“Kau
dimana?”
“Di
jalan.”
“Mama,
aku mau main itu…” tunjuk sang bocah berusia 5 tahun.
Ibunya
menoleh ke belakang, “Hmm.” Bocah itu pun meloncat dari sofa. Melintasi ibunya.
Ia mengusap rambut depan anaknya ke belakang. “Hati-hati!” Bocah itu berlalu seakan
tak peduli omongan ibunya.
Tak
lama kemudian, bocah itu berganti wujud lelaki berumur 25 tahun ke atas di
hadapannya. Hempaskan tubuhnya. Lututnya lebih tinggi dari bokongnya. Sebab sofa
itu di desain menjorok ke dalam.
“Ngapain
sih?”
“Ke
rumah teman.”
“Ya,
siapa? Aku tahu?”
“Kita
ada tugas kuliah bareng sama jalan sebentar setelah itu.”
“Kau
jalan sama mantanmu?”
“Iya.”
“Siapa
namanya?”
Grada
menyerah, “Dina.”
“Oh
itu. The X.”
“Iya.”
Tiap kali mantanku
dijuluki the X. Serba salah deh. Dikasih tahu salah gak dikasih tambah salah.
Gimana sih yang benar. Kumat deh ngambeknya.
Apa tadi karena aku
telat datang. Biarkan dia lama menungguku.
“Oke
deh oke. Aku salah. Minta maaf.”
“Kita akhiri di sini.”
”Lho!”
Grada membelalak. “Kok gitu? Aku sama Dina ngobrol doang. Udah. Dulu-dulu minta
putus melulu.”
“Abis
aku capek sama kamu. Kau selalu bohongi aku.”
“Kalau
aku beritahu aku takut ntar kamu marah aku. Kamu pencemburu. Aku tahu.”
“Bukan
masalah itu.”
Grada
melunak. “Tara…”
“Mama
kamu…”
“Tiga
tahun aku tunggu kau.”
“Sabar…
Sabar…”
Cocok
sekitar 25 tahun, delapan tahun lebih muda dari pasangannya. Perhatikan wajah
di depannya, berambut panjang. Walau dirinya tak menyukai rambut panjang tapi
rela piara demi permintaan cowok muda itu.
“Aku
tahu kau sebel sama aku.”
“Kau
nuntut keputusan di aku. Sebuah putusan yang berat bagiku, Tara. Mama memang
gak menyukai. Cukup aku sajalah menyukaimu. Aku gak akan selingkuh darimu.
Benar-benar aku sudah berkomitmen denganmu.”
“Jadi
pilih aku atau mamamu?”
“Dia
orang tuaku, Tara.”
“Lebih
baik kita putus.”
“Aku
gak mau.”
Perempuan
itu pasang wajah jutek.
Pria
muda itu menghela napas. “Tolong dong kasih kesempatan aku, kita berdua berjuang
bersama-sama. Mama bisa saja luluh melihat cinta kita. Suatu saat pasti.”
“Aku
bukan lelaki lemah. Aku tahu kamu kecewa padaku yang… Aku mau kita tetap
bersama meski Mama menolak kita pacaran. Aku bukan mudah seorang yang mudah
menyerah terhadapmu. Percayakan kepadaku. Mari kita jalanin saja proses ini.
Kita pelan-pelan bujuk Mama lewat cinta kita.”
Perempuan
itu menjentik-jentikkan kuku jari tengahnya. Ia terharu mendengar perkataan
tadi.
Hanyut
dalam kebisuannya. Matanya lebih tercurah pada kuku-kukunya yang di poles cat warna-warni
mencolok. Ia mengaplikasikan top nail
bening sebagai langkah terakhir memoles kukunya supaya mengkilat.
“Percayakan
saja kepadaku semua! I will marrying you,
Tara.”
Ikatan Tanpa Pernikahan
“Ma,
boleh aku panggil ayah?”
“Tanya
Om, apa boleh?”
Om
itu membungkuk, “Boleh.”
“Ayah!”
Tangan kecil Bunga berlari rangkul leher beton yang lebar. Tiap datang ayahnya
ia bergegas menghampiri pintu saat berbunyi ting
tong.
Lelaki
berjambang, sering membuatnya sebagai barang mainan kepada Bunga. Mengelitik pipi
Bunga. Berumur 7 tahun. Ia sepintar ibunya menurut pendapat lelaki itu.
***
Kesepakatan
kami ikatan tanpa pernikahan. Mas Poppy -panggilanku untuknya- bilang daripada
kita nikah lalu bercerai. Kita hidup bersama. Tinggal satu rumah. Orang tua Mas
Poppy tak menyukaiku memiliki anak sendiri.
Mas
Poppy baik, perhatian sama aku apalagi terhadap Bunga. Sangat sayang. Itu saja
dulu yang paling kuutamakan dalam hidupku bersama Bunga. Cintaku… nomor sekian.
Bunga
adalah nomor satu.
Satu,
dua, dan tiga tahun. Sampai delapan tahun aku mentok. Titik dimana aku berpikir
jernih. Sebenarnya bukan jalan ini ku pilih dan kuinginkan dari Mas Poppy.
Pernikahan abstrak sangat menguras waktuku.
Pikiran
semacam kenapa aku menginginkan sebuah keluarga yang utuh?
Aku
sedih dan tangisi diri. Mengapa aku berpisah dengan Mas Poppy?
Aku
mencari seseorang di luar sana yang mencintai Bunga dan memberikan cinta
kepadaku. Aku akan belajar mencintainya sepenuh hatiku. Dengan seperti tali
mengikat menjadi sebuah ikatan utuh dalam hidupku.
Pacarku, Ma
“Ma…
Moony. Ma.”
“Jangan
bawa masuk ke dalam!”
“Ma…
sudah keputusanku milih dia, Ma. Dia pacarku.”
“Mama
gak mau bertemu muka dengannya! Mama gak terima.”
Gada
membawa pulang pacar pertamanya. Mereka pacaran berbulan-bulan.
Pada
waktu malam, Gada mengetuk pintu kamar ibunya. “Ma, aku masuk.”
Ibunya
baring di kasur. Gada duduk di tepi tempat tidurnya. “Aku gak ingin Moony jadi
perempuan berdosa.”
“Dari
sejak dulu aku peringatkan kau, Gada. Jangan teruskan! Kenapa kau malah berbuat
lebih parah, semau kalian.
“Kita
saling cinta, Ma.”
“Aku
tak bisa melepasnya.”
“Kau
seperti bukan anakku. Yang penurut waktu kecil, Gada. Dia janda. Punya anak
satu. Umurmu muda. Lima tahun dari dia.”
“Aku
gak mau cari perempuan lain. Aku gak akan menikah.”
Jalan Aki Balak
Sepasang
anak belia jalan bergengaman tangan di siang bolong nan terik. Di jalan Aki
Balak. Tanah liat belum diaspal. Rumah-rumah kayu. Tanpa diduga ia disergap
petugas polisi dan digiring ke kantor polisi untuk diinterogasi. Belakangan ia
diketahui tinggal bersama saudara dekatnya di jalan itu.
“Namamu?”
“Safir.”
“Umurmu?”
“17
tahun.”
“Sekolah
dimana?”
“Aku
putus sekolah.”
“Namamu?”
tanyanya kepada seseorang di sebelah remaja lelaki muda.
“Thy.”
“Usia?”
“16
tahun.”
“Sekolah?”
“SMA
kelas 3.”
“Safir,
kamu diadukan oleh orang tua Mia. Bawa lari anak orang.”
“Bukan,
aku gak bawa lari Mira. Dia yang mau ikut aku.”
“Kemana?”
“Tawau.”
“Naik
apa ke sana?”
“Pelabuhan
dari Nunukan. Ke Tawau, ada bus gratis.”
Keduanya
masih saling mengengam tangan. Kemesraan mereka tak luput dari perhatian
petugas itu.
Ortunya gak marah? tanya ibu Safir di telepon.
Aku gak tahu. Aku suka
dia, Ma.
Kau tunggu saja sana.
Mama kirimin tambahan uang untukmu. Ada bagian uang tiket untuk pacarmu, kata
ibu Safir lagi setelah ia mengirim sms minta uang.
“Aku
mau saja ikut dia karena aku suka dia, terlanjur cinta sama dia, Pak. Dia suka
sama aku apa adanya. Kemanapun dia pergi aku ikut.”
Tiga Cangkir Kopi
Nemo
berdiri di depan counter. Gee di
belakang meja, hitung dan menyusun uang. Gee membuka obrolan, “Tiap hari
pasangan itu ke sini entah berapa kali.”
“Sehari
3 kali.” Nemo melanjutkan lagi, “Aku melihat pacarnya itu aneh.”
“Jangan
hiraukan masalah pribadi orang!”
Di
warung Ngopi, Vitae menghempaskan bokongnya ke sofa lembut. Hela napasnya
sekencang-kencangnya. Agar Minnie tahu kekesalannya. “Harus bilang berapa kali
juga jangan ajak bertemu di sini!”
Minnie
buang muka.
“Kau
sengaja kan?”
“Asal
jangan lebih dari tiga gelas sehari, OK!” Dia tetap menatap lawan bicaranya. “Aku
tahu kamu gak suka minum.” Pelankan suaranya, “dia yang harus kamu jaga.”
“Kamu
gak kasih aku pilihan.”
“Aku
cinta kamu.”
Pacarnya
meneguk kopi hampir habis. One shot. Slurppp…
Vitae
geram. Menahan amarah. Rampas cangkir yang kedua di tangan pacarnya. Meletakkan
cangkir di tatakan dengan suara nyaring.
“Gak
beres nih!” Gee menahan lengan Nemo yang hendak menyejukkan kegaduhan dua
sejoli itu. Alis Gee saling menaut. “Jangan ikut campur!”
“Gee…”
“Lihat!”
Lelaki
itu beringus. “Ayo, kita pergi sekarang!” Pacarnya mendongak. “Kalau kita gak
berhasil bujuk Mama? Kalau dia tetap gak terima?”
“Aku
lebih gak terima kehilangan kalian.”
Sebelum
pergi meninggalkan meja, dia menyeruput sisa kopi hitam tadi. Vitae sayang
mengelontor kopi berkualitas itu.
No comments:
Post a Comment