Mami memaksaku pulang
kampung pasca kelulusan kuliah. Aku tolak. Mamiku berkata, lama kau gak pulang.
“Pergi lihat Papi!”
Mami tahu sekali
kedegilanku dan cara ngatasi.
“Lin, bang mang Mami ba?” bujuk Mami memelas.
***
“Kok lama sampai?” ucap
Kity.
“Macet kali. HAHAHA.”
Pak Taming ketawa
kikik. “Macet? Kota ini besar, namun tak banyak penduduk nan sunyi saat malam,
Pong Pong...”
“Mobilnya macet, Pak
Taming,” seloroh Pong Pong, menandatangani laporan stok barang gudang.
Pak Taming tertawa
kecil, “Oh... Gitu,” sambungnya, “Pong, Bos ngomong sama aku tadi. Tami, kau
enak, pulang cepat hari ini. Tu...”
“Apa? Pulang cepat?”
serobot karyawan paling lama bekerja dalam ruangan itu.
“Tumben pendengaran Pak
Soeyadi tajam, biasa dipanggil mesti berulang kali. Padahal sudah di samping
beliau,” keluh Kity dalam hati.
Pak Taming melanjutkan,
“Tugasmu belum selesai. Lalu aku bilang, pekerjaan memang gak pernah selesai,
Bos…”
Disambut tawa
terbahak-bahak dari Pong Pong. Pak Taming senyum kalem.
Di tengah mereka
ngobrol, Pak Soeyadi juga berngobrol dengan Kity.
“Pergi nge-gym yuk, Kity?” Pak Soeyadi ketik-ketik
di keyboard. Ia menyusun konsep surat
perjanjian. Bila urung selesai, Bos pasti mengultimatum lanjutkan di rumah.
“Pacarku ajak minum jus
di pinggir.” Sungai Kayan sering disebut pinggir, tempat nongkrong jelang sore
hingga malam.
“Ooh...” sahut Pak
Soeyadi.
“Pak Taming, temanin
Pak Yadi? Perut Bapak makin menggunung aja.”
“Ohh... Kagak usah,
Kity. Sore-sore ajak istri jalan, olahraga juga.”
“Aku mau lihat gimana
rupa anak Bos,” ujar Kity.
“Pong, kau che me yang? Tertarik sama anak Bos?”
“HAHAHA.”
Ia beranjak keluar.
Kity menoleh ke arah
Pak Taming, “Malu dia, Pak.”
Pak Taming
senyam-senyum.
Pong Pong berjalan ke bangunan
sebelah. Ia mengerem dirinya oleh karena mobil Estrada warna hijau, membelok
kiri untuk parkir di depan rumah sekaligus toko bangunan.
Seorang wanita tinggi
langsing bagi ukuran seusianya, bahu yang lebar. Ia membuka pintu mobil.
Setelah menutup pintu, sambil lalu ia tersenyum pada Pong Pong. Kemudian masuk
ke rumah itu. Disusul dentuman suara pintu belakang mobil. Derap kaki seseorang
mengekori si Nyonya.
Wanita itu menghentikan
langkahnya dan berdiri tak jauh di sebelah lelaki yang usianya terpaut enam
tahun, rambut tipis dan memutih.
***
“Alin, ciao Papi!”
Papiku berupaya senyum.
Aku ngeloyor. Terus ke
dalam. Tanpa tergerak menoleh sepintaspun.
***
Disaat bersamaan,
seorang bawahan mengamati gelagat reaksi gadis muda itu, yang lebih pendek dari
ibunya tadi.
Nyonya pun menyusul
putrinya.
“Kok
anaknya gitu?” batin karyawati itu. “Aku sempat ‘menangkap’ di matanya.” Kemudian
pandangannya lari ke Bos.
Senyum si Bos tertahan
di situ.
Dan tatkala sang
majikan berpaling. Ia berembuk pandang sama karyawatinya. Spontan gadis itu
menunduk.
Datang Pong Pong yang
berkacamata tebal menyerahkan hasil laporan ke meja Bos.
***
“Goban... Goban...
Goban...”
Kresek...
Kresek...
“Goban!”
Aku menekan tombol PTT
kurang lebih 2 detik di HT saat bicara dan tahan, “Iya, Goban, copy.” Kulepas tombol itu setelah
selesai bicara.
“Ada Bos? Siapa ini?”
“Bos di kamar mandi,
ganti.”
“Ok. Copy. “
“Dari mana nih?”
“Cepe. Ganti.”
“Nanti kusampaikan.
Ganti.”
“Copy.”
“Standby.” Aku lepas tombol di HT.
Mengenakan kaos kutang,
ujung kaos dimasukkan ke dalam celana pendek biru tuanya. Papiku keluar dari
kamar mandi.
“Cepe panggil di radio.”
“Hah! Aduh...,”
bergegas ia ke tempat meja radio. “Kenapa gak panggil aku?” menghempaskan
tubuhnya di bangku dan memanggil, “Goban, Goban, Goban.”
Aku menuju ke dalam
ruang tamu.
Lama tak menyahut.
Papiku ambil setumpuk kertas folio yang telah dipotong separuh. Ia
mengibas-kibas.
Menekan tombol di HT, “Goban...”
***
Semua karyawan sudah
bekerja setengah hari di hari Sabtu. Kecuali...
Seorang tukang masak
menuangkan kopi untuk dua orang laki-laki berleha-leha di kursi plastik.
“Bi, anak juragan
pulang besok?” tanya lelaki muda profesi supir.
“Iya.”
“Lama aku tidak lihat.
Sejak dia dikirim sekolah ke Jakarta,” jelas pekerja pertama di toko sebelum
rangkap jadi karyawan perusahaan itu.
“Bos punya anak berapa,
Bu Endah?”
“Tiga, nomor dua kuliah
di Amerika. Yang kecil masih SMA di Jakarta. Dengar-dengar minta ke Amerika
juga,” terangnya ceplos-ceplos penuh semangat.
“Lanjutin di sana. Anak
paling disayang sama Bos.”
“Siapa yang disayang
Bos?” tanya si supir.
“Anak terakhir. Sayang
banget. Hampir tiap sore jatah buat nelepon ke Jakarta tanya kabar anak. Sekolah
gimana? Sudah makan? Makan yang banyak. Disuruh rajin belajar, jaga kondisi. Wis macam-macam Bos itu kalau bicara
sama anaknya.”
“Lho, kenapa yang cewek
di Jakarta.”
“Moh...” Bu Endah
moncongkan bibirnya sambil geserkan tubuhnya sedikit.
Pekerja tua itu
menambahkan, “Anak perempuan untuk apa sekolah tinggi-tinggi.”
“Aku dengar yang ketiga
ini mirip Bos. Sama pintar dengan Bapak,” kata Bu Endah. “Iya ya. Kenapa ya,
Mas? Sing cewek?”
“Bukannya karena dia,
anak bontot.”
“Aku dengar perusahaan
mau dikasih ke anak cowok ae.”
“Siapa bilang?”
“Pak Taming.”
Lelaki yang muda
berpikir keras, mengepul asap rokok, “Bisa jadi.”
“Anak perempuan untuk
apa dikasih sekolah tinggi. Paling urus rumah tangga juga, Bi,” ucap pekerja
tua.
“Aku lihat mainan
anaknya masih ada di ruang keluarga.”
“Iya. Itu kepunyaan
Roby. Setiap hari aku disuruh Bos bersihkan debu. Disuruh jangan sampai pecah.”
“Bibi, kau harus
hati-hati!” saran pekerja tua.
“Iya. Tahu aku!” bentak
Bu Endah pada pekerja tua. “Pagi tadi Nyonya banyak belanja. Sudah kupaket.”
“Botih...” teriak Bos
dekat jendela.
Supir itu berlari.”Ya,
Pak.”
“Kamu pergi beli tiket
speed atas nama Oviana dan Reni.”
“Jam berapa, Pak?”
“Ikut siang. Speed
langganan. Nyaman naik yang itu.”
“Iya.”
“Tunggu apa?”
“Uang tiket, Pak?”
“Kamu ada uang?”
“Ada.”
“Nah, pakai uang itu.
Senin lusa minta sama kasir.”
“Baik,” Botih bersuara
lirih lantas pergi.
“Kau masih di situ,
Haryo?”
“Ya.”
“Kau tunggu aku, lima
belas menit lagi.”
“Iya.”
“Antar aku pergi
jogging.”
“Baik, Bos.”
***
Aku diajak ke pasar
pagi. Hari terakhir. Mami borong udang sungai bila ada. Bagi-bagi dengan
keluarga besarku.
Inai-inai dengan ciri
khas telinga berlubang panjang menyusun rapi 3 biji buah jambu madu. Membawaku
ke semasa kecil di kapal motor kayu. Anyaman manik-manik berwarna-warni dan
uang logam di gendongan bayi, topi. Aku heran dimana mereka dapat manik itu.
Apa buat sendiri? Paling kuperhatikan terus adalah telinga mereka. Bagaimana
pula bisa sepanjang itu? Sekarang pada anak cucu mereka jarang kutemui.
Mereka jualan. Barang
dagangan mereka beralasan karung beras, duduk lesehan, mereka susun rapi hasil
panen. Tumpuk-tumpuk, dua di bawah, satu biji di atas.
Ada gambas yang sudah
dikeringkan tanpa isi dijadikan serabut pencuci piring. Mamiku suka pakai.
Ketika rumah di Jakarta habis, Mami pesan Bibi Endah minta dikirim
Satu minggu di sini. Sungguh.
Liburan yang terasa berat untukku.
Aku tak pasti kembali.
Tapi... aku yakin satu
hal.
Yang dia siapkan,
memilah-milah seeorang. Sesuai pertemuan di meja makan malam,hari pertama.
“Nanti kupikirkan
bagian apa yang cocok, tinggal pilih tambang emas atau kebun untuk calon
suamimu?”
Kesan kecil
menghantuiku dalam setengah sadar setengah lelap. Di tengah hentakan demi
hentakan arus ombak dengan speedboat yang kutumpangi menuju kota Jakarta.
Kampungku walau ia disebut kabupaten dan luas. Lucu tak ada transportasi
airport langsung ke kota besar. Berapa kali kami harus transit.
“Mami minta panggillah Papi. Pamit sama Papi.”
Aku merebut keranjang
belanja Mami.
Tiba di waktu
mendebarkan dan kaku. Lidahku keluh. Kupaksakan dengan ucapan, “Pergi...” Aku
berlalu di hadapan beliau.
“Hmm,” gumam Papi.
Walau Papi terkadang
mampir ke Jakarta. Aku jarang bertemu dengannya. Dua tiga hari setetal itu Papi
kembali ke kota kelahirannya.
Aku juga tidak berjuang
menemui dia.
Tak tahu mengapa.
Ia serasa orang asing
bagiku.
No comments:
Post a Comment