Ku angkat salah satu ujung tumitku. Ambil sedikit sisi
bangku. Aku sengaja berjemur di Sabtu pagi, untuk menguatkan tulangku.
Indra penglihatanku mengikuti seseorang di seberang. Gerakkan kaki kiri, giliran kaki kanan. Berulang secara kontinu. Tiap hari di jam 8. Kadang tepat, kadang lewat puluhan menit. Siapakah gerangan? Senantiasa kupapas kulit putih orang itu, saat ini ia berkemeja motif tartan ala Scotlandia, celana panjang dari bahan kain dan sandal.
Daun-daun kering menguning melepas dari ranting. Satu
diantara mereka hinggap ke atas rambut hitam, lebat dan mengkilap.
Seiring langkah lelaki itu. Daun kering tersebut tersungkur
ke bahunya. Sampailah permukaan tanah.
***
Bata semen segi enam kususuri. Tak memenuhi trotoar. Berlubang-lubang.
Meski ada yang terbelah. Jalan raya sedikit kendur.
Trotoar yang nuntun aku ke pundi-pundi uang, Toko Electro.
Aku merasakan sepoian angin meniup ke wajahku. Celana hitam jahitan tangan tak
mampu melawan arus angin. Sesekali aku kejap-kejip mata. Debu pasir
beterbangan. Apakah jalan di depanku aman? Ada orangkah? Alih-alih aku takut
kesandung mendadak.
Aku menyipitkan mataku. Aku tahu pasti lubang itu akan hampir
dekatku.
-000-
Pintu besi pemilik toko merapat kala senja. Namun saat ini
mereka-para penjaja baraang dagangan-belum berdatangan. Sedang meramal di rumah
mereka. Apa akan hujan atau reda?
Kesehari-harian, para pedagang asongan menjajakan seluruh
barang. Penuh warna nan mencolok. Peralatan dokter, dapur imitasi berbahan
plastik. Pakaian bekas pakai atau murah, aksesoris perempuan. Lebih tertera
cetakan “Made in China” di lapakan.
Udara sejuk, awan merah kekuning-kuningan di kegelapan malam
dan seperti berdegup-degup. Dalam ruang 3x3 meter, belakang lemari kaca. Aku
berdiri. Seorang perempuan melenggak di pusaran pengguna jalan dan para calon
pembeli.
Ia pendek. Rambut sebahu dan menyisakan poni tebal di atas
alis. Celana jeans 3/4 permanis bentuk
tubuh mungilnya dan bergerak lincah melenggak-lengok bak seorang model di catwalk. Berkaos hitam.
“Ko, berapa TV 29" ini?”
Pemilik toko diam mematung.
“Engko...”
“Sebentar yah, Bu,” jawab karyawati toko itu, “Bos...”
panggilnya mengagetkan majikannya.
”Aa...”
“Ibu tuh tanya TV ini berapa?”
Lelaki itu membungkuk. “Maaf!”
“Engko malam minggu melamun.”
“Yang ini ya? Dua sembilan.”
Ibu gemuk itu mencoba menawar. “Kurang lagi.”
“Dua delapan?”
“Mentok lima puluh ribu. Bisaku segitu saja. Saya gak ambil
banyak untung.”
Aku celingak-celinguk.
Ia menghilang.
***
Malam minggu. Ahhh...
Malam yang panjang. Benar jua kata orang. Menurutku ada benar. Malam yang lebih
lama dari hari biasa aku leluasa membaca di toko buku. Mereka tutup setengah
jam lebih lambat.
Aku mengingati diriku sendiri, “Tiang pertama. Ingat di depan
restoran Aneka Rasa.”
Aku melangkah. “Dua.”
Terus berjalan. “Tiga.”
“Empat.”
“Lima.”
“Enam.”
“Tujuh.”
Sampai di bangunan MediaGaul.
“Delapan.”
“Berarti sekitar 400 atau 480 meter dari rumahku.”
Udara dingin. Genangan air di lubang-lubang jalanan. Bata
persegi enam yang sudah tak merata. Naik dan turun. Senja tadi awan dipenuhi
air menguyur permukaan ini. Tanah di gubangan jalanan menghisap air hujan.
Aku naik ke lantai porselen. Disambut kata, “Selamat malam!”
oleh seorang lelaki muda bermata belok. Tersenyum ramah.
Aku balas.
Mulai menggembara ke pajangan buku-buku. Di hadapan rak
Novel, aku tertarik khususnya best seller.
Seperempat jam aku menjajal rak-rak buku.
Aku bawa bacaanku. Tanpa 'baju' plastik mengusik pengunjung
sebelumnya untuk menyobek sampul itu. Lalu aku mutar kiri, ke MiniResto 'Gaul'.
Di depan meja counter, aku berkata,
“Wedang Jahe. Hanget yah.”
“Baik.” Pelayan itu senyum lebar.
Wedang jahe di hadapanku. Aku bayar pesananku.
Aku singkap lembaran pada bab Prolog. Pilih bangku dekat
jendela tembus pandang MediaGaul.
Hanya lima orang termasuk aku di restoran ini.
Suasana dingin rupanya tak menyurut semangat pengunjung.
Mereka mulai penuhi toko buku.
Di resto yang ku duduk sekarang.
Aduh... Kenapa sih perutku mendadak gak enak. Pengen buang
angin melulu. Aku terus membaca. Tunggu! Wedang jaheku. Sayang kan terbuang
percuma.
Makin lama perutku mules. Aku tak mau. Sebelum suara itu
nyaring mengeruak. Bau menguar. Harus pulang. SEGERA. Minggu depan kusambung.
Lalu aku sengaja menaruh buku ini di pojok rak supaya aku ingat minggu mendatang.
Manager MediaGaul memotong jalanku tapi ia terpaku dan
mempersilakan aku. Di bawah kacamatanya terbentuk senyuman. Aku mengangguk. Aku
melenggang keluar. Aku yakin dia sangat mengenalku dengan baik.
***
Tak banyak pembeli datang ke toko malam ini. Bukan tanggal
tua. Apa cuaca dingin, malas keluar.
Aku menarik pintu
besi. Bertepatan melihat seseorang... Rambut
panjang, berkulit sawo matang.
***
Aku jalan kaki, pulang awal jauh dari rencana. Kudengar suara
tarikan pintu besi merapat keras. Seorang pria mengunci pintu.
***
Aku membalikkan badan. Mataku menyapu kerumunan orang. Fokus
retinaku memusat pada seseorang melintas tadi.
***
“Orang itu kenapa lihat aku? Mandang aku terus...”
***
Ia perhatikan aku sambil berlalu.
***
Cahaya lampu depan mobil menyilaukan mataku. Tiiiiitt... Aku menghindar.
***
Mobil hitam itu menghalangi pandanganku. Begitu pula kami.
***
Belakang mobil baru saja menjauh dari wajahku. “Apa ia masih
di sana?” Beat jantungku...dari ketukan
pelan menjadi cepat.”
***
Bola mataku, kau, berserodok. “Dia masih memandangku.”
***
Salah satu penerangan menyoroti jalan raya. Pria tua berkulit
gelap nyandar di tiang lampu. Tinggi menjulang. Kebagian pendaran cahaya. Duduk
bersila. Ia memejamkan mata, lenturkan tubuhnya lemah gemulai. Mengayun dengan
iringan petikan jari. Seolah ia seorang terpencil di suatu tempat luas yang tak
berpenghuni.
“Petikan senar si empunya jemari
besar dan lengan kokoh. Tak tahu apa nama alat musik itu. Sejenis gitar. Mengalunkan
nada-nada lembut.”
Mungkin inilah sebagian orang bertanya-tanya, tak terkecuali
aku.
***
Jantung di dadaku berdegup. Meronta tak normal. Mengapa pula
tatapan kita rembuk dan lama...
***
Apakah aku perlu menghampirinya.
***
Kakiku tertegun. “Ngapain sih aku bengong?”
No comments:
Post a Comment