Nama dia,
Laurent.
Berdiri di
tengah-tengah alun kota. Orang-orang
bertengger di railing jembatan. Banyak pasangan meluk-pelukan. Bercumbu di
depan khalayak. Bercengkeraman sambil berjalan iringan di himpitan manusia dari
berbagai usia, dari pelosok luar kota.
Seorang
lelaki dewasa dalam kelompok mereka merangkul kaum wanita dalam modus penipuan.
Seorang perawakan tinggi kekar bak atletik. Berkemeja
hitam mendatangi gadis itu. Tangannya menempel di dada, “Hi! Saya Laurent. Kamu
bisa bicara bahasa Inggris?” katanya, dalam bahasa Perancis.
Gadis itu
membalas dengan bahasa Perancis. “Ya, tentu.”
“Kamu
darimana?”
“London.”
“Kamu terlihat begitu cantik. Aku kehilangan teman-temanku. Kamu
tadi menyapaku, kamu mahir bahasa Perancis?”
“Itu hanya
ucapan umum. Jadi aku bisa menjawab.”
“Merci,”
sambung gadis itu. “Maukah kamu, kita sambil minum kopi bercerita?”
“Wow, dia yang malah mengajakku,” batin Laurent.
“Of course.”
Pelayan kemeja putih, celana hitam panjang, rompi hitam
dengan apron. Membawa baki di di sebelah kepalanya. Dengan lincah dan sedikit
atraksi dia memamerkan keahliannya dalam melayani pengujung. Meja
kedai kopi itu terletak di luar kedai. Orang berlalu lalang. Pemandangan
ciamik. Di hadapannya seorang wanita cantik. Geser sedikit dia bisa sambil
melirik sekilas memantau gadis seksi yang barusan lewat. Bercelana pendek, tank
top. Dua orang berkacamata hitam.
Pria jangkung
bersenda gurau dengan wanita baru dikenalnya. Sampai subuh dia terbangun dengan
amplop putih di samping ranjang. Di bawah kap lampu kuning mewadahi amplop
tebal itu.
Berisi uang
beberapa lembar. Kepalanya masih pening. Seingatnya dia minum kopi. Kenapa bisa
di sini?
Biasanya dia
merayu gombal wanita ke sini. Mengapa kali ini dia bisa lupa kejadian semalam.
-$-
Tak lama gadis
itu muncul di media koran. Sebuah artikel tentang pekerjaan di rubrik Job di koran terbesar
tersebut. Tampil sebagai dokter.
-$-
“Kenapa kamu jarang ngumpul bareng geng kami, kau jarang merayu 'cintamu'?”
“Aku berhenti. Mau cari uang halal.”
“Yah, betul kau temukan perempuan itu! Dia
uang halalmu.”
Dia tak
mengindahkan omongan temannya. Terbayang satu malam dengan dokter muda itu.
“Apa dia ada sekecil
pun memikirkan diriku?”
“Kau gak
pergi mencari dia.”
“Buat apa?”
“Kok buat apa? Kencani dia!”
“Kau tahu tempat kuliahnya, bukan?”
Laurent bergeming.
“Jangan terpakulah. Ini bukan dirimu. Kau orang yang gerak
cepat!”
“Apa dia mau
menerimaku? Jika tahu aku siapa.”
“Kau tanya
saja dia. Tanyakan itu padanya bila kau ketemu dia.”
No comments:
Post a Comment