Sunday 16 April 2017

Novel: Warung Ngopi Bab 9


Bab sebelumnya: Novel Warung Ngopi Bab 8


Kopi Adalah Manis


Gambar. Coret. Gambar. Coret-coret lagi. Tomi mencakar doodle art di stick notes-nya.
Warung Ngopi dibuka sejam lalu. Sela waktu senggang ia duduk di salah satu meja dekat counter sekedar menumpahkan ide yang nangkring di kepala ke bentuk sketsa.
Gee mendatangi Tomi, “Tom?”
“Ngg,” jawab Tomi, menunduk ke atas stick notes.
“Aku mau minta tolong?”
“Katakan.”
“Temanin aku. Mau?”
Tomi tengah asyik lakukan oret-oretan di lembar berikut, berujar, “Kemana?”
“Ke pesta?”
Ia berhenti oret-oret dan mendongak. “Pesta apa? Siapa?”
“Temanku married. Harus bawa patner cowok. Kamu tahu kan Allan nggak ada.”
“O... Kapan?” tanyanya, simpan stick note ke pocket apron.
“Minggu ini. Bisa?”
Tanpa berpikir panjang lalu mengatakan, “Bisa, bisa,” seraya menggangguk.
Gee berhati-hati buka suara. “Ehm, pakaianmu... Harus rapi. Masalahnya dress code formal.”
“Apa? Dress code?”
“Pakaian yang wajib dipakai. Formal.”
“Formal? Ada pula acara begitu?”
“Iya, atas formal bawahnya sepatu sneakers. Pengantin cowok pakai sneakers. Jadi teman cowok atau pacar temannya wajib pakai sneakers.”
“Kayak gimana tuh, Gee? Aku nggak ngerti?” Tomi garuk kepala.
“Cukup satu macam untuk kamu tampil formal. Pakai dasi!”
“Ohh ho ho. Gampang! Nih,” tunjuk Tomi ke dasi hitam yang ia kenakan.
Gee melengus. “Jangan dong!” bentak Gee.
Tomi kaget.
“Maksudku...” Gee tak mau Tomi tampil dengan kesan biasa bila di sampingnya. Ia berpikir sejenak. Alasan apa yang harus ia katakan agar Tomi tak tersinggung, “...pilih bermotif.”
“Aku nggak punya dasi selain...” Tomi mendongak kepala ke atas, “dasi sekolah.”
Gee tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Iya, cobalah. Kalau PD.”
“Tenang Gee. Aku ada. Aku pergi pinjam sama tetanggaku. Dia sering ke gereja. Singer.”

***

Foundation untuk menyamarkan noda gelap pada wajah dan kantung mata Gee. Lalu bubuhi bedak. Aplikasikan maskara supaya memberi volume pada matanya. Di depan kaca meja hias, sentuhan terakhirnya Gee mengoles lisptik warna merah bata. Kemudian semprotkan eau parfumee vaforisateur aroma yang lembut. Wangi Green Tea. Sisi kemolekan Gee tambah terkuak. Ia terlihat anggun, elegan dengan lace dress warna broken white dipermanis dengan ban pinggang beruntai mutiara. Rambutnya di gelung.
Bersiap jemput Tomi.
Gee melipat tangan. Memikirkan sesuatu. Sambil memainkan jemari di lengan kiri.
“Dasinya lebar banget!”
“Lepas! Ganti dasimu.” Tomi membuka kembali dasi yang Gee tak tahu berapa lama dibutuhkan Tomi mengikatnya. Ia sampai puncak kepasrahan oleh karena tak berhasil mengikat hingga layak disebut dasi. Lalu ia pun menyambangi ke rumah tetangga agar mengikatkan dasi untuknya. Dan kini hitungan menit ia menyuruh Tomi melepas dasinya.
“Kamu bukan bapak-bapak. Mana cocok pakai beginian.”
Gee mengeluarkan sesuatu dari clutch.
“Apa itu?”
“Sini, perhatikan.” Gee melipat-lipat kain katun persegi tiga menjadi persegi panjang.
“Model apa ini? Kenapa nggak sama?”
Gee berjinjit. Ia berhasil mengalungkan scraf itu ke leher Tomi. “Kenapa harus sama? Ini juga dasi.”
Tomi mengangkat dagu. “Mirip-mirip...”
Kemudian Gee naikkan kerah kemeja putih Tomi. Pegang kedua ujung scraf lalu disimpul, tarik agak kencang pas di bawah leher Tomi, ambil ujung pertama yang sebelah kiri jadi di sebelah kanan disimpul sekali lagi. Lalu tarik.
“Trala... dasi dari inspirasi scarf yang dipakai chef. Scraf diaplikasikan sebagai dasi.”
“Beli dimana?”
“Aku desain dewe,” ucapnya.
“Gee?” Tomi tawa terbahak-bahak, kagum, “Wah... keren.”
Gee lipat kerah kemeja Tomi dan benahi scraf itu supaya nampak rapi. “Nah... kan, bagus. Sekalian kamu kujadikan model promosi dasi buatanku. Hehehe.” Gee menyentuh ujung dasi tersebut. Tersenyum bangga.
“Hmm. Pantas untukmu. Aku pintar memilih, bukan?”
“Huft...muji diri sendiri.”
“Abis kamu nggak puji aku! Ini datang dari Surabaya. Adikku membawakannya.”
“Aku harus berkata.. WOW.”
Garis melengkung ke atas di bibir Gee.
Scraf  motif garis diagonal dengan warna putih dan coklat muda selang seling menjadi dasi ala chef. Tangan Gee mengibas baju Tomi seolah-olah menyingkirkan debu. Ia puas melihat tampilan Tomi. Atasan putih, celana panjang warna coklat dan sneakers hitam. Perasaan takjub tercungkil di batinnya.
Tomi mantengin kaca spion mobil, “Lelaki di kaca ini gagah banget?”
Gee melihat punggung Tomi, nyinyir di belakang Tomi. Lalu ia berjalan memutar ke pengemudi mobil.
Satu hal kecil mengganggu Gee sepanjang mengendarai mobil. Tentu saja Tomi tak menyadari itu.
Tomi berjalan mendampingi Gee masuk ke gedung. “Temanmu nanti anggap aku pacarmu, gimana?” Tomi raba rambutnya di telapak tangan. Alisnya menukik tajam.
Gee melirik Tomi. Haiishh... Rambut nggak matching deh. Aku nggak suka.
“Ah... Nggak. Mereka tahu kok. Bilang aja kamu temanku. Aku butuh patner.” Gee berusaha bersikap wajar. Dan berucap dengan santai, “Toh kita berteman.”
Oh gitu.
“Jangan ambil pusing! Okey.”
“Ok.”

***

Tidak banyak yang dibicarakan antara Tomi dan Gee semasa menyantap makanan. Setelah selesai makan. Gee melihat teman sekolahnya berkumpul di pojok ruangan. Ia meminta kepada Tomi kalau ia ingin menyampirin temannya untuk menyapa dan nimbrung bareng. Dengan lapang dada Tomi memberikan waktu kepada Gee.
“Siapa cowok bersamamu, Gee? Pacar barumu?” tanya Wanto kala melihat Gee mendatangi mereka.
“Kamu putus dengan Allan?” sergap Kimie, sahabat Gee.
Belum dijawab oleh Gee. Disambar pertanyaan berikut. “Kita nggak tahu.”
“Apa? Gee, kamu putus? Kami nggak tahu,” ujar Retha, mencondongkan badannya semacam untuk memastikan kebenaran isu itu.
Cowok di sebelah Gee menimpali, “Statusmu single nggak beritahu. Aku masuk dalam daftarmu, boleh nggak?” Matanya menggoda Gee.
Gee mengibas tangannya ke atas, “Hei, hei. Sembarang!”
“Wah... Gee, daya pesonamu level puncak. Cowok-cowok pada antri kamu begitu tahu kamu kosong.”
“Hahahaha,” tawa Gee. “Dia temanku. Kalian tahu kok, Retha, Kimie. Teman sekolah SMP?”
Retha mempunyai rambut keriting. Senyumnya manis. Kulitnya putih. Kimie paling tinggi di antara mereka bertiga. Rambut pendek, pipinya tembem dan bermata sipit.
“Mana dia? Aku nggak lihat?” Retha tolah-toleh mencari pasangan Gee.
Gee menoleh ke belakang. “Iya ya, kemana dia? Dia di meja situ,” ia memanjangkan lehernya.
“Sudah nanti dia cari kamu kok,” saran Kimie.
“Gee, dengar gosip kamu buka kafe?” tanya teman Gee yang lain.
“Bukan gosip. Sudah berjalan.” potong Retha.
“Hihi. Tunanganku yang buka. Kalian datang yah! Kami jual minuman kopi.”
“Pioner kafe?” sahut Wanto.
“Iya, soalnya di sini cuman es, jus saja.”
Gee berseru, “Nah tuh dia, tempat kami khusus kopi.”
“Promosi!”
“Eh beneran. Kopi lokal lho. Buat peminum kopi datang ke Warung Ngopi!”
“Nggak rambah jus, Gee?”
“Nanti lihat prospek kopi gimana dulu. Sebab kopi adalah motto kami.”
Gee bingung mencari Tomi. Ia memang lama meninggalkan Tomi sendirian. Gee tak menemukan Tomi di sembarang tempat. Dikeluarkan handphone dari tas. Menempelkan ke telinga. “Kamu dimana, Tom?” tanya Gee cemas.
“Rumah.”
“Apa?” Gee takut ia salah dengar, “Kamu udah di rumah. Nggak beritahu aku?”
“Aku lihat kamu asyik dengan temanmu.”
“Kamu sms napa?”
“Aku lupa,” Tomi asal jawab.
Gee mendengus.
“Gee...”
“Ngg?”
“Aku ngantuk.”
Tomi mengelus permukaan dasi pemberian Gee. Lembut. Kainnya halus. Seperti barang mahal. Tomi suka hadiah itu. Lehernya dilingkarkan dasi pertama kali oleh seorang perempuan.

***

Lewat pantulan cermin adik perempuan Gee terbaring pulas. Beralih Gee memandang wajahnya, melengus panjang. Lalu merangkak naik ke tempat tidur. Terdengar suara keluhan, “Kak…”
Gee melepaskan lelah di atas spring bed. “Hmm.”
Gellyta bolak-balik badan. “Kak...”
Gee menoleh ke adiknya. “Kamu sudah tidur apa belum sih?”
“Kakak berisik! Ganggu aku tidur.”
Sorry,” bisiknya, “Aku lagi bingung, dek!”
Gellyta memiringkan badan dengan mata setengah tertutup, mengoceh, “Nyesel nginap di kamarmu!”
Gantian Gee pula mengesampingkan badan hingga mereka saling berhadapan. “Kamu boleh kembali ke kamarmu.”
“Ah... Aku ngantuk berat, Kak, please...!
Gee mendaratkan tangan ke atas pinggang Gelllyta. “Dek!”
Gellyta memberengut, “Aduh, Kak… jangan ajak ngobrol deh!” Ia memindahkan tangan Gee.
“Bantuin Kakak dong! Dia tega sekali ninggalin aku.”
“Apa?” mata Gellyta terbuka lebar. Seketika Gellyta segar kembali oleh sebab ucapan kakaknya yang membuat ia terbangun. “Cowok macam apa? Nggak gentlemen!”
Gee memposisikan badan ke semula. “Kenapa dia yah? Bahkan aku tanya kenapa, dia nggak kasih penjelasan atau paling nggak beralasan ini itu kek,” gerutu Gee.
“Kalau gitu mengapa mikirin dia?”
Gee bungkam.
“Kenapa nggak tanggapi pertanyaanku? Katamu mau curhat.”
Sorry, dek.” Gee hempaskan kedua punggung tangannya, "Aku nggak habis pikir kenapa dia marah.”
“Lalu Kakak ngapain sih sampai dia marah?”
“Nggak ada. Aku.. Aku... lebih banyak ngobrol dengan teman cewek.”
“Hmm, tuh kan, Maybe he is jealous with you.”
Jealous. Not, kenapa cemburu?” Gee menoleh ke Gellyta, “Aku bukan pacar dia, Gel.”
“Kakak keasyikan bareng teman jadi dia ngerasa tersisih olehmu,” tangan Gellyta taruh di pundak kakaknya, tepuk-tepuk pelan, “mungkin dia nggak suka. Cabut.”
Gee meraih guling nganggur dan memeluknya. Ia menatap ke atas bidang luas dipoles cat putih.
“Cowok tuh nggak suka kalau temannya ngobrol sama orang lain entah itu teman cewekmu, atau cowok.”
“Sebegitukah dia?”
Gellyta memandang sisi kiri wajah cantik kakaknya. Itu tanda dia menyukaimu.

***

Sepanjang hari Gee memandang ke Tomi. Tak habis pikir mengapa tingkah Tomi seperti ini terhadapnya. Ia mengalah sama temannya yang tak ngubris ia seharian. Tomi bicara seperlunya saja. Sepatah kata. Tidak senyum pada Gee pada pagi hari ketika Gee turun kerja. Tidak singgung masalah kemarin malam soal ia kabur. Gee merasa perlu minta penjelasan dari Tomi. Apa dan dimana kesalahan ia?
Baru mengenali satu sifat Tomi yang terkuak. Marah bisa berhari-hari. Ternyata bukan hanya kaum hawa. Cowok pun berlaku. Unik. Gee telah meminta maaf bila ia berlaku salah namun Tomi belum mau memaafkan Gee. Nyatanya di tempat kerja, mereka tak seperti biasanya, kaku. Tomi lebih banyak berdiam diri. Kalau ada perlu baru ia buka mulut ngomong orderan pelanggan. Atau dengan bantuan. Meminjam mulut Uki.
Bila papasan dengan Tomi, Gee bingung sampai kapan cowok ini mengakhiri perang dingin dan mulai kapan biaa diajak bicara seperti sediakala. “Tom...,” Gee mengeluh sendiri. “Aku bingung sikapmu. Seharian acuh tak acuh kepadaku. Beberapa hari bersikap dingin kepadaku.”
Dilihat kesibukan Tomi berkurang dan tiada orang di sisinya. Gee menyempatkan waktu bertegur dengan Tomi. “Tom, kamu masih marah padaku? Nggak afdol dong kalau kamu marah aku.”
Ia perlu mengetahui kesalahannya dari Tomi.
“Tom,” panggil Gee.
Tomi tak menyahut.
“Tom Tom...!”
“Yang duluan siapa?”
Gee tertegun.
“Beri aku alasanmu?”
“Siapa yang cuekin aku sendirian, bengong sendirian?” Tomi menunduk dan berkata pelan, “Aku sulit berbaur dengan teman-temanmu.”
Gee menatap ke atas. Mencari wajah Tomi yang tertunduk sepertinya ia menjauhi tatapan dari Gee. Tomi benar. Malam itu ia sibuk ngobrol dengan temannya hingga Tomi terlupakan. “Maafkan aku. Aku salah. Abaikan dirimu. I am sorry, Tom!”
Namun tak sepenuh dirinya bersalah, kan? Tomi tak memberitahukan kepada Gee kalau Tomi pulang lebih cepat dan meninggalkan Gee sendirian. Bukankah mereka datang ke acara bersamaan. Pulang mesti bersama. “Kamu nggak pamit sama aku kalau kamu pulang duluan?”
Gee melipat tangan. “Bahkan tinggalin aku sendirian?” sungutnya.
Banyak cowok di sampingmu. Aku rasa kamu tetap aman dengan mereka.
“Kamu, sejak sekolah begitu.”
Gee terkesiap.
Namun Tomi tak enak hati. Gee sudah minta maaf padanya. Hati Tomi pun luluh, “Aku bersalah padamu. Aku nggak seharusnya...”
Gee menahan ucapan Tomi dengan mengajukan tangan di depannya. “Aku ngerti kok. Tak perlu kamu jelasin. Aku lupa keberadaanmu karena teman-temanku.”

***

Sikutnya di atas meja. Kepala dimiringkan. Handphone menempel di telinga Gee. “Kalian dimana?”
“Toleh ke kanan dong.”
Gee meletakkan handphone. Senyumnya mengembang karena kemunculan Retha dan Kimie. Retha berlari kecil, “Hai...” Retha sama tinggi dengan Gee. Kalau Kimie agak tinggi. Rambutnya belah tengah. Ibu satu anak ini badannya bongsor.
Gee merangkul kedua sahabatnya. Mumpung sahabat Gee di sini-menghadiri undangan pesta pernikahan-ia mengundang mereka ngopi bareng sebelum balik ke Surabaya. “Anakmu nggak bawa?” tanya Gee menghempaskan tubuh di bangku.
“Kutitip di tempat ibuku. Me time.”
Ketiganya tergelak tawa.
Suasana di hot spot hari ini beda. Gee dikelilingi sahabat lama. Tomi mengenal mereka. “Mau pesan apa?” tanya Tomi setelah berbasi-basi tentang kabar mereka terkini.
Retha memulai mesan. “Aku... coba kopi yang belum pernah kuminum, ah... Americano.”
Gee belum buka mulut. Tomi menulis di kertas seraya bercuap, “Moccacino. Coklat dan susu lebih dominan.”
Gee senyum-senyum. Ia tahu pertanyaan itu ditujukan kepada siapa. Dia memahamiku.
“Kimie?” tawar Gee.
“Aku gak minum kopi.”
Seusai Tomi mendengar penolakan Kimie. Ia melontarkan pendapatnya, “Kopi memang hitam dan pahit. Tapi terkadang kopi terasa manis bila duduk bareng dan minum bersama teman.” Secara tak sadar dengan gerakan lembut Gee bertopang dagu memperhatikan Tomi. “Aku anjurkan kopi yang lebih banyak susu. Kopi dibuat lebih ringan. Coba ya?”
“Yakin? Buat yang enak!” tegas Kimie pada Tomi.
“Baik.”
“Mmm... Aku lapar. Kim, kamu mau...”
Sebelum Retha selesai bicara Kimie sudah tahu apa yang diutarakan Retha, “Enggak,” tangannya melambai.
“Gee? Nggak makan?” tawar Tomi. Ia tahu siang ini Gee belum mengasup makanan ke dalam tubuhnya.
“Kayaknya enggak.”
Tomi melongos berat. Namun ia tak mau terlihat begitu kentara di depan teman Gee. Mau saja ia mengomeli Gee tapi tak mungkin bukan. Tiba-tiba marah pada Gee dan beri perhatian kepadanya. Apa kata sahabat Gee? Mereka bisa menilai arti maksud dari Tomi bila ia melakukan hal itu. Insting perempuan tak bisa dibohongi. Jadi, Tomi mengurungkan niat itu. Jikalau Gee sendirian, bolehlah ia menegur Gee. Tomi menunggu. Siapa tahu Gee berubah pikiran. Sengaja ia berlama-lama menulis pesanan kayak siput berjalan. Sambil ia memikirkan apa perlu ia mengulang menawari Gee makan malam?
Gee mendongak ke atas, “Mmm... coba pancake buatanmu kasih mereka coba yah. You’re must try it! Porsinya aja lebihin dikit.”
Ia senang. Lega. Tomi senyum kepada Gee dan Retha. Terakhir sama Kimie. Melayangkan senyum kepadanya. Namun yang bersangkutan tak memperhatikan Tomi. Melihat ke arah ke dua temannya. “OK. Ditunggu.”
“Dia nampak gagah sekarang? Aku pangling. Tinggi lagi. Hhm...”
Gee tak komentar. Kimie mendengus, “Iih. Gak usah ngebahas dia deh. Tuker topik lain.”
“Kenapa sih kamu pesimistis sama dia?” tanggap Retha.
“Dari dulu dia klemak-klemek. Hhm, kalau aku memilih. Aku gak bakalan pilih dia jadi pasanganku. Enggak mau dapat suami model dia.”
Gee memandang Tomi di kejauhan sana. Sekarang dia enggak kok. Walaupun ada, sedikit.
“Kira-kira gimana yah kalau aku pdkt sama dia.”     
Gee menyela, “Retha, kamu kan sudah punya pacar.”
“Putus. Aku hanya belum kasih tahu kamu.”
“Katamu mau cari orang luar kota,” sahut Gee lagi.

Gee berkata kepada sahabat dekatnya, “Kalau mau jadi pacarku dan incar aku yah siap-siap saja ikut aku, wajib baca buku. Aku bakalan jatuh cinta pada orang yang menyukai baca buku.” Mereka membahas tipe cowok bila seandainya disuruh memilih tipe seorang pria idaman seperti apa. Apa yang diinginkan mereka dan tipe kayak apa. Gee kebagian menjawab ketika dilempari pertanyaan dari temannya dan di saat Tomi mengantar coffee dan pancake.
“Wajahnya bagaimana?”
“Kalau dia miskin nggak apa apa asal dia ganteng. Titik,” ujar Gee, melirik ke wajah Tomi sekilas yang sedang menyajikan minuman untuk mereka.
“Untung kamu dapat Allan sekarang. Ganteng dan kaya.”
“Yah. Tepat sekali saudaraku.”
Disambut tawa sahabat Gee.
Sebagai tuan rumah Gee mengantar sahabatnya ke lantai bawah. Retha mengaitkan tangan ke pinggang Gee, “Aku menyaksikan binar cinta di matamu.”
Deg.
Bagai disambar petir.
“Sejak tadi kuperhatikan kamu selalu menatapnya. Gee, kamu kembali ke masa pubermu. Benar tidak?”
Gee tergelak lepas, renyah.
“Tomi.. kamu lain kali ajak join ber-hang out dengan kami. OK.”
Gee dorong Retha dengan kalem, “Masuk ke mobil.” Kimie telah menunggu di dalam mobil. Tapi Retha mencoba bertahan. “Aku tahu kamu sering mengajak ngobrol sama Tomi. Isn't it? Zaman sekolah. Kalau kamu nggak pernah ngomong. Matamu yang memberitahuku. Kamu selalu berinisiatif mendekatinya kala dia sendirian.”
Kening Gee berkerut. “Masak sih?” timpal Gee.
“Nah, lo nggak nyadar, kan.”
“Aku nggak tahu itu. Waktu itu cuman obrolan temanan saja. Aku kan bergaul siapa saja.”
“Iya, bahkan sekalipun ia bukan cowok yang menarik saat itu.”
Gee terpaku. Retha bisa menangkap sesuatu di wajahnya. “Sekarang nggak berubah.”
“Hati-hati lho, say! Lubang di depan mata.” ingat Retha.
Tiga sahabat itu melambaikan tangan.
Retha... apakah benar apa yang kamu katakan?

***

Sepulang dari Jakarta, Primo disambut anak-anak Warung Ngopi. Kapten mereka hanya bersikap biasa. Cuman tersenyum sungging menerima perlakuan penyambutan pemecahan balon. Dikira mereka Primo tak menyukai semua ide kreatif mereka. Tapi memang asli sikap Primo yang tak suka hal-hal berlebihan. Di samping itu, mungkin ia sedang bersedih.
Gee beri kata-kata penyemangat pada Primo. “Kalah tak apa-apa, Primo. Kamu bisa ajarin ke teman-temanmu apa yang kamu petik selama di kompetisi.”
“Iya, Kapten.”
“Nggak masalah kita kalah. Ayo kita berusaha lagi!” kata Tomi.
“Aku pikir pengalamanku cukup lumayan ternyata masih jauh dibanding mereka. Aku kalah di desain gambar. Mereka terus berinovasi. Sedang aku... Style-ku itu-itu saja. Kita kalah di motif.” Mungkin Allan sedang memberitahukan kepadaku.
“Lho Bos nggak barengan pulang?” tanya Tomi.
“Allan ada urusan bisnis. Aku disuruh pulang duluan. Ini, kopi titipan Allan habis keliling daerah.”
“Yuk, kita rayakan kekalahan kita.”
“Mana ada orang kalah dirayakan,” cetus Livi pada Tomi.
Uki berseru, “Kita rayakan Primo. Mari minum kopi!!!”

***

“Ah...issh. Ergghh... Aduh duh sakitnya.” Gee naik tangga pincang-pincang dan mengerang kesakitan di angkel kaki. Memaksakan diri naik tangga satu persatu. Gee meringis, “Aduh...”
“Kenapa, Gee?” tanya Tomi dari atas tangga. Gee berhenti di bordes duduk di situ. “Terkilir.”
Buru-buru Tomi turun tangga. Tomi pegang tangan Gee memapahnya naik tangga, “Kok bisa? Gimana kamu jatuh? Kenapa nggak panggil aku?”
“Aku asyik BBM-an. Kupikir nggak ada anak tangga. Tahu-tahu masih ada. Sakit betul, Tom...” Gee meringis kesakitan. Ia hampir menangis. Tomi menaruh iba pada Gee. Aduh.. gimana, harus bagaimana aku?
“Kamu bisa nggak?”
“Bisa. Pelan-pelan.”
Tomi mengutarakan izin kepada teman wanitanya, sebelum ia meradang, “Sini aku gendong.”
“Apa? Ah... enggak usah. Aku bisa jalan.”
“Jangan bebal!”
Gee berhenti bicara. “Kamu jangan sok kuat!” Di hatinya ia ingin seseorang yang bisa membopongnya, namun karena pilihan yang ada sekarang jatuh pada Tomi seorang... Ia mikir ulang dan berpura tak setuju sama pendapat Tomi. “Kita berdua bisa jatuh.”
“Kamu jangan nilai orang dari fisik! Kurus begini aku kuat, tahukah?”
Tiba-tiba tubuh Gee terombang dan berada di bopongan tangan Tomi. Tomi tak bisa berpangku tangan dan cuma bengong melihat Gee menahan perih.
“Apa kamu bisa?”
“Bisa nggak bisa, harus!” Gee melihat usaha keras di wajah Tomi yang menyungging bibir karena beban berat badannya.
“Kamu nggak usah banyak omong deh. Tambah beraaat...”
Gee melirik Tomi di ekor matanya.
Beberapa anak tangga Tomi lalui. Tak banyak rintangan. Setelah itu ia mulai berasa hawa panas menjalar di wajah. Ditambah...
Gee melingkarkan tangan ke leher Tomi. Pandangannya tertuju ke pipi kiri Tomi. Dari tadi. Cukup lama ia memandang.
Tomi sadar, wajahnya tambah panas dan beban berat Gee lebih terasa. Tumpuan lutut Tomi terasa berat. Namun dengan tekad kuat ia memacu dirinya, “Sebentar lagi nyampai...!!!” Ucapan motivasi itu berulang terus.
Antara muka Tomi dan Gee jaraknya tipis. Gee mengendus sesuatu di badan Tomo, “Kamu bau.”
“Bau... !!! Aduh, maaf!”
“Bau kopi.” Wangi kopi melekat di baju Tomi terhirup ke hidung Gee.
Tomi bernapas lega. “Bukan bau badan?”
“Campur. Aku suka bau kopi.
“Aku tadi goreng kopi.” Perjalanan berat itu nyaris sampai di gerai kopi.
Kapan kamu roasted untukku, grinded and brewing dari tanganmu?”
Tomi tahu maksud Gee. Bahasa Inggris ia tak ngerti tapi bahasa Inggris dalam percaturan kopi ia sangat familiar. “Gee...” Tomi sedikit menelengkan kepala. “Mau?”
Kepala Gee diangguk kuat sampai ketuk-ketuk bahu kiri Tomi. Mata Tomi berbinar dengan senyum manis merekah. Sayang, Gee tak dapat melihat jelas dari samping.
“Kalau kamu pengen aku akan buatin untukmu. Espresso atau French Press?”
“Tergantung mood-ku nanti.”
“Ooookey...”

“Hufh... Berat sekali kamu, Gee. Turuni beratmu dong! Kamu ke rumahku. Turun naik turun naik,” Tomi seraya gerakkan mukannya naik ke atas dan turun, “tangga bukit di rumahku. Capek. Supaya aku gendong kamu nggak encok.”
Gee tertawa lepas. Lupa seketika rasa sakit di kaki.
“Lha aku nggak nyuruh kamu gendong.”
“Aku kasihan sama kamu, Gee.”
Di pojok kanan gerai Tomi menaruh Gee di sofa panjang yang empuk. Saat ingin merebahkan punggung Gee. Entah bagaimana sikut kiri Tomi kehilangan kekuatan menahan beban berat badan Gee atau kram karena kecapekan membopong tubuh Gee.
Argghhh...
*Apa yang telah terjadi pada mereka?
Gee menoleh dan matanya terpejam rapat. Ia duluan antisipasi kalau wajah Tomi mendadak menimpa ke wajahnya. Tomi hampir menindih tubuh Gee jika saja Gee tak menahan bahu Tomi dengan tangannya.
Untung dia bisa menahan.
Deg Deg… Dug Dug… Deg Deg…
Pelan-pelan Gee membuka matanya sejurus berpaling ke depan. Pemilik sepasang mata sipit itu sedang menatapnya.
Tomi bergegas tegakkan badan dan garuk-garuk jidatnya. Keningnya berkerut. Cepat-cepat ia berkata, intonasinya nggak jelas. “Aku telepon tukang urut ke sini.” Gee tak menangkap jelas apa yang diucap Tomi. Tahu-tahu ia… menjauhkan diri supaya Gee tak melihat wajahnya memerah. Kegugupannya. Keringatnya yang mendadak mengalir deras. Ia tak mampu mengontrol semua perasaan yang berkecamuk di hati.
Gara-gara menatap wajah Gee sesingkat dan sedekat itu.
Gee menghembus nafas panjang, “Huft…” Setelah begitu lama ia menahan nafas karena ketegangan tadi. Gee membetulkan posisi duduk agar ia merasa nyaman dan mengatur nafas. Kemudian ia mengambil smartphone-nya.
Ketika Gee menelepon seseorang namun yang bersangkutan tak mengangkat. Ia berhenti sejenak untuk tak menelepon dan tiba-tiba smartphone-nya berdering. Seakan ia bertelepati dengan Gee. Tapi bukan ia yang dicari Gee.
“Hai, dimana sekarang?”
Gee mengintip Tomi lewat dinding kaca. Namun tak menjangkau. Mudahan masih di luar gerai. “Aku di rumahmu.” Gee mengaduh nyeri.
“Kenapa?”
“Aku terjatuh.”
“Gely?”
“Aku nggak tahu dia kemana. Kuhubungi nggak diangkat.”
“Aku telepon cari orang kesana. Temanimu.”
“Lan, Aku…,” Gee terbata-bata. “Aku bisa.”
Any somebody with you?
Gee tak dapat berkata banyak. Tenggorokannya tercekat. “Ada. Tomi di sini mengurus aku. Dia panggil tukang urut ke sini.”
“I know,” jawab Allan lirih. “Aku akan segera pulang.”
Entah mengapa di saat Gee ketimpa masalah ia senang ditelepon Allan. Namun hari ini ia rada tak butuh pertolongan Allan. Begitupun ketika ia mendengar kabar bahwa Allan akan segera pulang. Bukankah itu hari yang seharusnya menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu. Dan mengapa hati tercubit tak senang?
Allan tak bisa bercakap lama di telepon. Ia sedang menggelar pertemuan dengan koneksi di Jakarta. Ia meluangkan waktu sebentar untuk menanyakan keadaan Gee sekarang.



Bab selanjutnya: 



No comments:

Post a Comment