primo
antar Cappucino ke pembeli. Ia
bergabung dengan dua barista. Dampingan duduk di koridor panjang. Mejanya
merapat ke jendela kaca. Butiran air bening menjiprat dan
tinggalkan jejak di kaca. Pandangan luar kian kabur.
“Dingin-dingin
pengin minuman hangat. Siapa yang bikinkan kita minuman?” sela Uki di tengah
keheningan. “Yang jelas kita nggak bisa perintah ke senior,” canda
Livi.
Primo angguk
pelan.
“Lantas
siapa?”
“Nggak bisa
perintah yang tua pilih yang baru masuk,” sahut Livi menoleh ke belakang dan diikuti Uki. Tomi
sedang mengisi tisu ke dalaam
wadah.
“Tom!” panggil Uki.
“Ya.”
“Order kopi
plus cemilan untuk kami.”
“Siap.”
Penyiar Radio
Fress berkicau akan menyetel lagu barat berjudul Covered In Rain milik John Mayer. Suaranya merdu dan lembut.
Petikan gitarnya serasa hadir di ruangan tersebut. Meski para barista di
koridor bersebelahan dengan ruang tengah. Musik itu
mengalun-pintu sengaja dibuka-hingga ke tempat mereka berada.
Tepat.
Penyiar itu sangat pintar memilih lagu. Ia mengisi lagu dari membaca kondisi
cuaca sekarang. Alunan lagu itu pun mengiringi Tomi yang bertambah semangat
membuat adonan. Pintu dapur dibiarkan terbuka sedikit. Tomi tak ketinggalan ingin
mendengar lagu tersebut. Tak enak bila bekerja sendirian tanpa musik berdendang
dan menemaninya. Sebuah lagu bisa menjadi teman terdekat ketika
tenggelam dalam pekerjaan.
Campuran adonan tepung dituang ke dalam tengah-tengah teflon.
Tuang sedikit. Hingga bentuk bundaran. Tunggu sisi
bundar itu sampai agak kering baru Tomi balik. Empat lapisan sudah di piring. Lapisan terakhir
selesai. Ia menuang saus ke atas empat pancake.
“Bikin apa?”
Tomi terkejut.
“Ooh, pancake,” Gee
jawab sendiri.
Pikirnya Gee
tidak masuk kerja. Tomi buat adonan pancake
pas-pasan. Ia sudah makan selembar pancake yang agak gosong sembari membolak-balik pancake di teflon. Jika ditilik dari sikap
Gee peristiwa
semalam ditanggapi hal yang biasa oleh Gee.
Tiada perkara yang mencanggungkan mereka akibat kemarin. Maka, yah... Tomi
bertindak wajarlah. As usual the day
before. Toh sentuhan tak berarti apa-apa. Gee tak singgung, tak bahas. Gee nggak marah.
Jadi, buat apa Tomi menanyakan hal itu kepada Gee. Untuk apa ia
perlu menjelaskan semua. Mungkin normal saja. Peluang ini bisa menimpa kepada
sesiapapun. Dan masing-masing tampak sudah saling pengertian.
“Buat barista.” Ia tertawa cengengesan. Lalu keluar beri
kepada rekannya. Terdengar bagian chorus
lagu milik John Meyer.
These days, with the
world getting colder,
She spends more time
sleeping over
Than I planned.
Setelah menaruh pancake di depan rekan kerja. Tomi
beranjak pergi.
“Tom,
kemana?” tanya Uki.
“Dapur.”
“Lho sini makan bareng.”
“Beresin di belakang.”
Uki tak patah arang mencegah Tomi. “Pancake-mu?”
“Kalian makan aja.” Buru-buru
Tomi nyelonsor ke dapur. Tomi
meninggalkan mereka santap pancake
buatannya dan kopi.
“Kenapa anak tuh? Nggak mau nyantai dulu bareng kita,” ujar
Uki. Livi membagi-bagi empat pancake ke
setiap piring kecil. “Lebih satu, aku aja.”
Tonight we’re gonna
order in,
Drinking wine and watch
some cnn.
It’s dark I know but
then again
It’s the brightest
thing I got
When I’m covered in
rain
When I’m covered in
rain, rain, rain, rain,
No, I am covered in
rain, rain
“Bagi, Vi!”
“Udah, kalian bagi dua,” Primo menengahin
mereka.
Sekembali Tomi, Gee sedang meracik kopi. Dua
cangkir di meja. “Sruuut...” Asap mengepul di atas kopi. Ia menunggu kedatangan
Tomi. “Espresso atau Americano?”
“Gee apa?”
“Espresso. Kamu sama?”
Tomi
mengajungkan telunjuknya, lalu dihentakkan ke kiri. “Black Coffee.
“Okey.
Kubuatkan.”
Selesai
meracik Black Coffee, Gee menonton
Tomi membalikkan pancake, diselanya,
“Kenapa hitam? Gosong?
Tapi nggak
cium bau gosong?”
Tomi jawab
dengan senyuman
terkandung makna. Ia taruh di piring kecil.
Gee merasa
sesuatu yang janggal. Aroma tak asing dan dikenalnya. Gayo.
Di atas pancake disirami susu kental. Tomi belah
pancake jadi dua. Ia tusuk garpu ke irisan pancake ditujukan ke mulut Gee.
Dalam keraguan Gee santap pancake
buatan Tomi. “Mmm... Enak! Gayo kesukaanku. Kamu nggak makan?”
Tomi menggeleng kuat.
“Aku separuh kamu separuh,” ucap Gee. Sebelum Gee membelah
sisa pancake Tomi merebut garpu dari
tangan Gee. “Aku sisain untukmu, Gee.”
Pintu dapur
terbuka. Primo masuk disusul Uki. Primo sempat menengok sebentar lalu ia
terpaksa membalik, “Masak kita tinggalkan Livi sendiri. Ayo kembali.”
Uki berontak,
“Iya, Bang. Tapi aku mau air putih. Tomi nggak ambil air untuk kita.”
“Iya… nanti. Ayo kita ngobrol!”
“Kenapa, Bang? Tomi...” Uki membantah
dan terobos halangan Primo.
Tomi dan Gee
menoleh. Suara hentakan pintu terdengar nyaring. Membuat mereka terenyak
kecuali Primo yang telah mengetahui keberadaan Tomi dengan Gee di dalam.
“Ooh... Kalian di
sini?” ucap Uki, merangsek masuk. Primo sudah berusaha keras cegat Uki.
“Makanya aku suruh nanti,” Primo pukul mundur Uki.
“Bang Primo nggak ngomong jelas sih. Aku nggak ngerti.”
Mereka yang di dapur tertawa ngikik.
“Mau masuk, masuklah!” seru Gee setengah teriak. Primo dan
Uki tak mendengar. Mungkin sudah jauh dari dapur.
“Kali saja
mereka… kamu… tahu, kan?”
“O… kita nggak ada apa-apa? Kita cuman temanan.”
“Benar.”
Gee bergegas
merapikan cangkir, piring dan teflon. “Tinggalkan!
Biar kucuci,” sahut Tomi. Pandangannya mengikuti langkah Gee. Menuju ke tempat
pencucian. Tomi berjalan di belakang Gee. “Sudah biar aku.” Tomi melihat Gee mencampurkan air sabun.
Larangan Tomi tak diindahkan sama sekali.
“Aku saja.” Tomi berdiri di samping Gee. “Kamu nggak biasa
nyuci.”
“Ng?”
“Tanganmu halus.”
Perkataan itu bikin Gee tersipu malu. Teringat kemarin.
“Aku pernah nyuci,” sanggah Gee, tunjuk ke sink, “banyak cucian, aku harus membantu
kalian.”
“Kamu
tunangan Bos. Mana bisa aku biarkan kamu lakukan hal ini. Bos tahu, aku bisa
disemprot.”
“Memang
kenapa? Mau aku duduk berjibaku sendiri.”
“Kamu jaga warung.”
“Warung lagi sepi.”
“Kamu jaga
depan aja deh.”
Gee berusaha mempertahankan daerah tempat sink. Tak mau
beranjak dari situ walau Tomi mengeser dirinya agar menjauh dari sana. “Jangan desak aku!” lengan Gee
tersenggol pegangan teflon. Plentang…
plentong…
Tomi tak sampai untuk
meraih sebelum jatuh sebab Gee di sampingnya. “Nah, kan, jatuhan.” Tomi
menunduk mengambil teflon yang terjatuh.
Warung Ngopi
kedatangan rombongan tamu. Mereka berpakaian resmi. Sebenarnya Primo tak hendak
masuk kembali ke dalam. Disebabkan terdesak oleh situasi. Mau
tak mau ia terobos masuk ke ruang kerjanya. Sementara Uki menangani para
pengunjung dan Livi membereskan meja tempat mereka bersantai sejenak.
“Ng... Di
luar banyak pengunjung,” ucap Primo kaku.
Gee menoleh
ke arah suara itu.
“Biar aku
cuci.” Tomi lanjut mencuci peralatan dapur. Daerah sink untuk kali ini ia berhasil menguasai.
“Ok,” jawab
Gee, keluar menghadap para konsumen.
Primo melirik
diam-diam ke arah Tomi. “Maaf... aku nggak bermaksud
mengganggu kalian.”
“Ng...” Tomi
bingung. “Aah... Itu... Bukan seperti anggapan kalian. Kami berteman doang.”
Ketika hendak berjalan, Primo
berbalik lagi, “Tomi...”
Tomi mengangkat wajah, “Bang, jangan
khawatir soal itu.” Tomi melihat raut Primo berubah seketika. Membuat ia tertegun
sejenak.
“Tinggalkan
itu. Bantu aku.”
“Hah?”
***
“Ngaku.” Uki menggandeng pundak Tomi. “Kamu
suka sama tunangan Bos. Iya, kan?”
“Enggak.”
“Halah. Iya.
Aku tahu. Kami lihat dari sorot matamu. Kamu sering deket-deket dia.”
“Heh. Aku
temanan sama dia. Wajar akrab.”
“Dimatamu
kamu nggak bisa boong! Kemarin
makan pancake bareng. Lari dari
kenyataan?”
“Aah sudahlah. Ganggu aja.” Tomi berusaha melepas dari
jangkauan Uki.
“Gimana, Bang
Primo?”
Tomi menoleh
ke Primo. Ia menyesap kopi panas di cangkirnya. Bersandar menyilangkan kaki di
tepi meja. Masih lengkap dengan pakaian kerjanya. Terbawa kenikmatan kopi dalam
kesendiriannya di sana. Walaupun semua pria berkumpul dalam dapur.
“Kamu berani
adu dengan Bos?”
Tomi menjauhi
dari Uki dengan berpura-pura sibukkan diri rapikan peralatan dapur. “Lari
kemana kamu?” Uki mendekati Tomi lagi dan merangkul lehernya dari belakang.
“Uki!!”
“Bang Primo
nggak dukung kamu. Kami dukung kamu. Ayo, ngomong ke Gee, ke pujaan hatimu!”
Primo
tersenyum tipis. Anak dua itu.
“Kami siapa
maksudmu,” Livi nyeletuk.
“Kami berdua,
Livi.”
“Aku nggak ikut.”
“Yah sudah. Aku dukung Tomi.” Uki mengeratkan rangkulan di
leher Tomi. “Jangan cekik aku! Mati aku.”
“Ayo jujur padaku. Baru kulepas.” Malah Uki
kencangkan tangannya.
Tomi berusaha
meronta-ronta. “Uki,
Uki, sakit leherku. Lepaskan!”
“Jawab dulu.”
“Nggakkk.. mau.”
Livi tak betah
dengar keributan mereka. “Hei!
Hei! Sudah. Kerja. Cepat beresin, mau pulang apa nggak?”
Uki merenggangkan tangannya. “Huh, nggak seru Tomi.”
“Kapten, siang ini kasih Tomi yang piket. Kita
pulang.”
“Apa, enak
kamu, Uki?”
“Aku kasih
kamu kesempatan ngomong sama Gee-mu itu,” sambil moncongkan bibirnya ke pintu.
“Terserah kalian,” jawab Primo, bersiap-siap pulang.
“Tomi,
selamat berjuang!” kata Uki. Lemparkan salam hormat dua jari.
Uki
cengar-cengir tinggalkan Tomi sendirian.
“Hei, Uki…”
teriak Tomi.
Uki berpura
tak mendengar seakan tak peduli. Ia menyampiri Gee. “Gee, Tom Tom mau ngomong
sesuatu sama kamu di dalam,” kata Uki.
“Oke.”
“Si unyil
ini, bisa-bisa kamu ngomong begitu?” Livi pada Uki di tangga.
“Aku cuman tolongin bikin jalan buat Tomi. Sekarang
tergantung usaha Tomi.”
“Kamu hebat soal beginian. Bikin kopi
malas belajar. Coba lihat Tomi! Dia lebih mahir dibanding kamu.”
“Heh, siapa
yang pertama kali ragu pada kemampuan Tomi?”
Livi bungkam.
“Eh eh, ngeyel kamu.”
“Bang,” Uki
merangkul bahu Livi. “Hhm,” balas Livi.
“Abang diam-diam
puji Tomi di belakangnya,” Uki mengerling ke Livi.
“Eng-gak.”
“Dia nggak
ada di depanmu. Jujur saja sama aku, Bang. Nggak akan kukasih tahu sama Tomi.”
“Aku bicara
sesuai fakta. Bukan muji.”
“Jadi Abang
mau ajarin dia?”
“Belum
waktunya.”
Gee mengunci
pintu utama dari dalam lalu masuk ke dapur sesuai pernyataan Uki, “Ada apa,
Tom?”
“Hah?”
“Kata Uki,
ada yang mau kamu ngomongin?”
Uki pulang
bareng Livi. Biasa ia turut membantu Tomi. “Sialan Uki. Ngerjain aku. Mampus
aku, gimana nih!” gumam Tomi.
“Apa itu,
Tom?” tagih Gee tak
sabar.
“Ah... Itu, itu.”
Bilang nggak yah? Ah, masa bodo.
“Gee, kamu
mau coba cemilan buatanku atau minum Mocca?”
Gee mengulum
senyum. “Ngg?”
“Mau?” Tomi
tersenyum merekah. “Ngopi?” Ia memainkan kedua alisnya naik turun.
Merasa
ditantang ngopi Gee tak bisa menolak. “Mmm, kalau cemilan aku
pengen manis-manis.”
“Sip. Tungguin aku. Aku
selesaiin kerjaanku.”
“Ok.”
Aku nggak ada persiapan. Gimana cara ngomong? Dasar Uki.
Tomi meninju telapak tangan kirinya.
Sejam
berlalu.
“Kamu masih
lama beresin?” Gee mengintip di daun pintu.
“Iya,” teriak
Tomi. “Kamu tunggu di luar. Kupanggil bila aku siap.”
Bosan
menunggu lama sendirian di loteng. Gee berjalan pelan-pelan. “Oh ya. Belakangan ini aku sering
lihat kamu sering ke dapur. Mengapa?” Tomi sadar Gee datang menghampiri
dirinya. Dan membayangkan gaya berjalan Geizya. “Aku… kesemsem pada kopi. Brewing coffee ternyata bangkitkan
semangatku. Gairahku seakan-akan memacu darah dalam tubuhku.” Ia menelengkan
kepala dan melirik wajah Gee di sudut matanya. “Tak terkira rasa bahagia dalam
hatiku, Gee. Mereka minum kopi buatanku.”
Aku merasakan hal yang sama pada dirimu, Tom Tom. Terima kasih. Kamu hadir ke dalam bagian Warung Ngopi.
Tomi menatap lurus ke dinding. “Aku senang bisa membuat pelanggan
seperti Flo tersenyum.” Seakan ada Flo di sana.
Flo… Mengapa di lubuk hati Gee tak menyukai nama Flo. Mengapa
nama tersebut mesti hadir di tengah mereka. Dengar nama Flo membuat Gee
mengabaikan omongan Tomi. Ia bersandar menyamping di tepi benches dan membungkuk tertarik pada apa yang sedang dibuat Tomi. Ia
menata piring. Tinggal beri sentuhan terakhir pada cemilan. Lalu bola mata Gee
yang hitam mendelik ke atas. Gee mengamati Tomi ternyata memiliki hidung yang mancung.
Tomi melirik. Sehingga mereka berembuk mata. Gee tak kuasa
menahan tatapan itu. Bayangan berpapasan di tangga itu kembali merongrong. Ia
tak mau secuil perasaan timbul. Ia mencoba beralih. Sekena matanya menyasar ke
mana. “Kamu lihat ini?” pandangannya jatuh ke dua cangkir kopi bikinan Tomi dan
meraih kopi Mocca miliknya.
“Ya.”
Gee menegakkan posisi tubuh. “Coffee bloom.”
“Apa itu?”
Tomi mikir sejenak, “O… ya, aku pernah dengar dari Allan.” Secara perlahan Tomi
membungkuk. Sikutnya menopang di benches.
“Kala musim
semi ada cherry blossom. Dunia
perkopian juga mengenal istilah mekar-mekaran. Dia disebut coffee bloom. Yah… kayak gini ini,” tunjuk Gee dengan semangat ke
atas permukaan kopi. Gelumbung-gelumbung di atas kopi hitam.
Sambil
menerawang ke atas, Gee berujar, “Ibarat hati seseorang yang berbunga,” dengan
gerakan kilat wajahnya turun ke bawah. Tatapannya mendarat di wajah Tomi. Di
saat bersamaan Tomi bergumam pelan, “Iya. Mewakili cintaku yang sedang mekar.” Gee memandang lekat-lekat, wajah yang
sedang merunduk melihat kopi...
“Hm, apa?”
“Oh, nggak kenapa-kenapa.” Tomi
mendongak.
Gee segera
beralih muka. Sekali lagi berpura-pura menanyakan yang ditangkap matanya di
ujung meja bermangkok kecil supaya Tomi tak menyadari ia telah
memperhatikannya. “Saus apa itu?”
“Coklat.”
“Sama dengan
Uki?”
Saat ini Tomi
mempraktekkan apa yang sudah pelajari semasa Uki goreng pisang dan ia jua
perhatikan Uki membuat saus coklat. Merasa belum siap dan belum waktunya ia
curahkan perasaannya terhadap Gee. Tomi membuatkan Gee pisang goreng. Inilah ia
rasa alasan yang tepat untuk membohongi Gee karena ulah Uki.
“Salah. Fried Banana ala Tomi. Aku nambahin
beberapa bahan.”
“Berani
tampil di menu kita.”
Senyum tipis
di ujung bibir Tomi. “Nggak PD.”
“Kenapa?”
“Gini Gee,
aku baru buat sekarang. Belum tahu rasanya.”
“Aku juri.” Gee
menunjukkan telunjuk ke dirinya sendiri. “Kalau aku bilang enak, masuk list Warung Ngopi, ok?”
“Jika nggak enak?”
Tomi berkacak pinggang ke arah Gee. Memandang Gee.
Gee mengikuti
gestur tubuh Tomi, dagunya terangkat, “Coba lagi dong!!!”
“Sepasang
mata di depanku,” Tomi membatin, “apa yang dia inginkan dariku?orang ini,
selalu memompa semangatku untuk terus berjuang. Aku bukan seseorang yang
hebat.”
Gee heran
pada Tomi.
“Akan
kulakukan apa yang kamu inginkan dariku, Gee. Walau terkadang targetmu melebihi
kemampuanku, diriku yang nggak percaya diri. Kamu selalu mendukungku…” ucap
Tomi dalam hati.
Tomi tatap
Gee lekat-lekat.
Huft…
Lagi-lagi Gee
menghindar. Ia menghembus nafas. Yang sempat membuatnya tersiksa menahan ketegangan tadi. “Kamu
pertimbangkan permintaanku. Cari rasa baru selain coklat. Cocok apa kagak, berikan. Biar aku
nilai!”
Tomi memotong pisang. Tusuk dengan garpu dan suap ke dalam mulut.
Berkomat-kamit kunyah di depan muka Gee. Angguk kepala tanda ia paham.
Tak tahu. Gee senang lihat anak itu makan. Bikin geregetan.
Mengasyikkan.
***
Primo, Tomi, Uki dan Livi berdiri berjejer menghadap Gee.
Mereka tengah dengar pengumuman dari Gee. Setelah tiada
pengunjung datang.
“Dua minggu
mendatang lomba KBN di Jakarta. Allan minta wakil cabang diikutkan.”
“Yah…” keluh Uki.
Tomi menoleh ke Uki. “KBN?” Tampang Uki kelihatan serius
sekali. Abaikan pertanyaan Tomi.
Livi menimpali, “Kita belum cukup persiapan, Gee.”
Uki tak menyetujui pengumuman itu. “Mana bisa
lolos jika begini caranya. Suruh ikut tapi dikasih tahu mendadak,” katanya.
“Tak apa.
Kita kan bisa menimba pengalaman.”
Tomi
menelengkan kepala ke Primo dan bertanya, “Entar, apa itu KBN?”
Walau Gee
sibuk meladeni todongan pertanyaan para barista. Gee tetap mengamati tingkah
Tomi yang kebingungan semdiri. “Kompetisi Barista Nasional, ajang ngumpul
bareng para barista. Mereka berkompetisi dalam meracik kopi se-Indonesia,”
sahut Gee.
Lomba ini
atas gagasan dari seorang pemerhati kopi yang pengen mengangkat dunia kopi di
Indonesia. Supaya orang awam lebih tahu tentang kopi daerah di samping
memamerkan keahlian barista lokal. Sehingga terbentuk tempat untuk barista
berbagi kehebatan mereka dalam meracik kopi, pengetahuan kopi dan menggambar di
atas kopi. Ajang ini baru diadakan pertama kali.
“Wooh,
keren!” seru Tomi.
“Daftar
siapa, Gee?” tanya Uki.
“Siapa lagi,
Primo,” sahut Livi.
Tomi celiguk
ke Primo.
Seperti biasa
Primo tetap tenang hadapi suara miring. “Siapa yang gantikan aku di warung?”
“Livi.”
Tomi celinguk ke Livi. Lalu menunduk.
“Pengunjung ramai, kita nggak cukup tenaga,” sanggah Livi.
Gee berujar, “Dia.”
Tomi melihat ke rekannya siapa yang di maksud Gee. Tanpa
melihat tatapan Gee. Menoleh ke kiri. Tomi heran malah mereka memandangnya. Ia
bertanya-tanya, “Kenapa sih? Apa?” kemudian menoleh ke Gee yang sedang melipat tangan seraya
memandang Tomi.
“Aku.” Telunjuk Tomi diajungkan ke mukanya sendiri. Tomi tawa
seringai, “Nggak mungkin, Gee. Aku bukan barista. Nggak bisa racik kopi.”
“Aku memantau perkembanganmu,” sambung Gee, “kamu berpotensi.
Keahlianmu, tolong diusahakan ditingkatkan terus.”
“Mulai sekarang,” tegasnya.
Tomi melotot. “Ehmm...”
“Primo, luangkan waktumu untuk latihan. Sambil ajari Tom Tom.
Allan sedang menantimu.”
“Baik. Bos nggak balik?”
“Ada hal yang ditangani di pusat.”
“Tunggu! Gimana jika di depan sibuk, kita semua di sini. Gee
kewalahan dong.”
Gee tertegun mendapat perhatian dari Tomi dan mampu
menjangkau suatu pemikiran ke sana. Apakah itu sebuah bentuk perhatian kepada
teman atau rekan kerja. Atau…
“Uki bisa sambil bantu aku.” Perkataan yang keluar ini seolah
meredam rasa kekhawatiran Tomi terhadap Gee di kala sibuk nanti.
Tomi mengajukan tangan seperti anak sekolah. “Aku saja, Gee.
Itu kan tugas utamaku.”
Gee mengalah kengototan Tomi. “Terserah
kamu deh.”
“Kenapa kasih
Primo. Bukan aku, Gee?” protes Livi.
Tomi menyela,
“Kalau kirim Bang Livi, mana mau berbagi ilmu dengan kami setelah dapat
pengalaman di kompetisi.”
“Kamu!”
“Sudahi!” Gee
melerai mereka.
“Benar, kan?”
Tomi tak
mau kalah.
Gee
meninggikan suaranya, “Tenang, guys!
Tolong deh kalian! Allan nggak
ada di tempat. Aku nggak
bisa atasin kalian kalau begini. Tolong jangan bertengkar! Kita kerja bareng di
sini. Kamu bukan pegang mesin Espresso.”
“Aku bisa
bikin kopi pake itu.”
“Kami cari
yang handal, pengalaman. Latte Art, mahir?”
“Sedikit.”
“Nggak bisa.
Kalau ada pertandingan manual brewing
Allan pasti mengirimmu, Liv.”
Livi menarik
handuk yang di samping apron. Lantai keramik jadi sasaran bantingan handuknya.
“Primo, kamu
harus siap-siap ke Jakarta. Latihan sama mereka,” pesan terakhir dari Gee
sebelum keluar dapur. Primo mengangguk.
Setelah rapat singkat bubar. Uki mendekati Tomi, “Wah, wah!”
“Apa?”
“Perhatian banget sama Gee.” Uki mengajungkan tangan seperti
Tomi. “Aku saja, Gee…”
Tomi menyikut perut Uki sehingga ia tak melanjutkan
ejekannya.
“Lantas tadi
siang gimana?”
“Apa?”
“Sudah kamu
katakan cinta,” goda Uki.
Tomi menjawab
dengan santai. “Belum.”
Uki
berteriak, “Kenapa?”
“Syuuuut...
Aku belum siap.”
“Kamu
bagaimana, Tom Tom! Kemarin sudah kubuka jalan untukmu.”
“Nanti saja
kita bicarakan. Ok.” Uki ditinggal pergi oleh Tomi.
Gee meraih tas ketika Tomi berjalan melintasi depan Gee
begitu keluar dari dapur. “Kamu tadi kenapa?”
“Hah?”
“Kenapa
mancing emosi Livi?”
Tomi tak sadar
kalau salahnya dimana. “Lagian dia bentak kamu. Nggak hargai keputusan Allan.”
“Lantas
kenapa kamu yang marah? Kamu sadar dong posisimu di mana?”
“Dia selalu
nggak puas dengan keahlian orang dan kesempatan yang dimiliki Primo. Bahkan dia
iri padaku.”
“Jangan
terpancing oleh Livi! Dengarkan aku, Tom!”
***
Esoknya Gee
bertanya pada Uki, “Dimana Livi?” Matanya menyapu seluruh daerah dapur. “Kok,
aku nggak lihat batang hidungnya?”
“Dia nggak
masuk.”
“Nggak masuk
bukan karena nggak diikutkan lomba, kan?”
“Nggak tahu,
Gee. Dia memang temperamental. Tapi bukan itu. Kayaknya dia ada masalah
keluarga.”
Tomi menguping percakapan Gee dengan Uki. Gee tak tahu jika
ada seseorang yang bingung sendiri. Sibuk mempertanyakan diri sendiri. Kenapa kalau aku sakit, Gee nggak cari aku.
Nggak tanya keadaanku? Suara kecil Tomi berkata, Ya iyalah. Kenapa dia mesti cari kamu Tom Tom? Nggak ada kepentingan.
Walaupun ada tanya kamu. Kamu jua nggak bakalan tahu. Sebab kamu sendiri nggak ada di
tempat.
Bab selanjutnya: Novel Warung Ngopi Bab 9
No comments:
Post a Comment