Ia memunggungi buku-buku
tebal dan berat dalam tas. Sinar tajam memayungi sepanjang perjalanan.
Bulir-bulir peluhnya mengaburkan aroma parfum yang ia semprot tadi pagi.
Ruang tamu berasa gelap
manakala Cilla menginjak kaki. Ia buang tas punggung merk Export ke sofa. Lalu merebahkan badan. Di kantong baju, ia
mengeluarkan HP. Jempolnya saling adu cepat memencet tombol keypad.
Seorang perempuan menyingkap
tirai kain di pintu dapur, sebagai pemisah ruang tamu, "Cilla... Buka dong
sepatumu di luar."
"Capek aku bah,
Ma."
"Cilla..."
Putrinya melangkah
membungkuk, tangannya terguntai-guntai.
Di teras, teronggok sepeda
motor. Ia melepas tali sepatu.
"Mama tak mau jemput.
Ijinkan aku bawa motor?"
"Sekolahmu dekat rumah
kok."
"Panas gitu,"
rengek Cilla ditambah cemberut.
"Pakai payung
bah."
"Aissh."
Kemudian menenteng sepatu
dan HP-nya ke dalam rumah, susun di rak sepatu.
Ibu Cilla tahu putrinya
masih kesal karena semalam.
Tok...
Tok... Tok...
Ibunya teriak,
"Cilla..."
Suara rendah dari dalam
kamar, "Hmm."
"Ayo, keluar! Ada sate.
Papa bawa untukmu."
"Ya..."
Suara
pintu menderit.
Cilla menemukan sebuah kotak
hitam geletak di meja tamu. Ia mendekati.
Wajahnya berbinar. Tersontak
bukan main. Secepat kilat ia mencari seseorang.
"Punya siapa BB neh,
Pah?" Cilla angkat tinggi kotak BB, masih lekat dengan segel hologram dan
tangan satunya pegang HP.
"Papa beli BB?"
diiringi pelototan mata milik perempuan berkepala empat.
Ayah Cilla diam sesaat.
Tusukan sate ayam nancap di sela gigitan. Bagian dalam tusukan tersisa potongan
kulit yang terbakar gosong.
Ia tatap ke wanita dewasa,
"Nggak," lalu beralih yang lebih muda, "door prize ulang tahun kantor."
"Dapat BB, Pah?"
"Iya."
"Jadi, kasih saya,
Pah?"
"Iya."
Cilla meloncat girang dan
tersenyum lebar.
"Tapi... semalam saja."
Senyuman itu kembali garis
datar, "Lho, kenapa, Pah?"
"Kayaknya cukup semalam
Papa kasih kamu peluk."
"Papa... Aku mau BB,
Pah."
"Kamu lihat sana!"
Ayah Cilla mengerling ke istrinya. Dari tadi istrinya menatap menohok terhadap
suaminya.
"Ma... Kenapa?"
"BB dijual ke teman
kantor Papa saja deh."
"Kenapa sih, Ma? Gratis
lho nih, Ma. Mama kan suka banget barang gratis."
"Mama rasa kita sudah
jelas ya."
"Aiissh. Parahnya.
Garing," Cilla memoncongkan bibir, "Mama pasti gitu."
"Keluar uang beli BB
gak dibolehin. Sekarang, dapat hadiah BB malah dijual. Mama curang. Pelit ...!!”
Cilla menjauh dari meja
makan.
"Dek, kamu gak
makan?"
Ayah Cilla menukas,
"Nah kan, ngambek lagi."
Cilla menaruh kotak BB. Lalu
raih remote TV. Di tangan kiri membuka
aplikasi ikon f di layar HP-nya. Sebelah kanan pula sibuk memencet tombol
program TV.
Ia terhenti pada pemain
wanita yang sedang melotot. Mencak-mencak marahi lawan mainnya. Tak lama
kemudian jeda iklan.
Cilla perhatikan HP-nya.
Teman facebooknya malam ini banyak
meng-update status. Sayang, Cilla tak
bermaya mengomentari. Yang ia lakukan menutup aplikasi itu serta TV.
Matanya berembuk pada kotak
BB ketika meletakkan remote. Ia
menarik nafas panjang. Sejurus itu, "Hummm..."
Ia ke kamar tidur. Rebah di
pembaringan.
Cilla nyampiri orang tuanya
sedang bersantai menonton TV.
"Untuk apa beli
BB?"
"Kalau ada tugas
sekolah, Pah."
Alis Ayah Cilla mengerut,
"Tugas kan kerja di laptop."
"Iya," kata Ibu.
"Kenapa sih aku gak
dibeliin BB?"
"Pertanyaan itu gak
pantas diomongin deh. Mama hampir berliuran mengocehmu terus."
"Kamu tahu kan HP-mu
sekarang lengket di tangan kayak lem UHU.
Mama sita pun kagak mempan. Jika ada BB, Mama gak tahu lagi," Bu Usive
memijit dahinya, "Hadeuh..."
"Teman-temanku semua
pada punya. Aku saja gak ada."
"Lalu kamu wajib punya
gitu?"
"Kadang guruku ngasih
tugas lewat email, Ma."
Bu Usive mendekati anaknya.
"Anak mama tetap juara kok tanpa BB. Selalu tiga besar," seraya
mengelus rambut Cilla. "Dapat beasiswa tunai," sambung ayahnya.
"Iya... Coba uang tuh
beli BB," gerutu Cilla, "Mama pula yang pegang uang tuh."
"Aduh, sayang. Uang
milikmu Mama gak hambur kemana-mana, Cilla," ujarnya. "Mama simpan
buat uang sakumu lho!"
"Mimpimu mau lanjutin
kuliah ke Australia kan, ketemu kangguru?"
Anak tunggal itu memilih
monyongkan mulut daripada membalas guyonan ibunya.
"Mama gak pakai untuk
beli DVD drama Korea kok," gurau Ibu Cilla, mengedipkan sebelah mata.
Di kamar, Cilla mengeluh.
Verren,
calling aku dong. Pulsaku sekarat.
(Pesan
telah dikirim ke Verren)
Verren
memanggil... (kusuka dirimu kusuka... )
Cilla tekan tombol berwarna
hijau.
"Lu kenapa?"
"Aku bete nih,
bete!"
"Bete sama Haris? Apa
lu diputusin?"
"Huh... Enak aja
lu."
"So, apa dong? Gua kan
gak bisa baca isi hatimu, Syl."
"Hampir aja aku punya
BB. Tapi..."
"Whats? Really. Invite gua yah. Berapa nomor pinmu?"
"Asyik! Bisa dong kita BBM-an."
"Halo, halo, tes,
tes."
Cilla menjawab lemas,
"Ha... lo."
"Kok diem sih? Apa
BB-mu jatuh?"
"Ya enggaklah. Lu sih
nyerocos melulu. Gak tanggapin omonganku," gerutu Cilla, "kau tau
kagak..."
"Nggak."
Cilla mendesah,
"Verren..."
"Okey. I'm sorry."
"Aku bilang, hampir
punya BB."
"Maksudmu?"
"BB tuh nginap semalam
doang."
"Apa, jelasin
dong?"
"67%-90.=*")/:;!'-*"(=#
bla bla bla."
"Oh... Begono.
Kasiannya lu."
"Arggh, Verren...! Coba
kau hibur aku dikit dong. Masak cuman kata itu saja darimu."
"Jadi, gua harus gimana
lagi dong? Beliin kau BB gitucch..."
"Hahaha. Boleh juga
tuh, Ren."
"Arrrgh..."
***
Pukul 6. Titik-titik air
menurun deras nggelabui tanggisan air mata di pipi Cilla. Ia tak hirau pada
rambutnya, berat massa air pada pakaiannya.
"Aduh, Cil! Kenapa
hujan-hujanan sih? Gak naik angkot?" tanya ibunya.
Cilla meluncur membisu.
Ibu Cilla bengong.
"Kenapa dia cuekin Mama satu-satunya?" batin ibunya.
"Dua hari. Masih
ngambek kepadaku? Barusan jalan sore sama Haris, biasa aja."
***
Cilla membuka halaman 16.
Rubrik kesehatan, koran Tengkayu Pos terbit hari Minggu. Terlebih lagi fokus
mata jatuh ke kolom konsultasi psikologi. Dengan cetak tebal, Susah Move On.
Salam, dr. Lina.
Seminggu ini saya pusing
bangeet. Pacarku mutusin saya secara sepihak. Dia gak beri alasan. Lagian dia
duduk sekelas denganku dan sebentar lagi bulan April mau ujian? Gimana nih
singkirkan kepahitan hatiku mana dekat ujian? Terima kasih.
Xxx, Tengkayu.
Salam, masalahmu ribet yah. Sad ending. Mantan pacar sekelas lagi.
Rasanya mau pindah saja. Entar berurusan dengan kepala sekolah. Tapi perasaan
sakit hati itu normal kok dan tidak bisa berantas dalam sekejap. Perlu waktu.
Perlakukan dia biasa saja
sebagai teman sekelasmu. Alihkan kegundahan hatimu ke ujian. Malah timing ini membantu kamu memecahkan
konsentrasimu pada si-ex ke belajar dan ujian. Dengan begini,
dapat kurangi rasa sedih dan kecewa di hatimu, girl. Buktikan diri kamu baik-baik saja, tunjukan prestasi
belajarmu. Atau kamu curhat kepada teman terdekat kamu, maupun ibu. Memperbaiki
lubang-lubang hati kamu. Diisi perhatian, kasih sayang dari orang sekelilingmu.
Selamat berjuang.
***
"Papa."
"Apa, Ma?"
"Kenapa ya sama anak
kita? Semakin galau aja deh."
Istrinya melanjutkan,
"Dua minggu, Pa. Bawaannya kusut melulu. Biasa cukup satu hari dia
ngambek."
"Kali aja benaran marah
dia padamu, Ma. Mungkin si BB."
"Perasaanku bukan
mengatakan seperti itu," kata istrinya, "pasti sesuatu terjadi pada
dia."
"Apa perlu aku tarik
kembali BB?"
"Aisssh, Ayah
Cilla!!"
***
Cilla dan ibunya
nongkrong depan TV, menertawai lelocon
dan tingkah konyol para wayang Opera Van Java.
"Lho, Ma. Kok ada DVD player?"
"Aduh... Sayang, sudah dua
minggu di situ."
"Hah!"
"Kau lagi galau jadi
kurang update sekelilingmu." Bu
Usive memandang anaknya.
"Cilla, sudah
baikan?"
"Apa, Ma?"
"Kamu putus?"
"Ma?"
"Feeling. Dan terakhir
dr. Lina."
"Mama baca semua?"
"Sayang, fokus ujianmu
dulu yah. Makanya Mama batasi kamu pacaran. Gak setuju sama Haris. Mama takut
kamu gak bisa kendalikan rasa sakitmu."
"Aku gak sebodoh itu,
Ma."
"Curhat dong bareng
Mama."
Cilla memanggut.
"Tuh player gantiin BB,
ada mic lho. Kamu suka nyanyi kan?"
Cilla menyalakan DVD player baru, "Karaoke, Ma?"
"Ndak. Buka drama Lee
Min Ho, Cilla?" Anak perempuannya menoleh lesu. "Gaklah. Buka laci
lemari, ada karaoke JKT 48!"
"Asyik..."
Semerbak aroma khas martabak
menyeruak bebas dalam ruangan.
"Papamu pulang."
"Heeh. Kecium bau martabak,"
sahut Cilla.
"Ada tamu."
"Cilla." Suara itu
di belakang ayah Cilla.
Bu Usive berseri,
"Duduk sini, Pardi.." beranjak ke dapur.
Ibu Cilla muncul di balik
tirai, bawa beberapa garpu, minuman kaleng dan air putih.
"Cilla, kamu mau Beibe?
Kala..."
Namun bertepatan dengan itu,
ayah Cilla menyusupkan acar timun ke dalam mulut adik iparnya. "Makan,
Di."
"... ou," Om Pardi
menggigit-gigit sambil lirik nyengir pada iparnya. Menahan mangkel.
Kakak perempuan dan
kemenakannya terkekeh.
"Jangan singgung BB,
okey! Mari kita berkaraoke sampai larut!" gelak ayah Cilla.
"Memang ada apa sih?"
desis Pardi.
***
"Papa gak pakai?"
"Entahlah, Papa kok gak
minat."
"Kalau gitu kasih
Cilla, Pah?"
"Kasih kamu. Bagus
kasih Mama makai!"
Cilla dan ayahnya melempar
pandangan ngenyek, berseru, "Mama gaptek gitu!"
No comments:
Post a Comment