Di
Tahun 1997
S
|
udah
15 menit aku berdiri di bawah ribuan daun mangga bersamaan batang pohon yang
kekar. Sisa 15 menit lagi waktuku , tepat pukul 7. Dalam rentang setengah jam
ini aku menunggu kendaraan angkot umum yang sejurus arah tujuanku. Pasti ada
mobil berwarna putih berlalu di Jalan Katamso. Kadang-kala terlewati dari
penglihatanku atau terlindungi oleh angkot-angkot yang berlalu-lalang.
Benarlah, di mata
sebelah kananku sebuah mobil putih mulai mendekat ke arahku lalu berhenti.
Pintu belakang mobil menganga.
“Ayo, masuk!”
Aku menggeleng. Rasa
segan masih saja terus mendampingi hatiku. Entah mengapa. padahal aku sering
bertemu dengan orang ini.
“Cepatlah! Entar kamu
terlambat lho.”
Aku terpaksa mengikuti
permintaannya. Aku mulai melangkah masuk ke dalam mobil. Namun hati menyimpan
rasa sungkan. Mungkinkah ini karena pertama kali dia menawari tumpangan
kepadaku.
Aku tidak banyak
berkata kepada dia. Bukan. Sebetulnya sepanjang perjalanan ke sekolah aku
bersama dengannya tanpa sepotong kata pun.
***
Pak Simori-guru
Biologi-beliau menulis di papan tulis dengan tangan kiri. Pusat perhatianku ke
depan. Tulisan Pak Simori menurutku sangat jelek, layaknya seorang anak SD yang
baru belajar menulis. Pundakku sandarkan ke bangku. Pelan-pelan bola mataku
beralih ke kiri pada kursi baris ke dua deretan kedua dan sebaris dengan
tempatku duduk. Aku melihat bahu seseorang. Bahu itu pun bersandar ke bangku.
Ia menoleh ke arahku. Mata kami berpapasan. Dua orang murid duduk menyusup di
antara kita berdua. Hati ini sedikit terhentak. Ia membuat seutas garis di
bibir. Garis itu manis dan makin melebar. Aku pun membalas senyum itu.
***
Begitu aku keluar dari
mobil, aku membuka lebar payungku. Kali ini adalah yang kedua aku menumpang
mobil Yunike. Ia menyusul keluar. Segera kulindungi kepalanya dari rintihan air
hujan dengan payung. Tanganku mengikuti gerakan tubuhnya kemanapun ia bergerak.
Sekarang ia berada di sisi kananku. Aku dan dia beriringan menelusuri halaman
sekolah. Rintik-rintikan air hujan jatuh di pasir kerikil, menjiprat ke sepatu
kami. Kami menelusuri halaman sekolah. Siswa-siswi berdiri, bersandar, duduk di
depan kelas tapi berpasang mata menyorot kami.
Angin sepoi-sepoi
meniup helaian rambut Yunike, mengusik pelan pada lenganku. Aroma shampo Pantene
seperti milik kakak perempuanku menyusup ke hidungku. Parasnya yang manis,
putih, memiliki bola mata besar dan apalagi isi memori otaknya sangat kuat
serta pintar selama aku ikuti pelajaran sekolah bersama dirinya. “Siapa yang
bisa koreksi?” tanya Bu Mary, pengajar bahasa Indonesia. Yunike menganjungkan
tangan di udara. Hatiku senang dan bukan cuma sekali ini saja.
Aku tak ingin
berlama-lama memandang ia dari dekat. Bahaya bagiku. Segera kuberpaling. Itu
sudah lebih dari kepuasanku.
***
Hari ini aku melihat
kursi Yunike kosong. Aku menajamkan gendang telingaku, mendengar teman-teman
kelasku yang tak jauh dariku. Mengatakan Yunike dan keluarga berduyun-duyun untuk
melanjutkan junior high school-nya ke
benua tetangga, Australia. Pagi ini, hari keberangkatannya.
Kata mereka, ikut
mengantar Yunike ke bandara.
Aku tak menduga sekilat
ini usia pertemanan kita. Diriku belum lagi ucapkan terima kasih kepadamu. Di
atas kertas putih, kububuhkan tinta pulpen.
I
MISS U, Jun.
Kini aku tak dapat lagi
melihat seutas senyum penuh kasih, tulus dari hati. Bertabrakan dua pasang
mata. Tidak sengaja dengan waktu yang tepat.
Aku berharap mulai
detik ini. Aku menyimpan doa. Bertemu sepuluh tahun. Sepuluh tahun lagi. Lantas
bertambah.
No comments:
Post a Comment