Acara hantar mas kawin ke
rumah mempelai wanita molor jadi jam 9.20 dari kesepakatan. Rombongan kerabat
mempelai pria berbondong-bondong jalan kaki. Orang tua, kakak-adik mempelai
pria berjalan di garda depan. Mengiring mas kawin satu set perhiasan. Dua
keranjang dari rotan, bertingkat tiga, berisi makanan, dan keperluan lain menurut
turunan adat istiadat. Salam bersalaman orang yang berdatangan dengan sambutan
sanak saudara mempelai wanita.
Tamu wanita berdandan tebal
ada memulas simpel saja, dress selutut,
tak lupa high heels. Para pria tampil
dengan kemeja, rambut diberi gel atau minyak rambut. Begitu juga anak-anak
kecil berlari kecil, bermain dengan seumuran mereka atau sesama kerabat.
Beberapa orang dewasa
mengelilingi meja panjang bertatakan udang goreng tepung krispi, cap cai, rendang, sate ayam, acar, buah,
puding dan minuman es buah.
“Mana pengantinnya?” seru
salah seorang asisten Bo's Photograph.
Pengantin pria
celingak-celinguk cari seseorang yang akan dampinginya foto bersama.
“Pengantinku hilang!”
Para tetamu tertawa gelak.
Keluarlah pengantin wanita dari kamar. Membawa dua kursi. “Aduh, pengantinku
main sembunyi.” Ia tersenyum sipu. Lima menit lalu ia bantu sepupunya mencari
bangku untuk tetamu.
Pemotretan berlangsung lagi.
“Tante gak makan?”
Gadis itu mengunyah makanan
dalam mulutnya.
“Gak. Aku kenyang.”
“Kenapa gak makan, tante?
Tuh sudah gak banyak orang yang antri,” tunjuk gadis itu ke arah meja
prasmanan.
Anak
ini dua kali tanya padaku. Anak perempuanku jarang menanyakan aku seperti itu.
“Aku masih kenyang. Aku keluarga dari perempuan yang nikah itu.”
“Oh...” Aku hanya basa-basi saja. Habis, gak ada teman ngobrolku.
“Mamanya adalah adikku.”
“Mmm.”
“Mau kuambilkan semangka,
tante?”
“Tak perlu. Ini...” katanya
seraya menunjukkan buah lengkeng.
Gadis itu mengganguk. Salah
seorang kerabat pengantin wanita mungkin tantenya juga, menawari kami bolu
kukus apel dan buah lengkeng.
Tante di sebelah gadis itu
berbagi lengkeng ke teman sebelahnya.
Para undangan sebagian
selesai makan. Mereka meletakkan piring di bawah bangku masing-masing.
Gadis itu membawa piring
kotornya masuk ke dalam dapur. Kembali ke asal tempat duduknya. Keluarganya
kebagian tempat di seberang. Dan hempaskan badan ke atas kursi plastik.
Sebelumnya merapikan bawahan gaun merah jambu.
“Umurmu sekarang berapa?”
“35 tahun.”
“Oh.. kamu terlihat muda. Wajahmu
imut-imut. Anakku 39 tahun. Aku suruh dia cepat-cepat nikah. Sampai sekarang
aku belum dapat menantu. Aku seperti ibu hamil tua. Ngidam banget.”
“Maukah kau kukenalkan kepada
anakku?”
Gadis berambut gaya bob itu tertawa dalam hatinya. Nyaris
ngeluber keluar. Namun sempat menahannya. “Tante yang benar saja.”
“Auw, iya. Kenapa?”
“Kami belum kenal sama
sekali. Tidak ada rasa suka.”
“Ah... Itu kan bisa dipupuk
pelan-pelan. Aku dulu menikah, tidak mengenal suamiku sekarang. Kami jodoh
lewat perantara orang tua. Toh nikah juga.” Uban putih menghiasi rambutnya.
“Pertama memang tak ada cinta. Tapi lama-kelamaan tumbuh juga benih-benih
perasaan itu.”
Hahaha.
Lucu tante satu ini, pikir gadis itu.
“Cherdy... Cherdy...”
panggil tante di sebelah gadis itu.
Cherdy?
Apa dia panggil anak perempuannya?
Nongol seorang lelaki di
pintu samping. Rambutnya klimis disisir kiri ala David Beckham. Berkemeja
putih, kerahnya berwarna hitam dipadu dengan celana jeans coklat tua. Keren. Waw...
Di mata gadis itu, lelaki
yang baru ia lihat nyaris sosok idamannya sejauh ini. Tak ada cacat sekalipun.
Paling 'cacat' di kacamatanya. Bingkai kacamatanya berwarna putih
keperak-perakan. Kayaknya kacamata itu bukan kelemahannya. Bahkan menambah
nilai plus pada dirinya.
Namun... sedikit kejanggalan
nyangkut di hati gadis itu. Cherdy... Aku
paling gak kuat dengar nama seorang pria rada kefeminiman.
“Kenalan dong,” kata ibu
lelaki itu.
“Cherdy.”
“Saya Cherry.”
“Tatapanmu menyiratkan...,”
ibu Cherdy mencium sesuatu sedang terjadi..
“Wajah memerah layaknya
namamu.”
Gadis itu benggong. Setelah
ia sadar. Hawa panas membumbung tinggi sampai ke ubun-ubun.
Si tante cekikikan, xixixi.
***
Cherry melirik sekilas pria
tampan itu. Ia sedang asyik bincang dengan kenalannya, setelah menepuk bahu
Cherdy. Mau tak mau menyapa sebentar. Tiba-tiba ia menoleh. Buru-buru Cherry
berpaling.
***
Cherdy cegat di hadapan
Cherry, “Mau kuantar?”
“Ngg?”
“Mama menyuruhku mengantar
kamu pulang.”
“Bagaimana dengan tante?”
“Dia masih di sini. Ngobrol
sama keluarga. Gimana?” Belum ada jawaban, Cherdy bertanya, “Boleh?”
“Aku bersama rombongan
keluarga, jalan kaki. Rumahku dekat aja kok beberapa rumah.”
“Gak napa-napa. Aku mau
ngantar, meski dekat. Coba ngomong sama mamamu.”
Tak
pernah kualami, indahnya semacam nih.
No comments:
Post a Comment