Maukah kukisahkan Malin Kundang di zaman modern?
Masalah memuncak ketika Mamimu masuk ke UGD. Anak lelakiku
menelepon kepadaku, “Ma, Mama tenang dulu.” Hatiku merasa tak enak. Pasti
berita buruk. “Tante masuk rumah sakit.” Hatiku melayang jauh nelangsa. Apakah
dia akan pergi? Hatiku merintih. Baru beberapa waktu lalu kuatur
batin ini kembali ke semula. Haruskah ku bersedih lagi merelakan kepergian
kedua saudaraku di waktu yang berdekatan.
Dua hari lalu
aku mengujungi adikku, Ayi. Aku katakan kepadanya, “Aku mau ke Tanjung beberapa
hari yah.” Dia menatapku. Sebentar-bentar bolak-balik badan. “Apa aku bisa
menembus isi hati dia? Apakah dia paham perkataanku.”
Mamimu telah
lama tak bisa bicara. Kami tak mengerti apakah dia sendiri yang tak mau bicara.
Ataukah memang dia tak bisa mengeluarkan suaranya.
Aku tak tahu.
Dari situlah
Mamimu dengan saudara-saudara perempuan Mamimu menjadi jauh. Namun hati kami
dekat setipis selembar kertas putih.
Dia sering
mengunjungiku semasa usia pernikahan seumur jagumg. Karena aku dahulu kecil
menjaganya saat kami kehilangan orang tua. Dan jarak rumah kami sangat dekat
setelah Mamimu menikah dan kami menetap di kota yang sama. Mudah saja dia
datang kemari. Membawa kalian diantara satu entah si tengah atau si bungsu.
Kadang berdua saja dari kalian tiga bersaudara. Kamu lebih sering dibawa oleh
Mamimu ke rumah. Masih ingatkah kamu? Kamu masih kecil. Seumuran anak SD.
Kata Mamimu,
“Dia berbulan madu denganku. Tapi di hotel, aku sendirian. Dia telepon temannya
di sana, dia yang ajak mereka keluar malam.”
“Aku tidak
diperbolehkan sentuh laci tokonya?” curhatnya suatu ketika.
“Apa?”
“Iya. Sebelum
dia pergi antar barang ke pelanggan, dia menghitung jumlah seluruh uang di laci
meja. Baru dia tinggalkan kunci lalu jalan.”
“Kau tak
bilang apa-apa kepadanya?”
“Aku mesti
bilang apa?”
“Jadi kau
diam saja?”
Mamimu
terdiam.
Aku
menggeleng kepala. “Mana bisa kamu diamin terus. Dia akan terus memperlakukanmu
seperti itu.”
“Kalau kamu
diam dia akan menganggapmu lemah!” Aku meninggikan suaraku. Amarahku naik. Tak
kusangka Mamimu seorang yang lemah dibalik tatapan yang terkadang tajam, sinis.
Mungkin
Mamimu kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua sewaktu kecil.
Anakku perempuan pernah bilang, “Aku pernah lihat paman
Djatmida makan di restoran sendirian. Tapi kenapa cuman makan semangkok mie?
Mie instan. Jauh-jauh ke situ hanya makan mie. Aku heran
ketika itu. Bertanya pada diriku sendiri. Apa Tante tak bisa meminta masakan
mie untuknya? Aneh...”
Dulu anakku
tak mengerti, beranjak dewasa baru dia mengerti.
Kuceritakan
kepadamu.
Dimulai
kepergian buah hati yang paling dia sayangi yaitu kamu-Rudika Djatmida-ke kota
dingin, Semara.
Satu unit komputer lengkap dengan kamera untuk memonitor
kalian. Namun, itu semua tak mampu menolong kerinduannya
kepadamu, Rudika. Dia sangat, sangat mencintaimu. Aku tahu kamu mencintai
Mamimu.
Dia sungguh
teramat sangat menginginkan... hanya dirimu. Asal tahu saja, selepas lulus SMU,
Djatmida mengirimmu ke Sekolah Tinggi Bidang Teknologi di Semara. Mengikuti
abangmu. Hidup adikku berubah drastis. Perkembangan Mamimu dari tahun ke tahun
semakin memburuk. Dia tak mengenaliku. Hingga kata Papimu, “Dia alami
penyusutan otak.” Jika aku berkunjung menjenguknya, dia selalu berujar, “Dia
lagi. Datang lagi. Datang lagi.”
Dan ucapan
yang paling kudengar, “Semara. Semara.”
Satu hal
hampir ku lupa. Papi kalian dulu menyukai adikku berarti juga kakak Mamimu.
Hanya saja adik Tante tak menyukai Papimu. Selain itu dia telah dijodohkan
dengan pria yang gagah, baik. Adik Tante kebetulan suka kepribadian calon
suaminya.
Entah
mengapa, Papimu malah menikahi Mamimu. Dulu aku tak tahu alasan mengapa ia
masih mau menikahi Mamimu.
***
Di pojok, kuberdiri
mengamati para penjenguk-kakak perempuan suamimu serta anaknya juga dari
saudara kita datang menengok. Djatmida tiba-tiba mengelus-ngelus rambut di
kepalamu.
“Anak-anakmu
besar, tinggi, ganteng-ganteng, dan cantik, Yi. Apakah kamu bisa melihat jelas
mereka? Chandi, Rudika dan Sisca datang menemuimu, Yi!”
Suatu kali
anakku menjengukmu, dia bilang kamu memberikan respon berlebihan kepada dia.
“Tante tahu, Ma. Dia bisa kenal orang. Dia ingat aku. Matanya berkaca-kaca
lihat aku,” ucap anakku dengan yakin. Dia pun terlarut sedih, menangis
melihatmu karena kamu berikan respek.
Kubisikkan ke
telinganya tadi, “Anakku mengatakan anakmu sekarang tumbuh besar dan gagah.
Anak dari anakku juga berkata anakmu mirip orang Korea. Ketika dia bertandang
menemani kakak perempuan kita ke rumahku.”
Kuakui memang
anakmu tampan, bertubuh subur dan pengakuan istrinya di video pernikahan
mereka, berkata, Chandi itu romantis.
Si sulung ini tak pulang-pulang. Hanya sekali. Untuk mengurus
KTP. Kudengar kabar dia mau menikah.
Jangan heran
bila kau masih paham, aku lama tak bertandang ke rumahmu. Aku tak larat
mengunjungimu. Melihatmu terkujur kaku padahal aku yakin hatimu dan pikiranmu
menjangkau perasaanku. Aku tahu kau ingin ngomong. Tapi aku sudah mengetahui
perasaanmu.
Kau makin kurus. Kulitmu membungkus tulangmu. Sakit hatiku
melihatmu. Perlakukan engkau semacam ini. Kadang ku
bertanya apakah dia memang sengaja membalas pada cinta yang tak terbalas?
Apakah seperti itu? Sungguh tak kumengerti pada suamimu. Ku tahu dia bisa bermulut
manis pada setiap orang. Memanjakan buah hatimu. Dia tahu cara sedemikian.
Buktinya anak-anakmu menyukainya. Heran.
Aku teringat anakku pernah tunjukkan kepadaku. Di layar hape,
aku melihat putrimu menulis status di akun jejaring sosial begini, “We love you, Dad.” Pas di hari ulang tahun Djatmida.
Aku... aku... Hatiku tersayat perih. Tidak ada
rasa peduli, akan rasa cinta pada ibunya yaitu kau, Yi.
Aku tak
berdaya. Kau membuatku tak bisa tidur.
Kau selalu
terngiang-ngiang di pikiranku sepulang aku menjengukmu.
Meski aku
tahu tak ada perkembangan berarti pada dirimu. Bikin aku frustasi.
Anakmu yang
kau kasihi kini telah di sisimu.
Menemanimu.
***
Aku menuliskan ini untuk mengenangmu. Ibuku terima telepon.
Pasti yang diomongin hanya berulang-ulang. Dulu ia berkata kepada kakakmu di
Tanjung, suara ibuku berubah sendu, “Anak perempuannya pun tinggalkan mama
pergi mencari ilmu setinggi langit. Anak berpendidikan tinggi untuk apa...”
Suaranya kian serak lalu memekik, “mama sudah tak ada...” Hatiku pedih. Aku tak
tahan kalau dia menangis. Aku segera tahu dia akan menangis. Akhirnya tangisan
itu pecah.
Aku mendekati dia. Menepuk bahunya, “Ma, sudahlah, Ma.”
Dia
mengibaskan tangan.
Aku pergi
dari situ. Mau saja kurampas itu telepon. Tangisannya meraung-raung sehingga
aku mendatangi dia lagi dan dia pasrah serahkan hape kepadaku. Kusambut dan
kutempelkan ke telingaku, “Tante..” Di seberang sana Tante Win masih bicara.
Aku tak terlalu menanggapinya dengan serius. Kubilang saja, “Tante, sudah yah, Mama nangis.”
Begiulah mengakhiri ketenangan ibuku.
26 Juni 2015
Kau pergi
tinggalkan aku, kami, saudara perempuan dan saudara lelakimu. Aku tahu kabar
kepergianmu dari kakakmu di Tanjung. Kita sekota tapi tak ada yang mengabariku.
Justru aku tahu dari mereka yang jauh dariku.
Lihat!
Bagaimana mereka bersikap terhadapku. Oleh karena ku lancang ke mereka.
Sehari
sebelumnya aku berfirasat adikku yaitu kakakmu dan suaminya melewati rumahku.
Aku curiga mereka pasti dari rumahmu. Dan kumendatangimu sebelum kau pergi.
Yang menjagamu
mengatakan kau...
Yah, apa guna
jika banyak yang menjagamu di saat dirimu sudah tak berdaya.
Mengapa dulu
kau tak diberikan kepada kami untuk menjagamu. Pasti engkau lebih baik
sekarang. Pasti bisa jalan. Aku tak habis pikir mengapa suamimu tak mengizinkan
kami membawamu terapi.
Kini, kau
bisa melihat anakmu paling kau cintai. Dari kejauhan, tempat yang damai. Lepas dari selang-selang
menyakitkan yang membuatmu tampak tak lebih membaik.
“Aku sudah lama rela melepas kepergianmu, Yi.”
No comments:
Post a Comment