Hadiah
Sweet Seven Teen
Rara bertanya-tanya mengapa
Bang Do tak lulus, kenapa cowok terganteng bisa tak lulus? Apa dia miliki IQ rendah atau karena
ketampanannya dia sengaja memilih mundur setahun jadi penghuni di SMA B.
Atau.. adakah alasan lain
menimpa Bang Nando?
Nando mengutarakan dan menjawab setiap sesi pertanyaan
Rara atau nando akan bercerita tentangnya sepengal-pengal. Tapi akan disuguhkan
gimana Nando setahun lalu.
“Bang Nando orangnya pendiam. Dia mau omong kalau kau
memulai bicara,” kata Re ketika dulu ditanya sama Rara pas ketemu Do. “Kakakmu
sombong atau songgong. Pelit bicara.”
Re nguping di belakang
dinding, percakapan mereka. Datang Mi menghampiri untuk ngagetin sang kakak,
“Rupanya kakak di sini?”
Re tahan langkah Mika, “Yuk?”
“Kemana?”
“Keluar.”
“Gak mau. Aku mau bicara sama Rara. Ngobrol
bareng.”
“Yuk kita main PS?”
Mika memutar dari rangkulan
Re. Re dapat menangkap lengan Mi.
“Re…”
Re tutup mulut Mika agar tak
berisik. Paksa giring adiknya ke ruang santai. “Ayo! Kalau kau bisa kalahkan aku, kau minta apa
saja.”
“Gak nipu, kan?”
“Iya.”
“Seminggu aku main PS.”
“OK.”
“Enggak. Sebulan.”
“Kam… OK.”
“Kenapa sikap Kak Re aneh hari ini?”
“Sekarang ini waktu yang tepat
kita bantu Abang kita.”
“Apa maksudmu? Biarkan ia pacaran dengannya? Aku
gak setuju.”
“Di otakmu. Hanya pacaran.”
“Gini-gini aku naik terus.”
“Abang lain kondisinya.”
***
Mami datang ke rumah.
“Kau sering pulang kemalaman.
Nenek khawatir, Do.”
“Nggak usah khawatirkan aku.”
“Kenapa kau, cari pelampiasan?
Cari perhatian. Ingat, Do. Kau punya adik dua.
Jadi abang untuk adik-adikmu, Do.”
“Mami gak perlu ke sini.”
“Gimana enggak?”
“Kau ajak teman-temanmu ke sini buat pesta, minum
minuman keras. Mami temui di kamarmu, Do!”
“Do, jangan deh lagi bawa mereka ke sini. Kau
ditanggap, gimana?”
“Gak usah.”
Do ditarik telinga oleh nenek.
Gara-gara ulah Nando sering keluyuran ke kelab malam.
Diajak teman ayuk saja. Ikut.
Nilainya jatuh terjerembab. Merosot tajam. Maminya tak
ada di samping. Dia bertugas ke luar kota. Di saat paling dibutuhkan tiada
orang yang disayanginya dapat berada di sisinya. Itulah sebabnya dari sejak
awal keputusan sang ibu tak disetujui. Dia mulai secara perlahan tak mengindah
harapan dan keluh kesah para anak-anaknya.
“Kau pilih sendiri. Karier atau tetap di
sini?”
“Janjimu akan mendukung
sepenuhnya untukku. Gimana janjimu dulu?”
“Aku sekarang berhasil. Tak
usahlah kau bekerja.”
“Aku mau beraktivitas di luar.”
“Waktumu berbagi sama anak nanti berkurang.”
“Mereka sudah besar.”
“Bagaimanapun mereka tetap
membutuhkanmu?”
“Kita jadi canggung. Bukan
sepasang suami istri lagi dua puluh tahun lalu. Kudapati kau orang asing
bagiku.”
“Setiap hari kita bertengkar
soal yang sama. Ketidaknyaman lagi bersamamu. Hilang, Ma.”
“Jadi ini yang kau mau?”
“Anak-anak aku jaga. Gono-gini
aku gak perebut.”
“Biar aku semua rawat mereka.
Kalau di tanganmu aku takut mereka kecewa padamu lalu kembali kepadaku. Mereka gak akan mau bermain denganmu lagi,
gimana?”
Kenapa orang yang pertama kali mendengar semua
itu mesti aku, Nando?
“Prangg…”
Tumpahan cairan susu meluber di lantai bersama
serpihan-serpihan kaca bening. Tangan Nando basah oleh susu. Tangannya masih
bergetar. Tak tahu apa yang harus dia perbuat. Sehingga tak menyadari orang
tuanya sudah berada di hadapannya.
Dua tahun lalu.
Tak heran kenapa Nando bisa terpuruk mendengar
langsung di kamar orang tuanya. Apa mereka lupa cara menutup pintu kamar? Apa
mereka sengaja untuk memberitahukan masalah mereka yang sedang dihadapi
sekarang? Apa mereka tak tahu cara lagi untuk menejelaskan dan menerangkan apa
yang sedang terjadi pada mereka?
***
Asap mengepul keluar dari jendela kamar. “Kak,
lihat!” Re mendongkak kepala. Mereka saling bersitatap. “Kamar Abang,” seru Re
kepada adiknya. Mereka berlari naik ke tangga.
Re menelepon ke ibunya. Kata ibunya menyarankan tunggu dia datang.
“Ndo, gak pantas kau ngerokok di depan adikmu. Mereka
bisa ikutan, Ndo!”
Nando diam.
“Kenapa dia berada di sini?”
“Kau gak dia di sini?”
Nando angguk kepala.
“Bisa?”
“Hmm.”
“Ceritakan, Ndo?”
“Nando mau nginap di rumah Mama malam ini?”
“Anak Mama, tentu Mama senang. Kenapa jadi sungkan
sama Mama?”
“Dia ada di rumah, Ma?”
“Untuk malam ini. Tidak. Mama mau semalaman sama
Pangeran Tertampan milik Mama.” Ibu Nando mengatup bibir, cium kening putranya.
“Nando, boleh berjanji sama Mama?”
“Apa, Ma?”
“Walau bagaimana kau hidup tanpa Mama, bisakah kau mau
menjaga dirimu berarti kau menjaga adikmu.”
“Mama izinkan kamu main DJ. Berpacaran. Tapi Mama memohon padamu. Jauhi
obat terlarang. Mama gak dukung kau sama sekali. Pacaran semasa sekolah Mama
beri kelonggaran kepadamu. Tapi, Mama minta satu hal penting sama kamu. Mama
mau Nando jaga Re dan Mika semasa Mama tak ada di sisi mereka. Tentu Mama tak
bisa meninggalkan kalian. Mama akan pantau kalian dari jauh. Gak bisa lagi
sedekat dulu. Mama terkadang menyesal. Hingga Re membenci Mama.”
Nando menatap ke dinding
lekat-lekat. Ke satu titik. Dan terpaku diam. Dia melahap semua ucapan sang ibu.
Pintu pagar bercat hitam terbuka dikit. Nando masuk.
“WAH. Mentereng nih mobil? Siapa punya? Teman Papa datang?”
“Warna hitam kesukaanku.” Nando menyentuh bodi mobil
itu berlogo Mercedes.
Ayah Nando bersantai di sofa nonton acara berita
siang. “Baru pulang?”
“Iya.” Papa seorang diri. “Mana
teman Papa?”
“Teman, sudah pulang.”
“Mobil di luar?” Ibu jari Nando mengarah ke luar.
Dentingan kunci dilempar kea rah Nando. Dia terkejut. Refleks dia tunggu kunci
mendarat di genggamannya. Dia tersenyum seringai, “AKU?”
Dijawab anggukan sekali.
Segera saja Nando banting tubuhnya ke sofa di sisi
Ayahnya.
“Papa gak main-main?”
“Suer.”
“Dalam rangka apa?”
“Ulang tahunmu 17 tahun.”
“Sudah lewat, Pa.”
Ayah Nando melihat raut buah
hatinya berubah. “Kenapa?”
“Aku gak lulus.”
“Papa sudah janji padamu, Ndo.”
***
“Papa beliin Abang mobil?”
“Iya.”
Wajah Re datar. Ayah Re
menambahkan, “Kau?”
“Ngg?”
“Mau apa di ultahmu nanti?”
“Seven teen?”
“Hmm.”
“Aku… mau. Perusahaan Papa.”
“HAHAHA.” Ayah Re tertawa
bahak-bahak. Kayaknya memenuhi
seluruh ruangan itu. “Re mau Papa pensiun.”
“Re mau bantu, Papa.”
“Re…”
Bola mata Ayah Re berbinar-binar. Cahaya mengkilat
dalam mata itu. Cahaya yang akan menyinari rumah ini. Dia berharap omongan tadi
itu bukan sebuah omongan kosong belaka.
“Gak pesta, Re?”
“Re gak mau hura-hura, Pa. Ngabisan
uang Papa.”
Re dipeluk ayahnya. “Re…”
Ayah Nando hari itu sibuk
menuntaskan kerjaan di luar kota. Tak ada waktu luang untuk anknya. Ayah mereka
cukup member intensif les tambahan di luar jam sekolah. Dia tak sanggup
mengajari anaknya selain karena keterbatasan waktu dan pelajaran yang auh beda
dengan semasa dia sekolah zaman dulu. Dia mempercayakan anak-anaknya untuk
belajar sendiri. Buat si bungsu ada kakak yang bisa membantunya selesaikan PR.
Ujian nasional anak-anak di
rumah, Dani tak mau melewatkan waktu bersama mereka.
Tak mengulang kejadian pada Nando terjadi kembali
kepada adik-adiknya.
No comments:
Post a Comment