Para penikmat kopi, helloos…!
Kendati di
kota besar mulai beramai-ramai buka coffee
shop. Para pebisnis tak kehabisan akal. Mereka melihat peluang untuk
membuka coffee shop yang saat ini
lagi tren di kota besar. Atau buka cabang baru.
Pasarannya
adalah kota kecil yang tengah berkembang.
Nah,
mereka-para pebisnis-gencar berekspansi untuk masuk ke ranah daerah-daerah yang
lebih berpotensi. Misalkan owner coffee
shop yang kami kunjungi.
“Kami ingin
masyarakat sedikit mengenal tentang kopi,” ujar pemilik warung Ngopi, Allan
ketika ditanya mengapa membuka coffee
shop.
“Hanya
sedikit?”
“Untuk tahu
lebih. Harus datang ke sini,” serunya seraya tertawa.
Berdiri di kota kecil, Tarakan dengan
tempat parkir di lantai dasar. Kalau ke warung kopi mereka, kudu naik tangga
dahulu.
Di lantai dua, kaca bening yang tinggi nan lebar sebagai
pemisah antara gerai dengan dunia luar. Tiang-tiang
penopang kaca diberi cat warna hitam. Dinding beton dalam ruangan berwarna
coklat gelap dan sedikit aksen warna coklat muda. Permainan warna yang tak jauh
dari warna-warna biji kopi.
Cafe ini mengusung konsep alam dan
eklektik (memilih dari berbagai sumber). Unsur kayu dengan urat-urat kayu alami
pada lantai dan meja dipertahankan. Menambah nilai estetika pada ruangan. Perpaduan
unsur kayu dan bata memberikan nuansa cozy, nyaman dan cocok sekali bagi para
pengunjung untuk bersantai.
Kita berasa
dalam rumah sendiri!!
Kalian bisa
memilih area indoor atau outdoor yang sangat adem di kala malam
hari. Istilah-istilah asing dalam ranah perkopian tak luput disisipkan ke dalam
garis horizontal warna hitam 10 % sebagai aksen pada jendela. Melalui kaca
transparan itu, kalian minum-minum kopi sambil dihidangkan permainan lampu dari
rumah penduduk dan siluet-siluet pohon di bukit.
“Jenis kopi
yang ditawarkan murni berasal dari daerah. Menu yang tersedia ada Hot drinks based milk like Caffee Latte, Cappuccino, Moccacino, and
Cold Drinks. Dengan menu dasar seperti kopi hitam
maupun kopi susu,” terang Allan soal menu dan teman sandingan seperti kentang
goreng, roti bakar.
“Kami
melayani sistem take out,” imbuhnya.
Penikmat
setia kopi, kalian bisa membeli kopi bubuk untuk diracik sendiri ala kamu bila
mau menyeduh kopi atau bereksperimen di rumah.
Guys and girls, fell free to try it!
Harap dicatat yah jam buka warung! Senin-Jumat
mulai pukul 07.00 pagi sampai 12.00 siang lalu jam 06.00 sore hingga 10.00
malam.
Hari Sabtu full time.
Dan hari Minggu, that's close.
Sesudah mengedit
dan cukup memuaskan, Geizya Tanaja langsung klik tombol publish. Ia mem-posting artikel baru di blog selepas
mengunjungi Warung Ngopi.
***
Allan berjalan sambil mengantongi celana. Dengan gerakan
perlahan dan lembut seorang perempuan berusia 26 tahun melingkarkan tangan ke
lengannya.
Pasangan itu
sama-sama melangkah pelan dan seirama. Jalan mereka sangat santai boleh
dibilang mereka menikmati suasana malam.
Allan sengaja parkir kendaraan di bawah di
tepi jalan. Mereka memuncaki
bukit yang tak begitu tanjak. Padahal di lantai dasar-tempat yang
mereka datangi-tersedia tempat memparkir mobil.
Mereka tiba
di anak tangga kayu pertama yang dipoles cat hitam. Dinding di bordes tangga
dibentuk
ukiran pola daun, biji
kopi dan pohon kopi. Lalu tepat pada tangga puncak, tertera kata Warung di daun
pintu kaca dengan huruf yang
lebih kecil dari kata
Ngopi. Di bawah nama logo, sebuah cangkir dengan garis berliukan yang
melambangkan uap. Di liukan itu ada beberapa bentuk yang menunjukkan
simbol-simbol biji kopi dan
daun. Pekerjaan ini khusus dari calon
iparnya yang mendesain nama logo kafe.
Allan membuka pintu kaca transparan, “Please, my princess!” Ia
membungkukkan badan seraya tangan satunya mempersilakan Gee-panggilan Allan
kepada Geizya-masuk.
Gee tersenyum manis dan menggidik bahu. Kakinya mendarat ke lantai kayu. Melihat
meja counter yang didesain dwi fungsi. Bagian luar
meja tersusun buku-buku
fiksi yang dibentengi kaca bening.
Kemudian Allan mendahului langkah Gee untuk menarik kursi
dekat jendela kaca.
Di seberang
sana lampu-lampu rumah penduduk bagaikan kerlap-kerlip bintang di langit. Ia
sangat menyukai. Angkat
topi buat
Allan menemukan tempat sestrategis begini. Dan
sangat tepat bila ia
memilih posisi warung dikelilingi rumah warga, alam dan tak jauh dari jalan
raya.
Jelang larut
malam begini penduduk rumah itu berdengkur, menonton, mungkin ada yang bekerja
malam. Jika benar, apakah mereka mengetahui keberadaan warung yang akan menemani
mereka agar tetap terjaga dari rasa ngantuk.
Perlahan-lahan
Gee hempaskan tubuh di sofa empuk.
“Moccacino?” tawar Allan saat pikiran Gee
melayang ke seberang.
Jauh-jauh
hari Gee telah memesan tiket pesawat namun kendala menghampiri sehingga ia tak
sempat menghadiri grand opening. Baru
sekarang ia dapat membayar janji.
Belum puas
melahap benterang cahaya di luar. Gee menoleh dan angguk kepala.
Kemudian ia
mencegat pergelangan Allan sebelum berbalik.
“Ng?”
“Aku mau tawarin seseorang mengisi bagian
pelayan?” ketika Gee teringat akan sesuatu yang ingin ia tanyakan langsung pada
Allan.
Allan
meletakkan tangan di tepi meja, “Siapa?” lalu mencondongkan badan, “Kamu?” Jarak muka
mereka kian dekat.
Mereka saling
menatap.
“Pluk.” Gee
memukul pelan lengan Allan, “Bukan, temanku.”
Pipi Allan mengembung lalu mengangguk pelan.
“Tadi sore
dia minta tolong cari pekerjaan.” Gee geleng-geleng kepala dan menyeringai,
“Aku nggak nyangka bisa kontak dengan dia.” Tangannya masih bertahan di lengan Allan.
Tak heran raut wajah Gee begitu sumringah. Mata
berbinar-binar. Ia bersemangat sekali jikalau bersua dengan teman lama. Apalagi teman perempuan.
Allan turut ikut senang melihat Gee segembira itu. “Tunggu.”
Sudut bibir Allan kembali normal. Ia berdiri tegak dan berpikir sejenak. “Tadi
kamu bilang dia minta tolong cari pekerjaan.”
Gee
mendongak. “Iya. Dia teman sekolahku.”
Allan melipat
tangan dan pahanya merapat di sisi meja. Otomatis tangan Gee terkulai bebas.
“Jangan bilang ia seorang cewek?”
Gee balik
bertanya, “Kenapa? Apa kamu nggak terima seorang perempuan?”
“Tidak.”
Allan melihat Gee sedang menatapnya dengan tajam, “Untuk saat
ini.”
“Di Jakarta
kamu terima?”
“Di sini baru
buka. Kalau sudah lancar
akan kupertimbangkan. We will see.”
Gee melebarkan senyumnya. “Dia cowok kok.”
Allan melengus. “Aaaa…” Jari Allan menjepit hidung Gee. Namun
lembut.
Gee terkikik.
Ia puas. Ia sukses mengacau Allan.
“Bagaimana
dia mengontakmu?” kata Allan.
“FB. Dia
kirim pesan ke aku. Gimana?” tanya Gee pada Allan.
“Ng…” Allan berpikir sejenak sebelum memutuskan, “Okey, suruh
ke sini besok.”
Tanpa berpikir lama ambil keputusan, pertimbangan atau
penolakan. Tak seperti biasa. Allan menerimanya. Baginya bila direkomendasi
sama tunangan pasti telah dipikirkan jauh-jauh hari dan ia percaya kepada Gee.
Pilihan Gee. Pilihannya.
Dirasa tidak ada apa-apa lagi yang hendak dikatakan, Allan
berujar, “Tunggu ya!” Menyentuh lembut punggung tangan Gee hingga
genggaman tangan itu melepas di ujung jari sejurus Allan berbalik badan.
“Mmm,” desis Gee.
Lega...
permintaan Gee dikabulkan sama Allan. Sedikit kekhawatiran sempat menempel
namun ia yakin usulannya akan diterima sebab warung Allan asli membutuhkan
tenaga untuk melayani orang. Memang baru buka. Namanya bisnis kadang
datang ramai kadang sepi. Untuk sementara
waktu Allan mengandalkan Uki melayani para pengunjung.
Pemilik
rambut sebahu itu menjelajahi sekitar kedai kopi.
Semenjak
Allan mengenal aroma dan mencicipi rasa kopi, lantas mengubah drastis orientasi
minum dalam hidupnya. Membuatnya jatuh cinta dan rasa keingintahuan yang terus
merongrongnya tanpa henti. Jadi ia pun berkeputusan untuk mendalami dan
mempelajari ilmu kopi.
Sehingga oleh
ayahnya, Allan dibawa ke pilihan terjun dengan bangun bisnis sendiri atau
bekerja di perusahaan ayahnya. Allan menyadari sendiri bahwa ia berjiwa dagang.
Mungkin pengaruh turunan dari ayahnya. Jeli melihat kafe bertaburan di kota
besar. Lalu ia berani mengambil peruntungan dengan membuka coffee shop di Jakarta.
Ia sukses
dengan waktu tak lama ia lebarkan sayap ke daerah. Meskipun
cabang di Tarakan masih sepi.
Gee kagum sama tunangannya. Allan pernah bercerita kepadanya.
Kopi...
Tak akan
pernah habis untuk di obrak-abrik.
Selalu
menimbulkan rasa penasaran dan ingin mengali apa saja tentang kopi. Selalu
punya banyak cerita. Tersangkut paut seperti mata rantai. Ia mempunyai misi
yang kuat dengan kopi. Dari sanalah ia berniat untuk mulai menyasar dan survei
di daerah mana yang layak berpotensi untuk membuka kafe.
Sehingga di
tempat mereka sekarang berada.
Gee kembali
mengingat ketika ia mengkonfirmasi permintaan teman atas nama Tomi saat membuka
aplikasi jejaring sosial. Berikut puluhan pesan masuk
dari kalangan temannya. Salah satunya...
“Hallo,
Geizya, kan?”
Ia balas
pesan yang nangkring beberapa minggu lalu. “Apa kamu Tom Tom?”
Setelah
dibalas Gee, Tomi tanam pesan ke Facebook
Gee. “Aku Tom Tom, Geizya. Besok malam kita bisa chatting nggak? Aku pengen ngobrol panjang sama kamu. Abis,
kelamaan kalo aku balas hari ini kamu balas aku besok, begitu seterusnya. Kalo
iya, jam 7 malam. OK.”
Seminggu
kemudian. Yaitu tadi sore. Gee iseng buka Facebook. Senyam-senyum membaca status dinding. Banyak pesan
masuk yang belum dibacanya. Di kotak obrolan, sebelah kanan foto Tomi ada bulatan
hijau.
Hei, Tom.
Kamu lama...
(ketika itu
Tomi lagi mengetik, tertekan Enter)
(Gee segera
balas) Maaf, aku baru baca pesanmu. Aku
jarang buka fb-ku belakangan ini. Sorry... lambat balas pesanmu.
(Tomi
lanjutkan kata-katanya) tinggalkan
kampungmu.
O... Maksudmu pulang kampong? hehehe.
Aku pernah baca di statusmu. Ada buka kafe di sini?
Gee menulis
status di Facebook ketika pembukaan Warung Ngopi.
Iya. Sekalian promosi gawe tunanganku.
Oh itu milik tunanganmu?
He-eh. Mampir ya!
Pasti.
Kegiatanmu apa, Tom?
Aku bantu mamaku, jaga jualan.
(Tomi
mengetik pesan lagi)
Gei, boleh dong aku kerja di tempat cafe tunanganmu?
Hahaha.
(Gee mengirim
pesan)
Kamu serius atau bercanda?
Aku serius.
Betulan?
Iya.
Kenapa kamu mau masuk?
Aku pengen ngerasain kerja di kafe.
Jika serius, aku bisa bantu.
Benar?
Iyaaaa. Bagian apa kamu mau?
Apapun aku bisa.
Kalau ada kabar kuhubungi kamu.
Ok.
Gimana aku bisa kabarin kamu?
Hah?
Nomor hp-mu? Supaya cepat.
Benar juga.
BB?
Aku nggak punya BB. 081xxxxxxxx
“Wadoi...!” jerit Tomi, mengusap-usap bahu habis ditepuk oleh
seorang perempuan paruh baya.
“Hampir tiap
malam kamu ‘pacaran’ dengan laptop.”
Tomi tahu ia
sedang disindir ibunya. Selesai makan malam Tomi duduk bersila di lantai. Mantengin laptop di
meja ruang tamu. Baca
ulang chatting-nya dengan Gee. Mulai
dari minggu-minggu lalu sampai sore tadi belum dihapus. Ngobrol di Facebook, walaupun melalui huruf-huruf
Tomi mendengar suara Gee. Suara yang sangat lama terkubur. Terngiang akrab di
telinga. Gaya khasnya tak berubah.
“Ngapain
kamu?”
Ibunya duduk
di samping Tomi. Ibunya cuma memperhatikan layar laptop. Tak tahu apa yang
dibuat anak itu.
“Ada pokoknya.” Tomi tetap berfokus pada laptop.
“Ada
pokoknya. Tiap malam laptop Budi kamu pinjam. Dia nggak marah?”
Tomi menjawab
dengan cuek. “Tenang saja! Dia tuh baik.”
“Iya. Ibunya
pasti sudah ngomelin dia. Kembalikan sudah!”
Tomi memberengut. “Nanti, Ma. Aku ada
bisnis nih sama kenalanku.”
“Bisnis apa?”
bentak ibunya, suaranya agak kencang. “Bagus kau pergi kerja, Tom... Kamu kuat main internet.”
Tomi menoleh ke samping. “Ma, daripada aku
ke warnet main game
pakai uang.”
“Ih...” ibunya menepuk lebih keras.
“Ma...!”
“Kamu pergi
kerja, Tom Tom. Kamu nggak tahu orang omongin di belakangmu?”
“Apa? Mama
Budi bilang apa? Dia bilang apa lagi?”
“Dia bilang
kenapa kamu gak pergi kerja? Kenapa Mama yang biayain kamu. Sudah
dewasa, laki-laki, anak tunggal harusnya keluar cari uang untuk orang tua.”
“Itu Mama
sudah cerita ke aku.”
“Iya, dia
singgung lagi.”
Alis Tomi
mengerut. “Gak usah di masuk dalam hati, Ma. Omongan orang.”
Ibunya
mendorong bahu Tomi. “Kamu harus camkan omongan orang.”
“Iya, iya.”
Akan kubuktikan padamu,
Ma!
“Tit tit,” terdengar di layar hape Tomi lalu membaca pesan itu. Tom, besok kamu bisa datang ke kafe Allan? Ia terbelalak lebar.
Melihat Tomi bercengkeraman dengan hape, ibunya bangkit
berdiri.
Tomi memajukan jarak pandang. Siapa tahu ia sendiri salah
baca atau orang salah kirim sms. Suara hatinya baca keras-keras.
Tom, besok kamu bisa
datang ke kafe Allan?
Benaran, Geizya?
Yap. Kamu di-interview
dulu.
Terima kasih, Geizya. Aku akan balas budimu?
Traktir makan!
Kalau aku balik ke sini.
Oh, kamu di
sini?
Iya.
Berapa lama
kamu ada di Tarakan, Gei?
3 hari lalu. Besok pagi aku balik.
Janji ya!
Kamu luangkan waktu untukku. Hahaha.
I’m promise. Aku kasih tips supaya kamu diterima. Tampil serapi mungkin!
Baik!
Setelah ibu
Tomi menutup semua gorden jendela, mengunci pintu depan dan hendak masuk ke
kamar.
“Yuhuuu...
Aku berhasil. Bisnisku beres,” Tomi meliuk-liukkan badan dan tangannya ke atas.
Ibu Tomi
menoleh ke belakang. “Kenapa dengan anakku? Kayak kerasukan,” gumamnya. Lalu
masuk ke kamar. Ia sudah mengantuk sekali. Tak larat pergi bertanya keanehan
tingkah anaknya.
Tomi mulai
membayangkan bagaimana ia nanti bekerja di kafe. Apa yang harus ia pakai? Tomi
belum pernah merasakan di-interview
itu bagaimana? Namun ia tahu apa itu interview.
Ia pernah dengar dari cerita Budi semasa ia melamar kerja di sebuah bank.
“Aku bisa
traktir Mama dan Budi. Yang
lebih penting lagi...,” batin Tomi.
Tiba-tiba ia
terdiam kaku sambil mengenggam hape. Menunduk tatap layar hape.
Sampai jumpa, Tom.
Sehabis kirim
sms ke Tomi, Gee taruh BB-nya di meja.
Allan menyampiri meja Gee. Sweater tanpa lengan berpola wajik, dalaman ia kenakan kemeja putih lengan
pendek. Barengan Gee memakai sweater.
Lengan panjang sweater-nya digulung hingga di siku. Dipadu short pants bermotif papan
catur.
Dua cangkir Latte
atas nampan kayu. Hanya satu
cangkir Latte Art dengan teknik free
pour bertuliskan “I'll miss u”.
Lukisan di media cairan kopi. Allan bawa minuman bukan pesanan
Gee.
Menjatuhkan mata ke caffe
Latte seraya berucap, “So sweat. Nggak sanggup hapus ungkapan hatimu.”
Gee bahkan tak protes karena tak sesuai kemauannya dan ia tak memikirkan Moccacino
lagi. Seakan menguap.
Cangkir di hadapan Gee diangkat oleh Allan.
Kopi ini selagi tersaji panas langsung diminum. Disuguhkannya ke bibir Gee. “Daripada kamu kangen Latte-ku.
Ayo!” Allan menatap Gee menyeruput kopi susunya.
“Berapa lama?” tanya Gee soal rencana mau ke Jakarta. Yang pernah
Allan singgung sebelumnya.
Selera
tunangannya sama dengan orang Surabaya. Ia mewakili
kaum perempuan yang memfavoritkan Caffe
Latte dan Cappucino. Mereka
menyukai kopi berunsur susu lebih banyak, Latte
yang rasio susu tiga kali lipat dari kopi. Hingga susu
lebih mendominasi dan meminum kopi pun terasa ringan dan lembut. Tak salah ia
mengganti pesanan Gee. Sekaligus mengungkapkan perasaannya saat ini dan esok ia
tak dapat memandang wajah Gee.
“Dua bulan,”
jawab Allan, menaruh
cangkir ke tatakan.
“Dua bulan!”
tandas Gee. “Lama banget?”
Allan
tersenyum, menelengkan kepalanya. “Bisa 1-2 minggu. Who
knows?” seraya mengangkat bahu.
“Oh, iya!”
“Mmm...”
Gee agak ragu melanjutkan, “Ajarin dia tentang kopi!”
“Aku tahu.”
Allan menatap Gee lekat-lekat, “Hei, aku lihat kamu...”
“Kenapa?” Gee mengernyit kening.
Allan menggeleng, “Tak apa.”
“Hei, kok?” Tangan Gee menarik jemari Allan dan menggengam dengan lembut.
“Kita janji saling
terbuka?”
Allan mendesah. “Perhatian banget sama dia?”
Gee mengulum
senyum sambil menyipitkan sebelah mata, “Cemburu...”
Allan
melepaskan kacamatanya lalu menangkup jemari Gee di atas tangan kanannya. Wajahnya
berubah serius. “Gee,
aku mau ikat kamu one hundred percent?”
“Hmmm, aku mikir-mikir jika lamaranmu biasa-biasa kayak gini.
Hahaha.”
“Aku mau…” Gee menerawang ke atap dan menopang dagu,
“seseorang berlutut di depan umum. Huh… itu romantis!”
Allan melenguh, “Oh... Gee.”
Gee tahu Allan tak suka melakukan hal yang remeh temeh. Mana
di khalayak ramai. Ia tak mau. Terpaksa ia mengalihkan pembicaraan. Kalau ia
mengatakan yang ini pasti pikiran Gee akan teralihkan. “Gee, aku mau tambah
kopi. Aku nggak puas. Menurutku terlalu sedikit.” Allan menatap Gee. “Nggak
sesuai prinsipku dan motto warung
Ngopi jadi... aku mau blusukan. Ke Papua sekalipun.”
Gee
mengernyit alis. Gee
tahu Allan mau berangkat tapi ia tak tahu kalau Allan pergi jauh.
Jadi ini rencanamu yang katanya mau ke Jakarta.
“Jauh tuh, Lan!” sambar Gee penuh bimbang. Suara Gee yang tersirat rasa
kekhawatirannya. Allan menyukai perhatian dan kekhawatiran dari Gee.
“Kamu mau, kan?”
Allan tak mendapat
tanggapan dari Gee. Gee sibuk memikirkan apa yang akan terjadi nanti bila Allan
berpergian. Perjalanannya kali ini sangat jauh dari yang pernah ia
tempuhi.
“Tapi...” Kening Gee menggerut, “haruskah kamu ke Papua?”
“Minimal warungku dapat
satu kopi wakili
satu pulau di Indonesia. Minimal!” terdengar penekanan di ucapan kata
terakhirnya, “Aku
harus cari.”
Allan menatap
Gee seolah-olah ia mencari jawaban di sana. Semenjak tadi Gee belum menjawab
pertanyaannya. Lalu Allan berkata, “Siapa duga tiba-tiba aku pengen buka di Papua…”
“Kamu!”
Allan tertawa lepas.
“Berhenti menggangguku.”
“Hahaha. Okey, okey.”
Hening sesaat.
“Besok aku antar yah?” pinta Allan.
“Hhm, tak
payahlah!” Gee mengibas tangan ke udara, “aku bisa minta tolong taxi bandara antarin
aku. Kamu... harus layani tamu besok!”
“Oh, iya.
Tapi kamu mau bantu aku, kan?”
Dengan suara pelan, lembut, Gee menyahut, “Iya, iya.”
Pasangan itu sama-sama tersenyum, jatuhkan pandang ke Latte kemudian menikmati hangatnya Latte.
***
Pagi jam 9.
Begitu buka
pintu kaca, Tomi melihat seorang lelaki membungkuk mengelap meja.
Lelaki itu memandang Tomi. Rambutnya berjabrik,
berkulit putih. Agak gemuk dan tinggi. Kacamata bertengger di batang hidungnya.
Orang itu lagi ngelap
meja mungkin pelanggannya barusan pulang, pikir Tomi.
“Permisi, bisa ketemu dengan pemilik warung ini?”
Lelaki itu berhenti mengelap dan kainnya ditaruh di sisi
meja, “Saya sendiri.”
Tomi menyodor
salaman, “Kenalkan aku teman Gei,” dan mengumbar senyum ramah, “Tomi.”
“Gei…”
Terdengar aneh mendengar nama panggilan tunangannya, “…zya?”
“Ya.”
Kemudian Allan menyalaminya. Dari atas hingga ke bawah ia
memperhatikan body shape Tomi, tinggi kurus.
Pakai hem dan jeans warna abu-abu. “Allan. Mari!” Tomi mengikuti Allan.
Mereka menuju
ke meja panjang tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Apa kamu pernah bikin
kopi?” tanya Allan begitu mereka duduk.
Tomi yang seberangan
dengan Allan berkata, “Belum.”
“Suka minum kopi?”
“Aku nggak suka kopi.”
Tomi melihat lawan bicaranya berpikir keras.
“Hmm…” Allan menyungging bibir tipis, “tapi pernah minum
kopi?”
“Enggak.”
“Kopi instan?”
Tomi menggeleng.
“Nggak pernah?” tandas Allan.
“I... iya.” Tomi cengengesan.
“Berarti kamu sama sekali tidak tahu rasa kopi?”
Tomi
garuk-garuk kepala. Kembali cengengesan.
Allan menghela nafas, “Baiklah. Karena 3 hari lagi awal bulan.
Tanggal 1 kamu masuk, Tomi?”
Tomi bingung sendiri. Apa
hubungan dengan aku suka dan tak suka minum kopi. Toh kerjaanku paling hanya
membersihkan meja, sajikan menu dan apalah itu. Kenapa?
“Baik.”
“Aku tempatkan kamu bagian pelayan. Mau?”
“Mau.”
“Tunggu sebentar.” Allan beranjak dan masuk ke dalam pintu di
sudut kanan warung.
Beberapa
menit kemudian Allan muncul dengan setumpuk baju. “Ini seragammu. Sebaiknya
kamu coba, apa cocok?”
Tomi berdiri
dan menyahut, “Di sini.”
Allan menyeringai, “Di rumahmu dong.”
“I… iya,”
Tomi tertunduk malu. Betapa bodohnya ia melontarkan pernyataan macam itu.
“Aku pilih size S. Jika tetap
besar kamu permak. Dan kalau penjahitnya nggak bisa. Kamu ukur badan nanti
kubuatkan baju baru sesuai ukuran badanmu.” Allan agak ragu-ragu mengeluarkan
ucapannya. Ia tak mau Tomi tersinggung oleh perkataaannya, “Maksudku kedodoran enggak bagus di mata. Aku sangat mengutamakan kerapian,
kebersihan. Selain itu aku ingin karyawanku eye
catching supaya tampil menarik.”
Allan pandang Tomi dari atas ke bawah.
Ngapain sih dari tadi dia lihat aku begitu terus.
Allan merapikan posisi kacamatanya. “Rambut keritingmu asli?”
“Nggak.”
“Dirapiin, tolong!”
“Hhm!” Tomi membelalak.
“Potong rambutmu. Kukumu harus pendek jangan hitam-hitam.
Kamu harus serapi kayak aku.”
Tomi memperhatikan cara berbusana rapi ala Allan. “Aku
mengerti.”
Disangka pekerjaan seorang pelayan sangat mudah, menyajikan
pesanan, melayani pengunjung lalu bersihkan meja.
Itu.
Tomi merasa tak segampang seperti apa yang dibayangkan. Orang
yang akan menjadi majikannya terlalu menuntut Tomi mengubah dirinya. Bertolak
belakang dengan pribadi Tomi yang selengekan dan semaunya.
Keluar dari pintu. Tomi menoleh ke kedai kopi itu sejenak.
“Baik banget orang itu. Sayang, dia...”
Langkah kaki
Tomi mendadak terhenti. “Gawat…”
keluhnya. “Kalau aku kerja di sini, bagaimana dengan warung Mama?”
“Bisa-bisanya
aku lupain Mama? Siapa yang bantu dia?”
Tomi
menggaruk kepalanya. Meneruskan langkahnya menuju rumah sambil ia memikirkan
siapa yang menggantikan dirinya nanti membantu ibunya.
***
Di kamar,
Tomi mengelus baju seragamnya. “Aku nggak sabar tunjukan ke Mama.” Lalu selonsor ke dapur. Ia membuka
tudung. Menyabet roti tawar.
“Tumben bangun pagi?”
Tomi menyuap
roti ke dalam mulut.
“Kamu sudah
mandi?”
Anaknya
mengangguk, mulutnya kembung karena mengunyah roti.
“Kau mau
kemana?”
“Nanti Mama
tahu...”
Selang
beberapa menit. Tomi keluar. Mengenakan kemeja putih, celana panjang berbahan
kain.
“Wah... Mau
kemana kamu, Tom? Pagi-pagi rapi betul. Ke kondangan?” Matanya berbinar melihat
pancaran silau kegantengan anaknya, “Dimana kamu beli baju tuh?”
“Seseorang
kasih aku,” Tomi tertawa kikik, “Aku pergi kerja!”
“Kerja? Yang
benar?” Alis ibunya terangkat. “Ah... Mama nggak percaya.” Ibunya mengikuti
Tomi. ”Biasa kamu bilang begitu. Tapi siang hari kamu cepat pulang ke rumah.”
Tomi tertawa.
Lebih renyah. Ia memasukkan kaki ke kaos kaki putih kemudian berjalan dengan
sepatu pantopel hitam. Tadi malam ia lap mengkilat sampai mencining kinclong,
di ujung sepatunya terlihat sinar terang. Cling. Kilatannya seperti iklan sabun cuci piring.
“Ma, aku pergi!”
Ibunya
bengong.
Anak itu nggak bohong
padaku? Dia sering
bergurau denganku bilang pergi kerja. Hasilnya...
“Aku tunggu kamu
sampai sore, Tom!!!” teriak ibu Tomi.
***
Tomi
menyusuri jalan sepanjang trotoar di seberang sungai dengan tenang. Ia sudah
menemukan seseorang yang akan membantu ibunya di warung.
Kesehariannya
sejak hari ini berubah total melalui jalan dan bukit ini ia lalui sekarang. Tibalah
ia di gerai pada beberapa hari lalu ia datangi. Di sini ia memulai bekerja
sungguh-sungguh.
Wuaaah, asyik nih tempat. Keren!
Ia bersandar di tiang kayu. Kemarin ia
tak begitu memperhatikan. Di samping kafe ternyata ada koridor, ia
mengintip lewat pintu kaca ruangan itu. Sebuah meja panjang merapat ke dinding
menghadap ke luar jendela kaca. Belantara sungai di depan mata, pemandangan
yang menenangkan hati ketika sedang resah nan galau.
Tomi
mendengar suara hentakan sepatu. Menoleh ke tangga. Dua lelaki melihat Tomi
seperti orang aneh dari kepala hingga ujung mata kaki. Tomi merasa
diperhatikan, tersenyum kepada mereka dan angguk sedikit kepalanya. Lelaki satu
berperawakan pendek, agak gendut kalau teman sebelahnya tinggi, kurus seperti
Tomi tapi ia lebih berisi sedikit. Tomi menafsir usianya lebih tua dari lelaki
gendut tadi.
Kecurigaan
Tomi, mereka adalah orang-orang yang bekerja di sini. Lelaki yang paling muda
itu terkikik di belakang temannya. Dan sepertinya ia tengah berbisik dengan
temannya sambil melihat Tomi. Bikin Tomi risih sendiri.
Tak lama
kemudian, datang seorang laki-laki bertubuh tinggi, besar, tegap. Nampak
sangar, garis mukanya keras dan tegang. Kesamaan mereka pakai baju kasual.
Masing-masing menentang tas.
Mereka semua
menatap Tomi dengan pandangan bertanya-tanya.
Lalu pria
tinggi yang datang terakhir maju ke depan untuk membuka pintu gerai. Tomi pun
mengeluarkan senyum terpaksa. Tapi pria itu tak beri reaksi apa pun dan berdiri
di samping Tomi karena ia bersandar di dekat pintu.
Kenapa dia yang buka?
Pintu telah
terbuka dan didahului dua pria di belakangnya berjalan masuk ke dalam. Tomi
masih menunggu di luar. Kira-kira siapa
dia?
“Masuk!” seru lelaki itu. Ia tahu siapa diri
Tomi. “Duduk dulu di sini.”
“Iya.”
Seorang
lelaki lagi muncul di balik pintu di sudut kiri. Berpakaian rapi, dari atas ke
bawah full berwarna hitam. Lelaki
yang Tomi jumpai kemarin. Kemeja berlengan panjang, celana jeans dan sepatu pantopel yang begitu mengkilat. Tali sepatu saja
berwarna putih.
Keren.
Allan terheran-heran melihat karyawan barunya. “Tunggu,” seru
Allan. Dengan sigap ketiga pria tadi berhenti melangkah. Menghadap Allan. Ia
benahi kacamatanya.
“Ini karyawan
baru. Pelayan Warung Ngopi, Tomi.”
Lelaki
pertama yang menyuruh Tomi masuk merentangkan tangan kepada Tomi, “Primo.”
Lelaki di
samping Primo berujar, “Livi.” Ekspresinya datar.
Teman
sebelahnya lagi, sambil tersenyum, “Uki.”
“Tolong
kalian bimbing dia!” pinta Allan. Ketiganya mengangguk pelan dan masuk bersama
ke dapur. Tomi masih berdiri tunggu aba-aba keluar dari mulut Allan. Apa yang
harus ia lakukan di tempat baru tersebut. “Tomi,” panggilnya.
“Ya.”
“Besok ke
sini pakai baju biasa. Baru ganti pakaian seragam.”
Tomi
garuk-garuk kepala. “Iya. Aku nggak tahu. Aku tunjukin ke ibuku di hari
pertamaku, Bos. Besok aku nggak begini.”
Kita seumuran. Aku panggil dia Bos. Lidahku harus adaptasi setiap hari.
Uh... Nasibku!
***
Uki bisikin
sesuatu pada Tomi. Ia orang pertama yang mendekati dan langsung mengajak Tomi
ngobrol. Hal pertama Tomi diperkenalkan seisi dapur dahulu baru Allan beritahu
aturan-aturan sebagai pelayan. Dan apa yang menjadi bagian tugasnya.
“Dia manasin
mesin Espresso.” Mata Uki merujuk ke
arah Primo setelah melihat Tomi memperhatikan Primo sedang berdiri di depan
mesin. “Namanya saja Primo tapi bukan seorang primo.”
Alis Tomi
mengerut.
Uki tahu Tomi
bingung dengan omongannya dan segera melanjutkan, “Primo itu jabatan tertinggi
seorang barista di kafe. Di sini nggak ada seorang Primo. Semua sama rata.
Cuman kita saja segan sama Primo. Ia senior kita. Primo, panggil dia Kapten.
Pemimpin dapur, gitu.”
“Kenapa
Primo? Kok sesuai namanya?” ujar. Tomi. Dilihatnya Primo sedang memanaskan
mesin.
“Tau.
Kapan-kapan kita ke rumah Primo.”
“Kenapa?”
“Tanya
Mamanya?”
Tomi tersenyum
menyeringai sambil geleng kepala. Uki menahan tawa lalu tertawa lepas. Mungkin
cara ini dapat mengurangi kekakuan mereka. Ketegangan hari pertama Tomi
bekerja. Sesaat Uki berpikir, “mungkin ibunya pengen Primo jadi Primo. Barista
andal.”
“Apa ibunya
dulu ngerti soal barista?”
“Itu dia!”
Lalu Uki
tertawa kecil. Tomi hanya nyinyir.
“Tapi Bos mau
kita semua sama-sama berjuang. Siapapun itu saling berkerja sama. Primo bagian Espresso, Livi manual brewing.”
“Kamu?” Tomi
menafsir usia Uki lebih muda darinya. Jadi tanpa sungkan Tomi tak
menambahkan embel-embel sebutan kakak. Dengan sedikit candaan Uki, Tomi merasa
ketegangnnya berkurang. Itu bagus untuk dirinya. Membuatnya
nyaman di sini.
“Aku? Aku
bantu mereka, barista biasa. Selain itu aku yang nyediain cemilan
untuk si coffee.”
“Trus yang
masak?”
“Livi sama
aku. Hehehe.”
“Hei...
Kerja! Pagi-pagi ngegosip.” Suara dari Livi memecah percakapan antara Tomi dan
Uki.
“Kami bukan
bergosip. Aku mengenalkan
keadaan dapur.”
Tomi mengedar
pandang ke seluruh isi dapur. Setelah panaskan mesin-Espresso machine yang
disebut Uki-Primo
memilih sandar di
dinding. Mengaitkan kaki dan menyesap secangkir kopi.
***
“Mengapa kamu
lihat aku macam mandor?” ketus Livi. Ia risih saat kerja
diperhatikan Tomi.
“Bang, boleh
aku belajar? Bikin kopi.”
Livi
tersenyum ngeyek
sementara ia sedang menyeduh kopi. “Minta ajarin
racik kopi, huh...” gumam Livi. Ia mendongak dagu dan berkata, “Siapa kamu?”
“Tomi.”
Tomi sedang
menunggu di meja bar. Ia menyela begitu membuat Livi menghela nafas panjang.
“Siapa kasih kamu masuk?”
“Gei.”
“Siapa Gei?”
“Tunangan
Bos.”
“O...
Spesial. Kamu... kerjakan tugasmu di depan. Atau berbuat sesuatu di sini.
Jangan antri di mukaku!”
Tomi langsung
menjauh dari Livi. Bukannya ia menuruti ucapan Livi. Tapi perhatian Tomi
beralih ke botol-botol toples berisi biji kopi sambil menunggu kopi buatan Livi selesai. Ia
menunduk dan kedua tangannya menopang lututnya.
Tingkah
polanya diamati Livi. Ia jadi kesal melihat karyawan baru itu. “Aku akan
mengawasimu!” gumam Livi.
Tomi
sempat-sempati dekati rak kopi. Tulisan itu menarik hatinya. Secarik kertas di
tempel di badan toples kaca, “Mandheling,” mengarahkan telunjuknya ke toples
sebelahnya, “Java.”
“Aku...”
Saat Livi
menuang ke cangkir, aroma kopi menyeruak bak menari-nari di udara kemudian
singgah di hidung Tomi. Hmm... harum.
“Tomi,”
panggil Livi.
Tomi
memalingkan kepalanya.
“Berhati-hatilah!”
pekik
Livi. “Jangan
ganggu kopi itu.”
Cuma pegang aja.
“Nih, kopi
meja nomor 2,” seru Livi dengan nada suara yang tinggi.
Tomi mendekat
mengambil cangkir itu untuk dibawa ke depan. “Nomor 2 berarti di meja pojok.”
Uki mengajak
Tomi keliling dapur yang terbagi dua. Satu untuk meracik kopi dan sebelahnya dapur
masak. Ia telah menjelaskan setiap pojok dapur. Allan tak menginginkan asap
masakan bercampur dengan kopi. Takut mempengaruhi keadaan kopi. Untuk
antisipasi itu ia memisahkan dapur.
Jelang makan
siang Livi menyuruh Tomi kerjakan sesuatu. “Tomi, tugasmu cuci cangkir dan
bersihkan dapur.”
“Bersihin
dapur. Tapi tugasku melayani tamu.”
“Ngeyel
kamu... Sudah pakem di dapur kalau orang baru diberi tugas
seperti itu.”
Uki menyikut
lengan ke pinggang Tomi. “Turuti saja. Aku juga begitu pertama
masuk. Disuruh ini itu,” bisiknya.
“Cepat ke sink. Cangkir kotor menumpuk.”
Mau tak mau
Tomi turuti perintah Livi. Sedang Uki mulai berbenah apa yang menjadi bagian
tugasnya sebelum pulang.
Bab selanjutnya:
novel warung ngopi bab 2
Bab selanjutnya:
novel warung ngopi bab 2
No comments:
Post a Comment