"Hello, Jack!"
"Ya."
"Yah...
ya."
"Kamu dengar
aku?"
"He-eh. Aku ambil," sambil
mengelus dahi.
"Siiip. Nanti
jam 8 malam, aku ke apartemenmu. Malam ini aku harus kerja ekstra. Bye..."
Kesepuluh jari Jacky
memeluk hp sambil menopang dagu. Matanya menatap dinding. Di atas sekat
dinding, kedua lengan Tora menyilang. "Yuk makan siang?"
Jacky menegakkan
badan lalu hempaskan punggung ke badan kursi.
"Siang ini aku
gak bisa," desah Jacky.
"Kok kayak
resah, man."
"I'm ok, To."
Tora merasa Jacky
mungkin butuh ketenangan. "Alright."
Jadi ia meninggalkan Jacky sendirian dalam ruangan besar, ditemanin puluhan PC,
poster-poster di dinding, action figure
dan berkas penting di meja.
***
Hape Mary menempel di
telinganya, "Jack, kamu masih lama?"
"Sebentar lagi. Aku di lift.Tunggu tiga menit."
Mary mondar-mandir di depan pintu. Apartemen
itu hanya beberapa meter
dari kantor Jacky.
Pintu lift membelah
dua. Jacky keluar, melangkah ke pintu apartemen. Di samping Mary, ia merogoh
sesuatu ke dalam saku celananya. "Lebih cepat dari janjimu," ia
menancapkan anak kunci ke lubang pintu.
"Ehm. Begitu
selesai beresin pekerjaanku, pulang, mandi, langsung ke mari." Mary
membuntuti Jacky. "Aku pikir kamu sudah pulang."
"Ada rapat
mendadak."
"Bajuku?"
"Tenang... Jam
makan siang kusempatin
ke butik."
Mary mengelus dada.
"Syukurlah..."
"Aku taruh di
kamar. Mau pulang, baru kamu
ambil."
"Baik."
Tak mau tercium tak
sedap depan Mary, Jacky berujar, "Aku pergi mandi."
Ia menyusuri koridor.
Masuk ke kamar tidur. Dapur Jacky menyatu dengan ruang tamu. Mary periksa ke
dalam lemari kabinet atas.
Jacky selalu menyetok kacang, kerupuk kentang, atau biskuit untuk cemilan
mereka. Mary buat dua gelas minuman segar. Satu gelas tanpa es, tunggu Jacky
menambah sendiri.
Dengan nampan ia bawa
kacang dan sirup melon ke ruang tamu, duduk di atas karpet berbulu lembut. Ia
memagut bibir gelasnya dan
teguk sedikit.
Lalu mencari secarik
kertas cakaran atau apalah yg lain sebagai wadah kulit kacang. Ia mengintip
lembaran kertas di tumpukan majalah game, PC.
Mary menarik kertas
putih berupa cakaran sketsa, penuh coretan bundaran di sana sini. Tapi bagi
Mary sketsa itu mengagumkan, sungguh menawan. Dibubuhi arsiran halus dan tipis.
Juga ada yang kasar, gelap merupakan cermin bayang-bayang benda tersebut.
Mengelitik hati Mary. Secara kasat mata ia tahu apa yang hendak dilukis oleh
Jacky.
***
Lima belas menit
berlalu.
Indra penciuman Mary
hirup aroma sabun. Saat suara "kreeek" dari pintu kemudian
"kreeek" lagi. Aroma wangi makin tajam di hidung Mary. Aroma yang
selalu sama.
"Keren banget
sketsamu, Jack," puji Mary. Segar. Bau sensasi rasa mint dari rambut
Jacky. Menyerbak di sampingnya, "siapa dia...?" Mary memicingkan
mata.
"My secret. Yang jelas, kubuat untuk
orang yang amat kucintai," kata Jacky tegas, duduk bersila.
"Coba
ya, aku punya calon suami kayak kamu. Bisa desain rumah kelak. Wadueeh...
Bahagia rasanya. Dan itu berasa sempurna," menaruh punggung pergelangan
tangannya ke pipi.
Jacky
menekan kulit kacang, "Teg."
"Bukankah
dia akan mendesain isi rumahmu."
Jacky
menoleh. Mulutnya mengunyah kacang.
Dua
pasang mata berembuk. "Itu yang paling utama. Kasih sayang, jaga keutuhan
cinta dan..."
Saling
tatap lekat-lekat. Beberapa detik.
"Teeeet...."
Suara bel bikin jantung mereka seakan mau loncat keluar. Mary jadi kikuk
sendiri. Jacky pula menggaruk-garuk kepala.
"Itu
dia," Jacky pontang-panting berdiri. "Rumah yang sering kubikin rumah
bohongan." Suara Jacky semakin terdengar pelan. "Mana bakalan sebagus
untuk yang nyata."
Pintu
terbuka.
"Sorry. Telat. Yayangku sudah tiba?"
Hari
ini urusan kerja Redo di luar kota. Mereka janjian ngumpul cuma sekadar celoteh
ria, jelang dua hari pernikahan.
Jacky
dengan Mary kenal sejak seragam putih abu-abu, sampai jenjang kuliah.
Mereka
bertiga sering pergi nonton bioskop, liburan ke luar kota, kadang main-main di
apartemen Jacky. Semasa ada Santi -adik Jacky- tinggal bersama abangnya.
"Dia
kangen berat?" canda Jacky, "dengar, Mary?"
Bergegas
Mary lari dan tertawa cekikikan.
"Nih,
aku beli bebek panggang."
"Muuantap!
Ini dia. Aku ambil piring dan bikin minumanmu," sambut Jacky penuh semangat.
Redo
mengulum senyum. Menyambut tangan kekasihnya dan beriringan ke ruang tamu.
Jacky
menenteng bungkusan ke dapur. Ia melarikan pandangan ke sahabatnya. Mereka
beradu kasih, tangan saling bergenggaman serta canda gurau. Kelincahan gerakan
Jacky melambat untuk sekadar menaruh potongan bebek ke piring.
Jacky
mengendus Redo menyukai Mary ketika mereka mengenal Redo di satu kampus.
***
Pasangan
pengantin memasuki gereja. Para undangan hanya keluarga, kerabat, teman dekat,
teman kerja dari kedua mempelai.
Saat
sesi pertukaran cincin.
Cincin
siap disemat ke jari Mary. Namun terlepas dari jari Redo ketika ia hendak
mengambil dari kotak cincin. Bergelinding ke deretan kolong kursi panjang
gereja. Suara riuh-rendah menyeruak keluar dari para tamu undangan. Kedua
keluarga mempelai jadi repot dan gaduh. Apalagi pihak keluarga Redo, mereka
kebingungan.
Jacky
menoleh ke belakang. "Apa mereka
harus mencari cincin itu? Tidakkah bikin acara pemberkatan nikah jadi ricuh dan
makan waktu lebih banyak." Ia membalik ke hadapan altar.
Keluarga
Redo berhambur ke depan. Pendeta meluangkan waktu untuk mereka berdiskusi.
Jacky
beranjak ke depan altar, menyampiri, kemudian sodor sebuah kotak merah. Kotak
itu menganga. Sebuah cincin memancarkan sebersit kemilauan. "Nah, cadangan
kalian."
Mary
menggeleng-geleng."Aku gak bisa memakainya, Jack. Bukan milikku."
Jacky meletakkan di telapak tangan Redo. "Lihat, aku penolong kalian
kan?" Lalu menoleh ke arah Mary, "Pakai sehari aja, Mary!" Ia
tersenyum.
Pasangan
itu tak dapat menolak kengototan Jacky.
***
Terang
mentari menyeruak dan panas bikin peluh keringat menandai baju. Tiupan angin menghembus
dari arah timur.
Dilindungi
oleh kokohnya bangunan gereja. Mary melambai-lambai. "Jack, Jack,
sini," panggil Mary.
Jacky
berusaha menerobos kerumunan tamu, berdiri di bawah tangga di halaman gereja.
"Klik."
"Sekali
lagi, Wan," pinta Mary pada jurufoto.
"Ok,"
sahut Wawan.
"Kita
pasang gaya ya," ucap Mary pada pria ganteng di sebelah kiri-kanan.
Mary
membisiki Jacky, "Tarik lenganku lalu kita geser ke sana dikit."
Redo
kaget, heran. Lentangkan tangan kanannya, "Lho, Mary!" pekik Redo
tiba-tiba.
"Klik."
"Hahaha,"
tawa Mary dan Jacky. Redo tersenyum sungging.
Mary
memegang lengan Jacky. Pipi kirinya mendarat ke wajah kiri Jacky. Ujung bibir
menyentuh kulit si empunya.
"Thank for you," bisik Mary.
Redo
mendatangi Jacky sambil menepuk pundaknya, "Terima kasih banyak,
sob."
"O...ya,
cincinmu," Mary coba melepas cincin.
"Masak
pengantin tanpa cincin. Jangan takut! Gak pasang tarif sewa."
Ketiga
orang itu terbahak lepas.
***
Setelah
keliling belanja baju di Mall Taman Anggrek di Jakarta, Santi ajak Mary singgah
ke restoran. Sekitar mereka berpijak sekarang. Santi pulang ke Indonesia, sela
liburan musim panas di New York. Maka menyempati waktunya bertemu Mary.
"Kakak
minta bantuanmu nih?"
"Apa
tuh?"
"Ehm.
Mumpung aku ingat. Titip ya, kasih ke abangmu," Mary serahkan sebuah
cincin. "Sebulan bersamaku."
"Kenapa?"
Santi menghela napas, "benar juga. Memang terasa berat ya, kak."
Alis
Mary mengernyit, "Apa? Aku kok gak ngerti."
"Aku
kadang ketemu Jacky. Tapi kakak selalu kelupaan melulu bawa cincin ini."
Santi
terperangah. "O... Bukan dia memberimu? Jadi... bukan...?" Mary
menyela dan melotot, "Dia pinjami ke aku."
Raut
muka Santi menyiratkan pelbagai kegundahan.
"Kenapa,
Santi?"
"Saya
tahu, kak," Santi menarik nafas lalu hembus, "ini sudah lama. Abang
Jacky bakalan marah padaku."
"Katakan,
San? Kamu secara halus telah beritahu rahasiamu!"
"Cincin
itu," seorang pelayan wanita menyajikan dua es krim di meja. "Terima
kasih," ucap Mary. Dengan senyum mengembang, ia meninggalkan mereka.
"Milikmu,
kak."
Mary
mematung cenganga. Seolah salah dengar. "Aku?"
Santi
mengangkat wajah dari tatapan ice cream-nya.
"Waktu
abangku mau nyatakan perasaannya dan kasih ini..." mata Santi terpaut pada
cincin, "But, abang Redo duluan melamarmu."
***
Di
sela pesta kecil ulang tahun Mary.
Jacky
mengajak Mary ke halaman belakang rumah.
Jacky
memikirkan kata-kata yang tepat dalam pikirannya. "Hei, Jack."
Lama
Mary menunggu, "Jacky Naumaro!"
Jacky
membuang nafas. "Aku mikir sejak lama." Berpikir lagi sejenak.
"Aku punya rencana. Dan sudah kupersiapkan," katanya lagi, dengan
yakin.
"Kenapa
denganmu, Jack, malam ini? Apaan?"
Jacky
menyusupkan tangan ke saku celana kanan. "Aku mau kamu tahu suatu hal
penting."
Mary
serius menyimaknya.
"Mary,
Aku... Pernahkah di hatimu ada semacam rasa..."
"gini...
perasaan..."
Disaat
itu Redo datang menyempil. Ia menyosor Mary sebatang mawar merah dan sebuah
cincin.
Penerima
mawar itu terkejut sekali.
Lalu
Redo bungkukkan badan, "Lihatlah!"
Mary
membuka kotak kecil dengan permukaan beludru, dalamnya kain sutera berwarna
putih. Tertancap cincin yang makin kemilau oleh pancaran cahaya lampu. Redo
menyematkan di jemari manis Mary. "Tolong bantu aku, pertimbangkan
lamaranku!"
Tanpa
sepatah kata ngalir keluar dari Mary.
"Aku
gak desak kamu mesti sekarang jawabanmu."
Jacky
mundur menjauh. Tangannya masih bertengger di dalam saku celana. Bersandar lesu
ke dinding tembok.
***
"Tentu
abangku ingin pernikahan kak Mary utuh."
Jemarinya
kosong. Ia endap cincin pernikahan. Hindari lecet, tercecer. Pokoknya tak mau
terjadi hal buruk.
Cincin
dari Jacky melingkar di ruas tengah di jari manis Mary. Ia amati lebih dekat
dan baru sekarang ia perhatikan seksama. Benda itu didesain serupa huruf M.
Bertahtakan berlian dengan ujung batang huruf M dibuat nyaris terhubung.
Sehingga menyerupai bentuk "love".
Di pusatnya dipadu batuan kristal berwarna kebiruan.
Mary
mengangkat dagunya.
Santi
bersitatap dengan Mary. Ia mengganguk pelan,
"Mungkin
sebagian orang tak sependapat denganku. Menurutku, kak Mary berhak untuk tahu.
Saya sadar hal ini tidak etis dibicarakan lagi." Santi berucap lagi,
"Walau abang Jack mewanti-wanti saya."
"Dulu
saya tanya abang Jack, apa yang akan lakukan pada cincin itu?"
"Sahabat abang tolak terima kado. Cuman minta
doa."
"Jadi abang mau kasih sebagai hadiah pernikahan
saja."
Mary
puntar-puntir cincin. Terpesona. Bimbang. Pada dua pilihan. Kembali atau
simpan.
Ia
tersenyum tipis.
"Maafkan
aku, baru melihat cintamu di malam itu."
***
"Kata
kak Mary begitu, bang Jack."
"Huh,
adik pemberani."
"Aku tahu."
Senyum
sungging merekah di pinggir bibir Jacky, Diikuti kerutan bulan sabit terbalik.
No comments:
Post a Comment