Tuesday 20 June 2017

Novel: Warung Ngopi Bab 11



Bab sebelumnya: 


Keyakinan Tomi



Tomi memandang seseorang di depan minimarket. Ia berani menepuk pundaknya karena ia yakin mengenal orang tersebut. “Hei, Allan!”
Allan terperanjat. Bukan masalah siapa yang menepuk tiba-tiba melainkan orang itu adalah Tomi, “Kamu!” Ia seakan tak percaya diperlakukan seperti itu.
Entah hari ini hari sialkah. Kesabaran Allan sedang diuji.
“Allan? Atasan Tomi menaikkan alis.
Tomi menangkap raut kekesalan di wajah Allan. Tomi baru mengerti arti pertanyaan Allan. “Oh... Kita kan seumur. Bukan di waktu kerja. Aku kenal Gee. Gee tunanganmu, yah, kita temanan dong,” papar Tomi selengekan, menyenggol lengan Allan.
Mau kemana?”
Allan jawab singkat. “Pulang.”
“Aku nebeng. Kita kan sejalan.” Tomi berjalan dampingan dengan Allan yang menyusuri ke mobil. Allan melongos panjang.
“Seberapa dekat kamu dengan Gee?” tanya Allan di tengah perjalanan.
“Nggak dekat.” Tomi memandang ke luar jendela. “Dia baik kepadaku. Selalu bantu aku saat aku susah. Hehehe.”
“Seperti sekarang?”
“Iya. Kamu benar. Aku berhutang budi kepadanya. Mungkin aku hidup hanya berhutang budi terhadapnya. Aku nggak tahu balasan untuknya bagaimana?”
“Sepertinya kamu menyukainya?”
“Siapa?”
“Kamu.”
“Menyukainya? Nya itu siapa?”
“Gee.”
Tomi terbahak-bahak. “Sukalah. Setiap orang yang dekat dengan dia pasti suka. Itu pasti. Siapa yang tak suka. Bahkan pengunjung kedai sekalipun pertama kali bertemu menyukai pribadi Gee.”
Tampaknya dia menjawab diplomatis.
“Menurut kamu, dia gimana sampai orang menyukai dia?”
Tomi menerawang. Memikirkan sosok Gee di atas kepalanya. “Bagiku, dia itu pintar banget... bukan banget tapi bingit...”
Allan tak mengacuhkan candaan Tomi yang nggak berfaedah baginya. Macam kekanak-kanakan. Ia mengedepankan isi pokok pembicaraan ketimbang obrolan yang iseng. “Ck. Tapi aku lihat kamu beda?”
“Aku beda. Beda soal apa? Apa maksudmu?”
“Kamu... naruh perasaan terhadap Gee, kan?” sidik Allan.
Tomi mengetuk-ngetuk jemari di pintu jendela mobil. Menciptakan irama yang bebas. “Gee...?”
Allan mendengus panjang. Ia heran pada sikap Tomi dan mencoba bersabar sama Tomi. Ia sangat lamban menangkap omongan Allan.
“Iya,” jawab Tomi.
So, kamu terang-terangan mengakui suka Gee?”
“Benar,” Tomi mengangguk dua kali.
Allan menelengkan kepala, namun tetap fokus mengemudi. “Kamu berani banget?”
Toni melirik ke Allan dengan gaya santai ia berkata, “Kamu tanya kepadaku tentu kujawab.”
“Kamu tahu apa arti tunangan?”
Tomi angkat bahu, “Terus terang aku nggak ngerti apa itu tunangan.”
Allan tertawa menggelegar. “Tunangan, tak tahu!” ia tersenyum mengejek.
“Setahuku selama dia belum menikah dia pantas kuraih,” lanjut Tomi.
Allan menelengkan kepala ke kiri. Wajah Allan tampak serius, “Berarti kamu merebut pacar orang! Pasangan yang hampir menikah.”
“Tidak. Gee suka padaku,” tanggap Tomi yakin.
Perasaan suka dapat diteropong dari sikapnya.
Tomi menyadari.
Tomi merasakan walau Gee tak mengatakan. Apabila ditelisik dengan melihat kejadian menimpa pada mereka akhir-akhir ini.
Ucapan itu membuat Allan tak percaya keluar dari mulut Tomi. “What's?
“Kamu mau kupecat!”
“Urusan pribadi masak main pecat!” ujar Tomi enteng.
“Ayo, kita terang-terangan. Main fair. Siapa yang paling disukai Gee!”
“Kamu... ajak bertaruh?”
“Ayo! Siapa takut? Siapa yang akan dipilih oleh Gee?” tantang Allan dengan dagu terangkat.
Tomi angguk-angguk kepala. Tampak percaya diri dan yakin sekali. “Oke-ey,” tegas Tomi.
Sebenarnya Tomi tak yakin posisinya di hati Gee sebagai apa namun ada seseorang yang mampu menyakinkan keraguannya. Pernah suatu waktu Tomi membawa Gee ke warung makan ibu Tomi. Awalnya Gee mengajak Tomi pergi ikut belanja untuk keperluan dapur Warung Ngopi. Gee banyak bertanya soal warung makanan milik ibu Tomi. Jadi Tomi sekalian mampir ke warung ibunya.
“Kamu siapa?”
“Saya Geizya Tanaja, Tante.”
“Pacar Tom Tom.”
Gee mengulum senyum.“Bukan.”
Tomi saat itu di dapur siapin minuman ringan buat Gee.
“Kamu suka pada anakku,” tanya Mama Tomi mendadak. Bikin tenggorokan Gee tercekat. Pipi Gee merona. Ia menunduk. Ia bukan malu tapi ia merasa risi ditanyain begitu sedangkan ia baru mengenal ibu Tomi.
“Tak apa-apa. Ngomong saja. Nggak usah malu.”
“Tante, saya bukan pacarnya.”
“Kamu tentu suka dengannya? Kalau bukan mengapa Tom Tom membawamu kemari,” Mama Tomi desak lagi, “Benar, kan? Tomi ada cerita tentang dirimu.”
“Kamu suka pada anak perempuan yang pernah temui Mama, kan?”
Tomi tak menjawab.
“Apa kamu sedang berpacaran?”
“Pacaran apa sih!”
“Kenapa dia ke warung?”
“Dia hanya mau datang main.”
“Kamu suka dia?”
“Mama...”
“Kalau gitu mengapa, kenapa dia suka padamu.”
“Suka aku?”
“Kamu nggak tahu?”
“Darimana Mama tahu? Dia suka padaku.”
“Dia kesini pertama kali.” Anaknya terbahak-bahak. “Walaupun dia nggak terang-terangan ngaku suka kamu. Tapi Mama bisa baca matanya. Dia ada perasaan kepadamu.”
“Apa? Mama ada ilmu telepati? Bisa baca ilmu hati orang.”
“Harap kamu tanya dia sendiri. Aku nggak dapat-dapat menantu. Kamu tuh pemalu. Sempat dirampas orang lain.”
Yang tak wajar mengapa ibu Tomi langsung men-judge Gee suka Tomi di saat hari pertama mengenal dan melihat Gee. Hanya berdasar cerita Tomi jadi ibu Tomi menduga pasti perempuan ini yang pernah diomongin Tomi kapan hari.
Dan firasat seorang ibu selalu menganggap, bila anak cowok membawa seseorang menemui ibunya. Pasti ia sedang memperkenalkan gebetannya.

Ma, Ma, ada-ada saja.








No comments:

Post a Comment