Wednesday 29 March 2017

Novel: Warung Ngopi Bab 8



Bab sebelumnya: Novel Warung Ngopi Bab 7


Coffee Bloom


“Kak, mana baju yang...” Gellyta menoleh, “Kakak...”
Bahu Gee menunduk lesu bagaikan padi merunduk. Matanya menatap seseorang di refleksi kaca. Tapi tak fokus.
“Woi, ibuuuu!”
Gee terperanjat. “Ogah dipanggil ibu. Kamu panggil aku Ibu atau Bu. Jangan ingatkan aku pada dia. Sebel!”
Tomi sering kali mengajak Gee bercandaan dengan memanggilnya ibu, kakak ketika ia berada di counter menyodori orderan.
“Aku harus panggil apa, Mbah, Po Po?”
Gee tersenyum kecut. Tepuk lembut ke pipi chubby adiknya. Bangkit dari bangku meja hiasnya. Melangkah pelan ke jendela. Tatap kosong di luar sana di kegelapan malam.
Gellyta menghela napas dan geleng kepala melihat keadaan kakaknya.
“Kenapa denganmu, Kak?”
“Hari ini seorang perempuan minta dibuatin Latte Art. Semakin aku memikirkan dia, aku sakit hati bila seorang perempuan di dekatnya.”
“Lantas?”
“Ngh?”
“Mengapa kakak sewot?”

***

Ritme langkahnya cepat. Terkesan buru-buru. Tomi mengayunkan tangan agak melebar. Bertepatan itu seseorang menaiki tangga. Tak dinyana, ujung jemari kiri orang itu tersentuh lembut di telapak tangan kiri Tomi.
Ngg....
Sangat singkat. Refleks, langkah mereka terhenti.
Tomi mendongak ke orang yang berdiri di dua anak dari Tomi injak sekarang. Tomi melihat sekilas orang itu ketika menuruni tangga, bahwa ia… tapi tak yakin dan ternyata benar. “Gee,” ucapnya dalam hati.
Gee menoleh ke bawah. Pandangi Tomi. Tangannya yang terpaut melepas setelah beberapa detik.
Mereka tercengang. Selama sepersekian detik.
Tidak satu kata pun keluar. Kemudian mereka melanjutkan tujuan perjalanan mereka. Mungkin berusaha menutupi. Atau pura-pura tak tahu.
Tomi menengok ke belakang. Gee terus menaiki tangga. Yah… Tomi tak tahu Gee sempat menoleh sebentar. Melihat punggung Tomi.
Gee memikirkan sesuatu. Ia berlindung di belakang meja counter. Meletakkan tasnya di sudut meja. Tiba-tiba saja memorinya memutar momen tadi.
Tadi itu... cuman nggak sengaja. Jika dia nggak sengaja, kenapa... Jantung Gee bergelora. Aaa... ku nggak sengaja menyentuh dia.
Saksi Tertinggi-lah yang menjadi saksi kebenaran mengenai keadaan sebenar mereka.
Gee menaruh tangan di dadanya, belum berhenti.
Sentuhan itu pelan, berkibas seperti tiupan angin. Sekilas, tapi efeknya terasa di ujung jari hingga mengalir sengatan mengelitik di hati mereka.
Gemuruh di dada Gee.
Degup kencang di balik kemeja putih Tomi.
Tomi mengabaikan perasaan itu sesaat yang sempat menyesakkan tenggoroknya. Lagi-lagi, sentuhan itu mengapung di benak Tomi. Kok bisa tanganku tersentuh sama Gee? Masa iya dia sengaja sentuh tanganku. Alaaa... Sudahlah. Tomi mengibaskan tangan. Seolah mengindahkan pikirannya. “Lebih baik pergi ambil kopi bubuk.”

Mereka berhasil. Sukses berat.
Mereka berakting seolah tidak terjadi apa-apa. Atau Tomi berpikir Gee tak terlalu memikirkan perkara itu dengan serius atau ia memang menganggap itu tak penting. Toh tersentuh merupakan hal biasa. Melihat Gee yang bersikap macam itu terhadap Tomi. Ia pun bertindak seolah tidak ada yang terjadi tadi siang. Mereka bekerja selayaknya hari-hari kemarin. Tak seorangpun yang memulai menyinggung. Baik Tomi ataupun Gee. Tomi pergi melayani, menyerah orderan ke dapur lalu serahkan ke Gee. Begitu sampai pulang kerja. Mungkin memang tak perlu membahasnya. Kecuali seseorang yang masih terus memikirkan walaupun itu telah terjadi beberapa jam lalu.
Kapas wajah dengan susu pembersih menempel di muka Gee. Membersihkan sisa-sisa dandanan. Tangan kirinya terhenti selepas dua tiga kali usapan. Teringat tangan yang sama ketika tertubruk di tangga. Bersentuhan saat berpapasan di tangga bisa saja terjadi. Bahkan di tangga eskalator mal, dua orang saling bersentuhan tangan terjadi di pegangan tangga yang berjalan berlawanan arah. Gee pernah melihat itu. Jadi, wajar saja. Tapi, mengapa…
Kenapa dia? Gee bicara dengan orang yang di cermin. Ia menggeleng-geleng seolah dapat menghapus ingatan di otaknya. Tangannya diperhatikan. Perasaan ini tak nyaman setelah tertubruk.
Sementara di rumah lain.
Tengah malam. Kedua tangan ditaruh di belakang kepala Tomi. Ia menggambar kejadian tadi siang di atap plafon. Ia memejamkan matanya. Ia tetap merasakan dengupan yang sama walau peristiwa itu lama berlalu.
Dini hari jam 03.00 matanya lelah, perih dan berat. Pikiran terus mengelana. Tomi bolak-balik di kasur. “Tidur. Tidur. Ayo, tidurlah Tomi! Besok kerja,” katanya, memantrai diri sendiri untuk mengenyahkan gangguan pada tidurnya.
Seakan tak memiliki kekuatan penuh untuk menyihir diri. Tomi angkat bahu dari kasur, “Kenapa kamu ada dalam pikiranku!” pekik Tomi.
“Singkirkan, singkirkan wajah Gee malam ini. Singgirkan!” Ia selayaknya bertapa, duduk bersila di kasur yang tipis tergerus waktu dan tindihan tubuhnya.

***

“Kakak, bolehkah aku pesan Cappucino?”
Di bibir Tomi terbentuk garis melengkung ke atas. “Tentu saja. Pesan gratis.” Anak laki-laki itu kira-kira seusia anak SMP. Ia tersenyum.
“Tapi aku nggak minum di sini.”
“Oh... Take out. Bisa. Kami melayani. Berapa?”
“Dua.”
Tomi menekan tombol angka di mesin penghitung. “Kamu nggak sekolah?”
Masuk siang.”
“Emm. Kamu minum bersama seseorang spesial banget?”
“Tidak, mmm... Sebenarnya iya.”
“Cieee.”
“Bukan pacar.”
“Oh?
“Aku beli untuk tanteku. Aku pengen dia nyoba di kafe ini. Dia suka minum sambil cuap-cuap.”
“Hah?”
“Dia penyiar.”
Tomi mengangguk dan tersenyum, “Terima kasih, Dik.” Lalu sobek kertas struk, strrrt. Setelah cowok remaja itu membayar. Tomi berkata, “Tunggu ya, Dik. Silakan duduk dulu.”
Pagi ini baru satu orang pembeli. Di luar hujan deras. Awan gelap membumbung tinggi menutupi seluruh bumi kota Tarakan.
Setelah Primo antar Cappucino ke pembeli. Ia bergabung dengan dua barista. Dampingan duduk di koridor panjang. Mejanya merapat ke jendela kaca. Butiran air bening menjiprat dan tinggalkan jejak di kaca. Pandangan luar kian kabur.
“Dingin-dingin pengin minuman hangat. Siapa yang bikinkan kita minuman?” sela Uki di tengah keheningan. “Yang jelas kita nggak bisa perintah ke senior,” canda Livi.
Primo angguk pelan.
“Lantas siapa?”
“Nggak bisa perintah yang tua pilih yang baru masuk,” sahut Livi  menoleh ke belakang dan diikuti Uki. Tomi sedang mengisi tisu ke dalaam wadah.
“Tom!” panggil Uki.
“Ya.”
“Order kopi plus cemilan untuk kami.”
“Siap.”
Penyiar Radio Fress berkicau akan menyetel lagu barat berjudul Covered In Rain milik John Mayer. Suaranya merdu dan lembut. Petikan gitarnya serasa hadir di ruangan tersebut. Meski para barista di koridor bersebelahan dengan ruang tengah. Musik itu mengalun-pintu sengaja dibuka-hingga ke tempat mereka berada.
Tepat. Penyiar itu sangat pintar memilih lagu. Ia mengisi lagu dari membaca kondisi cuaca sekarang. Alunan lagu itu pun mengiringi Tomi yang bertambah semangat membuat adonan. Pintu dapur dibiarkan terbuka sedikit. Tomi tak ketinggalan ingin mendengar lagu tersebut. Tak enak bila bekerja sendirian tanpa musik berdendang dan menemaninya. Sebuah lagu bisa menjadi teman terdekat ketika tenggelam dalam pekerjaan.
Campuran adonan tepung dituang ke dalam tengah-tengah teflon. Tuang sedikit. Hingga bentuk bundaran. Tunggu sisi bundar itu sampai agak kering baru Tomi balik. Empat lapisan sudah di piring. Lapisan terakhir selesai. Ia menuang saus ke atas empat pancake.
“Bikin apa?
Tomi terkejut.
“Ooh, pancake,” Gee jawab sendiri.
Pikirnya Gee tidak masuk kerja. Tomi buat adonan pancake pas-pasan. Ia sudah makan selembar pancake yang agak gosong sembari membolak-balik pancake di teflon. Jika ditilik dari sikap Gee peristiwa semalam ditanggapi hal yang biasa oleh Gee. Tiada perkara yang mencanggungkan mereka akibat kemarin. Maka, yah... Tomi bertindak wajarlah. As usual the day before. Toh sentuhan tak berarti apa-apa. Gee tak singgung, tak bahas. Gee nggak marah. Jadi, buat apa Tomi menanyakan hal itu kepada Gee. Untuk apa ia perlu menjelaskan semua. Mungkin normal saja. Peluang ini bisa menimpa kepada sesiapapun. Dan masing-masing tampak sudah saling pengertian.
“Buat barista.” Ia tertawa cengengesan. Lalu keluar beri kepada rekannya. Terdengar bagian chorus lagu milik John Meyer.
These days, with the world getting colder,
She spends more time sleeping over
Than I planned.
Setelah menaruh pancake di depan rekan kerja. Tomi beranjak pergi.
“Tom, kemana?” tanya Uki.
“Dapur.”
“Lho sini makan bareng.”
Beresin di belakang.”
Uki tak patah arang mencegah Tomi. “Pancake-mu?”
“Kalian makan aja.” Buru-buru Tomi nyelonsor ke dapur. Tomi meninggalkan mereka santap pancake buatannya dan kopi.
“Kenapa anak tuh? Nggak mau nyantai dulu bareng kita,” ujar Uki. Livi membagi-bagi empat pancake ke setiap piring kecil. “Lebih satu, aku aja.”
Tonight we’re gonna order in,
Drinking wine and watch some cnn.
It’s dark I know but then again
It’s the brightest thing I got
When I’m covered in rain
When I’m covered in rain, rain, rain, rain,
No, I am covered in rain, rain
“Bagi, Vi!”
“Udah, kalian bagi dua, Primo menengahin mereka.
Sekembali Tomi, Gee sedang meracik kopi. Dua cangkir di meja. “Sruuut...” Asap mengepul di atas kopi. Ia menunggu kedatangan Tomi. “Espresso atau Americano?
“Gee apa?”
Espresso. Kamu sama?”
Tomi mengajungkan telunjuknya, lalu dihentakkan ke kiri. “Black Coffee.
“Okey. Kubuatkan.”
Selesai meracik Black Coffee, Gee menonton Tomi membalikkan pancake, diselanya, “Kenapa hitam? Gosong? Tapi nggak cium bau gosong?”
Tomi jawab dengan senyuman terkandung makna. Ia taruh di piring kecil.
Gee merasa sesuatu yang janggal. Aroma tak asing dan dikenalnya. Gayo.
Di atas pancake disirami susu kental. Tomi belah pancake jadi dua. Ia tusuk garpu ke irisan pancake ditujukan ke mulut Gee.
Dalam keraguan Gee santap pancake buatan Tomi. “Mmm... Enak! Gayo kesukaanku. Kamu nggak makan?”
Tomi menggeleng kuat.
“Aku separuh kamu separuh,” ucap Gee. Sebelum Gee membelah sisa pancake Tomi merebut garpu dari tangan Gee. “Aku sisain untukmu, Gee.”
Pintu dapur terbuka. Primo masuk disusul Uki. Primo sempat menengok sebentar lalu ia terpaksa membalik, “Masak kita tinggalkan Livi sendiri. Ayo kembali.”
Uki berontak, “Iya, Bang. Tapi aku mau air putih. Tomi nggak ambil air untuk kita.”
“Iya… nanti. Ayo kita ngobrol!”
“Kenapa, Bang? Tomi...” Uki membantah dan terobos halangan Primo.
Tomi dan Gee menoleh. Suara hentakan pintu terdengar nyaring. Membuat mereka terenyak kecuali Primo yang telah mengetahui keberadaan Tomi dengan Gee di dalam.
“Ooh...  Kalian di sini?” ucap Uki, merangsek masuk. Primo sudah berusaha keras cegat Uki. “Makanya aku suruh nanti,” Primo pukul mundur Uki.
“Bang Primo nggak ngomong jelas sih. Aku nggak ngerti.”
Mereka yang di dapur tertawa ngikik.
“Mau masuk, masuklah!” seru Gee setengah teriak. Primo dan Uki tak mendengar. Mungkin sudah jauh dari dapur.
“Kali saja mereka… kamu… tahu, kan?”
“O…  kita nggak ada apa-apa? Kita cuman temanan.”
“Benar.”
Gee bergegas merapikan cangkir, piring dan teflon. “Tinggalkan! Biar kucuci,” sahut Tomi. Pandangannya mengikuti langkah Gee. Menuju ke tempat pencucian. Tomi berjalan di belakang Gee. “Sudah biar aku.” Tomi melihat Gee mencampurkan air sabun. Larangan Tomi tak diindahkan sama sekali.
“Aku saja.” Tomi berdiri di samping Gee. “Kamu nggak biasa nyuci.”
“Ng?”
“Tanganmu halus.”
Perkataan itu bikin Gee tersipu malu. Teringat kemarin.
“Aku pernah nyuci,” sanggah Gee, tunjuk ke sink, “banyak cucian, aku harus membantu kalian.”
“Kamu tunangan Bos. Mana bisa aku biarkan kamu lakukan hal ini. Bos tahu, aku bisa disemprot.”
“Memang kenapa? Mau aku duduk berjibaku sendiri.”
“Kamu jaga warung.”
“Warung lagi sepi.”
“Kamu jaga depan aja deh.”
Gee berusaha mempertahankan daerah tempat sink. Tak mau beranjak dari situ walau Tomi mengeser dirinya agar menjauh dari sana. “Jangan desak aku!” lengan Gee tersenggol pegangan teflon. Plentang… plentong…
 Tomi tak sampai untuk meraih sebelum jatuh sebab Gee di sampingnya. “Nah, kan, jatuhan.” Tomi menunduk mengambil teflon yang terjatuh.
Warung Ngopi kedatangan rombongan tamu. Mereka berpakaian resmi. Sebenarnya Primo tak hendak masuk kembali ke dalam. Disebabkan terdesak oleh situasi. Mau tak mau ia terobos masuk ke ruang kerjanya. Sementara Uki menangani para pengunjung dan Livi membereskan meja tempat mereka bersantai sejenak.
“Ng... Di luar banyak pengunjung,” ucap Primo kaku.
Gee menoleh ke arah suara itu.
“Biar aku cuci.” Tomi lanjut mencuci peralatan dapur. Daerah sink untuk kali ini ia berhasil menguasai.
“Ok,” jawab Gee, keluar menghadap para konsumen.
Primo melirik diam-diam ke arah Tomi. “Maaf... aku nggak bermaksud mengganggu kalian.”
“Ng...” Tomi bingung. “Aah... Itu... Bukan seperti anggapan kalian. Kami berteman doang.”
Ketika hendak berjalan, Primo berbalik lagi, “Tomi...”
Tomi mengangkat wajah, “Bang, jangan khawatir soal itu.” Tomi melihat raut Primo berubah seketika. Membuat ia tertegun sejenak.
“Tinggalkan itu. Bantu aku.”
Hah?

***

“Ngaku.” Uki menggandeng pundak Tomi. “Kamu suka sama tunangan Bos. Iya, kan?”
“Enggak.”
“Halah. Iya. Aku tahu. Kami lihat dari sorot matamu. Kamu sering deket-deket dia.”
“Heh. Aku temanan sama dia. Wajar akrab.”
“Dimatamu kamu nggak bisa boong! Kemarin makan pancake bareng. Lari dari kenyataan?”
“Aah sudahlah. Ganggu aja.” Tomi berusaha melepas dari jangkauan Uki.
“Gimana, Bang Primo?”
Tomi menoleh ke Primo. Ia menyesap kopi panas di cangkirnya. Bersandar menyilangkan kaki di tepi meja. Masih lengkap dengan pakaian kerjanya. Terbawa kenikmatan kopi dalam kesendiriannya di sana. Walaupun semua pria berkumpul dalam dapur.
“Kamu berani adu dengan Bos?”
Tomi menjauhi dari Uki dengan berpura-pura sibukkan diri rapikan peralatan dapur. “Lari kemana kamu?” Uki mendekati Tomi lagi dan merangkul lehernya dari belakang.
“Uki!!”
“Bang Primo nggak dukung kamu. Kami dukung kamu. Ayo, ngomong ke Gee, ke pujaan hatimu!”
Primo tersenyum tipis. Anak dua itu.
“Kami siapa maksudmu,” Livi nyeletuk.
“Kami berdua, Livi.”
“Aku nggak ikut.”
“Yah sudah. Aku dukung Tomi.” Uki mengeratkan rangkulan di leher Tomi. “Jangan cekik aku! Mati aku.
“Ayo jujur padaku. Baru kulepas.” Malah Uki kencangkan tangannya.
Tomi berusaha meronta-ronta. “Uki, Uki, sakit leherku. Lepaskan!”
“Jawab dulu.”
“Nggakkk.. mau.”
Livi tak betah dengar keributan mereka. “Hei! Hei! Sudah. Kerja. Cepat beresin, mau pulang apa nggak?”
Uki merenggangkan tangannya. “Huh, nggak seru Tomi.”
“Kapten, siang ini kasih Tomi yang piket. Kita pulang.”
“Apa, enak kamu, Uki?”
“Aku kasih kamu kesempatan ngomong sama Gee-mu itu,” sambil moncongkan bibirnya ke pintu.
“Terserah kalian,” jawab Primo, bersiap-siap pulang.
“Tomi, selamat berjuang!” kata Uki. Lemparkan salam hormat dua jari.
Uki cengar-cengir tinggalkan Tomi sendirian.
“Hei, Uki…” teriak Tomi.
Uki berpura tak mendengar seakan tak peduli. Ia menyampiri Gee. “Gee, Tom Tom mau ngomong sesuatu sama kamu di dalam,” kata Uki.
“Oke.”
“Si unyil ini, bisa-bisa kamu ngomong begitu?” Livi pada Uki di tangga.
“Aku cuman tolongin bikin jalan buat Tomi. Sekarang tergantung usaha Tomi.”
“Kamu hebat soal beginian. Bikin kopi malas belajar. Coba lihat Tomi! Dia lebih mahir dibanding kamu.”
“Heh, siapa yang pertama kali ragu pada kemampuan Tomi?”
Livi bungkam. “Eh eh, ngeyel kamu.”
“Bang,” Uki merangkul bahu Livi. “Hhm,” balas Livi.
“Abang diam-diam puji Tomi di belakangnya,” Uki mengerling ke Livi.
“Eng-gak.”
“Dia nggak ada di depanmu. Jujur saja sama aku, Bang. Nggak akan kukasih tahu sama Tomi.”
“Aku bicara sesuai fakta. Bukan muji.”
“Jadi Abang mau ajarin dia?”
“Belum waktunya.”

Gee mengunci pintu utama dari dalam lalu masuk ke dapur sesuai pernyataan Uki, “Ada apa, Tom?”
“Hah?”
“Kata Uki, ada yang mau kamu ngomongin?”
Uki pulang bareng Livi. Biasa ia turut membantu Tomi. “Sialan Uki. Ngerjain aku. Mampus aku, gimana nih!” gumam Tomi.
“Apa itu, Tom?” tagih Gee tak sabar.
“Ah... Itu, itu.”
Bilang nggak yah? Ah, masa bodo.
“Gee, kamu mau coba cemilan buatanku atau minum Mocca?”
Gee mengulum senyum. “Ngg?”
“Mau?” Tomi tersenyum merekah. “Ngopi?” Ia memainkan kedua alisnya naik turun.
Merasa ditantang ngopi Gee tak bisa menolak. Mmm, kalau cemilan aku pengen manis-manis.”
“Sip. Tungguin aku. Aku selesaiin kerjaanku.”
“Ok.”
Aku nggak ada persiapan. Gimana cara ngomong? Dasar Uki. Tomi meninju telapak tangan kirinya.

Sejam berlalu.
“Kamu masih lama beresin?” Gee mengintip di daun pintu.
“Iya,” teriak Tomi. “Kamu tunggu di luar. Kupanggil bila aku siap.”
Bosan menunggu lama sendirian di loteng. Gee berjalan pelan-pelan. “Oh ya. Belakangan ini aku sering lihat kamu sering ke dapur. Mengapa?” Tomi sadar Gee datang menghampiri dirinya. Dan membayangkan gaya berjalan Geizya. “Aku… kesemsem pada kopi. Brewing coffee ternyata bangkitkan semangatku. Gairahku seakan-akan memacu darah dalam tubuhku.” Ia menelengkan kepala dan melirik wajah Gee di sudut matanya. “Tak terkira rasa bahagia dalam hatiku, Gee. Mereka minum kopi buatanku.”
Aku merasakan hal yang sama pada dirimu, Tom Tom. Terima kasih. Kamu hadir ke dalam bagian Warung Ngopi.
Tomi menatap lurus ke dinding. “Aku senang bisa membuat pelanggan seperti Flo tersenyum.” Seakan ada Flo di sana.
Flo… Mengapa di lubuk hati Gee tak menyukai nama Flo. Mengapa nama tersebut mesti hadir di tengah mereka. Dengar nama Flo membuat Gee mengabaikan omongan Tomi. Ia bersandar menyamping di tepi benches dan membungkuk tertarik pada apa yang sedang dibuat Tomi. Ia menata piring. Tinggal beri sentuhan terakhir pada cemilan. Lalu bola mata Gee yang hitam mendelik ke atas. Gee mengamati Tomi ternyata memiliki hidung yang mancung.
Tomi melirik. Sehingga mereka berembuk mata. Gee tak kuasa menahan tatapan itu. Bayangan berpapasan di tangga itu kembali merongrong. Ia tak mau secuil perasaan timbul. Ia mencoba beralih. Sekena matanya menyasar ke mana. “Kamu lihat ini?” pandangannya jatuh ke dua cangkir kopi bikinan Tomi dan meraih kopi Mocca miliknya.
“Ya.”
Gee menegakkan posisi tubuh. Coffee bloom.”
“Apa itu?” Tomi mikir sejenak, “O… ya, aku pernah dengar dari Allan.” Secara perlahan Tomi membungkuk. Sikutnya menopang di benches.
“Kala musim semi ada cherry blossom. Dunia perkopian juga mengenal istilah mekar-mekaran. Dia disebut coffee bloom. Yah… kayak gini ini,” tunjuk Gee dengan semangat ke atas permukaan kopi. Gelumbung-gelumbung di atas kopi hitam.
Sambil menerawang ke atas, Gee berujar, “Ibarat hati seseorang yang berbunga,” dengan gerakan kilat wajahnya turun ke bawah. Tatapannya mendarat di wajah Tomi. Di saat bersamaan Tomi bergumam pelan, “Iya. Mewakili cintaku yang sedang mekar.” Gee memandang lekat-lekat, wajah yang sedang merunduk melihat kopi...
“Hm, apa?”
“Oh, nggak kenapa-kenapa.” Tomi mendongak.
Gee segera beralih muka. Sekali lagi berpura-pura menanyakan yang ditangkap matanya di ujung meja bermangkok kecil supaya Tomi tak menyadari ia telah memperhatikannya. “Saus apa itu?”
“Coklat.”
“Sama dengan Uki?”
Saat ini Tomi mempraktekkan apa yang sudah pelajari semasa Uki goreng pisang dan ia jua perhatikan Uki membuat saus coklat. Merasa belum siap dan belum waktunya ia curahkan perasaannya terhadap Gee. Tomi membuatkan Gee pisang goreng. Inilah ia rasa alasan yang tepat untuk membohongi Gee karena ulah Uki.
“Salah. Fried Banana ala Tomi. Aku nambahin beberapa bahan.”
“Berani tampil di menu kita.”
Senyum tipis di ujung bibir Tomi. Nggak PD.”
“Kenapa?”
“Gini Gee, aku baru buat sekarang. Belum tahu rasanya.”
“Aku juri.” Gee menunjukkan telunjuk ke dirinya sendiri. “Kalau aku bilang enak, masuk list Warung Ngopi, ok?”
“Jika nggak enak?” Tomi berkacak pinggang ke arah Gee. Memandang Gee.
Gee mengikuti gestur tubuh Tomi, dagunya terangkat, “Coba lagi dong!!!”
“Sepasang mata di depanku,” Tomi membatin, “apa yang dia inginkan dariku?orang ini, selalu memompa semangatku untuk terus berjuang. Aku bukan seseorang yang hebat.”
Gee heran pada Tomi.
“Akan kulakukan apa yang kamu inginkan dariku, Gee. Walau terkadang targetmu melebihi kemampuanku, diriku yang nggak percaya diri. Kamu selalu mendukungku…” ucap Tomi dalam hati.
Tomi tatap Gee lekat-lekat.
Huft…
Lagi-lagi Gee menghindar. Ia menghembus nafas. Yang sempat membuatnya tersiksa menahan ketegangan tadi. “Kamu pertimbangkan permintaanku. Cari rasa baru selain coklat. Cocok apa kagak, berikan. Biar aku nilai!”
Tomi memotong pisang. Tusuk dengan garpu dan suap ke dalam mulut. Berkomat-kamit kunyah di depan muka Gee. Angguk kepala tanda ia paham.
Tak tahu. Gee senang lihat anak itu makan. Bikin geregetan. Mengasyikkan.

***

Primo, Tomi, Uki dan Livi berdiri berjejer menghadap Gee. Mereka tengah dengar pengumuman dari Gee. Setelah tiada pengunjung datang.
“Dua minggu mendatang lomba KBN di Jakarta. Allan minta wakil cabang diikutkan.”
“Yah…” keluh Uki.
Tomi menoleh ke Uki. “KBN?” Tampang Uki kelihatan serius sekali. Abaikan pertanyaan Tomi.
Livi menimpali, “Kita belum cukup persiapan, Gee.”
Uki tak menyetujui pengumuman itu. “Mana bisa lolos jika begini caranya. Suruh ikut tapi dikasih tahu mendadak,” katanya.
“Tak apa. Kita kan bisa menimba pengalaman.”
Tomi menelengkan kepala ke Primo dan bertanya, “Entar, apa itu KBN?”
Walau Gee sibuk meladeni todongan pertanyaan para barista. Gee tetap mengamati tingkah Tomi yang kebingungan semdiri. “Kompetisi Barista Nasional, ajang ngumpul bareng para barista. Mereka berkompetisi dalam meracik kopi se-Indonesia,” sahut Gee.
Lomba ini atas gagasan dari seorang pemerhati kopi yang pengen mengangkat dunia kopi di Indonesia. Supaya orang awam lebih tahu tentang kopi daerah di samping memamerkan keahlian barista lokal. Sehingga terbentuk tempat untuk barista berbagi kehebatan mereka dalam meracik kopi, pengetahuan kopi dan menggambar di atas kopi. Ajang ini baru diadakan pertama kali.
“Wooh, keren!” seru Tomi.
“Daftar siapa, Gee?” tanya Uki.
“Siapa lagi, Primo,” sahut Livi.
Tomi celiguk ke Primo.
Seperti biasa Primo tetap tenang hadapi suara miring. “Siapa yang gantikan aku di warung?”
“Livi.”
Tomi celinguk ke Livi. Lalu menunduk.
“Pengunjung ramai, kita nggak cukup tenaga,” sanggah Livi.
Gee berujar, “Dia.”
Tomi melihat ke rekannya siapa yang di maksud Gee. Tanpa melihat tatapan Gee. Menoleh ke kiri. Tomi heran malah mereka memandangnya. Ia bertanya-tanya, “Kenapa sih? Apa? kemudian menoleh ke Gee yang sedang melipat tangan seraya memandang Tomi.
“Aku.” Telunjuk Tomi diajungkan ke mukanya sendiri. Tomi tawa seringai, “Nggak mungkin, Gee. Aku bukan barista. Nggak bisa racik kopi.”
“Aku memantau perkembanganmu,” sambung Gee, “kamu berpotensi. Keahlianmu, tolong diusahakan ditingkatkan terus.”
“Mulai sekarang,” tegasnya.
Tomi melotot. “Ehmm...”
“Primo, luangkan waktumu untuk latihan. Sambil ajari Tom Tom. Allan sedang menantimu.”
“Baik. Bos nggak balik?”
Ada hal yang ditangani di pusat.”
“Tunggu! Gimana jika di depan sibuk, kita semua di sini. Gee kewalahan dong.”
Gee tertegun mendapat perhatian dari Tomi dan mampu menjangkau suatu pemikiran ke sana. Apakah itu sebuah bentuk perhatian kepada teman atau rekan kerja. Atau…
“Uki bisa sambil bantu aku.” Perkataan yang keluar ini seolah meredam rasa kekhawatiran Tomi terhadap Gee di kala sibuk nanti.
Tomi mengajukan tangan seperti anak sekolah. “Aku saja, Gee. Itu kan tugas utamaku.”
Gee mengalah kengototan Tomi. “Terserah kamu deh.”
“Kenapa kasih Primo. Bukan aku, Gee?” protes Livi.
Tomi menyela, “Kalau kirim Bang Livi, mana mau berbagi ilmu dengan kami setelah dapat pengalaman di kompetisi.”
“Kamu!”
“Sudahi!” Gee melerai mereka.
“Benar, kan?” Tomi tak mau kalah.
Gee meninggikan suaranya, “Tenang, guys! Tolong deh kalian! Allan nggak ada di tempat. Aku nggak bisa atasin kalian kalau begini. Tolong jangan bertengkar! Kita kerja bareng di sini. Kamu bukan pegang mesin Espresso.”
“Aku bisa bikin kopi pake itu.”
“Kami cari yang handal, pengalaman. Latte Art, mahir?”
“Sedikit.”
Nggak bisa. Kalau ada pertandingan manual brewing Allan pasti mengirimmu, Liv.”
Livi menarik handuk yang di samping apron. Lantai keramik jadi sasaran bantingan handuknya.
“Primo, kamu harus siap-siap ke Jakarta. Latihan sama mereka,” pesan terakhir dari Gee sebelum keluar dapur. Primo mengangguk.
Setelah rapat singkat bubar. Uki mendekati Tomi, “Wah, wah!”
“Apa?”
“Perhatian banget sama Gee.” Uki mengajungkan tangan seperti Tomi. “Aku saja, Gee…”
Tomi menyikut perut Uki sehingga ia tak melanjutkan ejekannya.
“Lantas tadi siang gimana?”
“Apa?”
“Sudah kamu katakan cinta,” goda Uki.
Tomi menjawab dengan santai. “Belum.”
Uki berteriak, “Kenapa?”
“Syuuuut... Aku belum siap.”
“Kamu bagaimana, Tom Tom! Kemarin sudah kubuka jalan untukmu.”
“Nanti saja kita bicarakan. Ok.” Uki ditinggal pergi oleh Tomi.
Gee meraih tas ketika Tomi berjalan melintasi depan Gee begitu keluar dari dapur. “Kamu tadi kenapa?”
“Hah?”
“Kenapa mancing emosi Livi?”
Tomi tak sadar kalau salahnya dimana. “Lagian dia bentak kamu. Nggak hargai keputusan Allan.”
“Lantas kenapa kamu yang marah? Kamu sadar dong posisimu di mana?”
“Dia selalu nggak puas dengan keahlian orang dan kesempatan yang dimiliki Primo. Bahkan dia iri padaku.”
“Jangan terpancing oleh Livi! Dengarkan aku, Tom!”

***

Esoknya Gee bertanya pada Uki, “Dimana Livi?” Matanya menyapu seluruh daerah dapur. “Kok, aku nggak lihat batang hidungnya?”
“Dia nggak masuk.”
“Nggak masuk bukan karena nggak diikutkan lomba, kan?”
“Nggak tahu, Gee. Dia memang temperamental. Tapi bukan itu. Kayaknya dia ada masalah keluarga.”
Tomi menguping percakapan Gee dengan Uki. Gee tak tahu jika ada seseorang yang bingung sendiri. Sibuk mempertanyakan diri sendiri. Kenapa kalau aku sakit, Gee nggak cari aku. Nggak tanya keadaanku? Suara kecil Tomi berkata, Ya iyalah. Kenapa dia mesti cari kamu Tom Tom? Nggak ada kepentingan. Walaupun ada tanya kamu. Kamu jua nggak bakalan tahu. Sebab kamu sendiri nggak ada di tempat.




Bab selanjutnya: Novel Warung Ngopi Bab 9



No comments:

Post a Comment