“Nah, betul. Anakku bohong. Dia pulang siang,” ujar ibu Tomi
dalam hati.
Jam 2 siang, satu jam lagi waktunya ibu Tomi berbenah beresin warung.
“Bilang kamu kerja, Tom?” kata ibu Tomi ketika Tomi datang menghampirinya.
“Iya.”
“Cepat pulang?” Matanya melahap wajah sang anak.
“Aku kerja
malam lagi, Ma.”
“Apa? Sambung
malam.”
Ibu Tomi
tambah mendekat pada putranya, “Kamu benar pergi kerja?”
“Lho! Pagi
tadi aku ada ngomong kan, Ma?”
Ibunya
memukul pundak Tomi, “Mama mana tahu kalau kamu asal ngomong aja. Pekerjaanmu
apa, Tom?”
“Pelayan di
kafe.”
“Gajimu besar?”
“Nggak
masalah besar, Ma. Asal aku bekerja di kafe. Sudah. Selesai.”
“Yah... lebih
baik kamu kerja di luar. Daripada kamu dibicarakan tetangga. Kamu harus
sungguh-sungguh bekerja di situ, Tom. Ketemu pekerjaan yang cocok.”
“Iya, Ma. Aku
tahu.”
Ibunya lega
sekarang. Bisa menjawab setiap pertanyaan yang nanti dilontarkan para
tetangganya. Tidak seperti sebelumnya ia hanya berdiam.
***
Di tempat kerja Tomi menemukan sesuatu yang mengelitik
hatinya. Putaran jam ia mengamati dan mengenal pelbagai orang
yang sangat menikmati secangkir kopi hitam.
Kopi tanpa
gula ataupun kopi susu.
Ia heran
terhadap tingkah laku mereka. Kecanduan mereka. Mengapa bisa bertahan menyukai
kopi pahit. Setiap hari. Bergelas-gelas selama bertahun-tahun?
Apa keasyikan
dalam kopi?
“Cari apa,
Tom?”
Tomi abaikan
pertanyaan ibunya. Ia mengoprek-ngoprek di gudang. Dimana ya? Biasa di sini.
Tomi
berteriak, “Mana kopi bubuk Mama taruh?”
Ibu Tomi
duduk di lantai sembari kupas bawang. “Mama sudah bawa ke warung semua,” balas
ibunya.
“Tadi siang
Mama bilang ada di rumah.”
“Iya. Di
lemari makan.”
Mendengar
jawaban dari ibunya. Tomi melongokan kepala di pintu gudang yang terbuka. Ia
tampak bingung dan keluar dari gudang menuju lemari makan. Berdiri di samping
ibunya yang bersandar di pintu lemari. Ibu Tomi bergeser.
“Angin apa
kamu cari kopi? Untuk apa kopi itu. Pulang kerja tanya kopi terus,” oceh
ibunya.
Tomi
menyingkap pintu lemari kayu. “Lho, Mama minum kopi?” suaranya tak terdengar
jelas. Melongo kiri kanan, “Itu dia.” Tomi menangkap kopi bubuk di dalam
plastik bening, membaui. Tak tahu sudah berapa lama berada di dalam plastik
itu. Ia menduga kopi itu baru dibeli. Tetapi mengapa ditaruh di dalam lemari
dan lagi ibunya tak pernah minum kopi sejak...
“Apa untuk tamu,” pikir Tomi.
Bubuk kopinya
berwarna agak kecoklatan. Halus. “Hmm... Harum ya, Ma?”
“Enak kopi
tuh.”
Tomi ingat
betul ia pernah belikan kopi bermerk buatan pabrik. Ia sengaja
beli untuk dicoba kepada ibunya. Tergolong mahal harga kopi kemasan itu. Namun
ibunya melarang ia membeli lagi karena ibu Tomi lebih menyukai kopi buatan
sini. Lalu kopi itu dibawa ke warung untuk peminum langganan.
Ia pun
mencoba kopi yang ibunya bilang enak. “Halus betul.” Ia tuang air panas dari
termos, lalu ambil sesendok kopi bubuk.
“Kebanyakan,
Tom.” Ibu Tomi berhenti mengupas bawang dan bangkit. Menghampiri anaknya.
“Sedikit saja dulu. Kamu belum pernah nyoba kopi.”
“Ma, segini
doang,” Tomi memandang ibunya pertanda minta persetujuan.
“Hhm. Jam
segini kamu minum kamu nggak bisa tidur nanti malam.”
“Ada Mama,”
Tomi mengerling sambil mengaduk kopi, “Kalau aku telat bangun tolong Mama
bangunin aku. Ok.”
Ibunya
mengindahkannya.
Srrrut...
Tomi
menyeruput sesendok. “Emm,” Lidahnya mengecap-ngecap di langit-langit. Bibirnya
menyeringai. “Pahit...” Ia mengecap berulang-ulang, “Pahit, pahit.” Bahunya
bergidik.
“Memang
pahit.”
“Lantas
kenapa hari ini ada kopi?” kata Tomi ingin memecah rasa keingintahuannya.
“Mama yang minum.”
“Oh, kupikir untuk di warung.”
“Dulu aku
kuat minum. Masa muda sampai berumah tangga. Sampai kamu besar mungkin SD.”
“Iya.” Tomi
menatap gelas berisi cairan hitam setengah gelas. Seolah-olah di dalam cairan
gelap itu menguak kenangan pagi masa lalu ke hadapan Tomi. “Aku masih ingat.
Pagi-pagi bikin kopi untuk Bapak dan minum...”
Sejak Papa meninggal Mama berhenti minum.
“Aku kembali
mengungkit masa dulu...” desis Tomi. Baru ia menyadari kesalahannya dan menatap
ke ibunya.
Ibu Tomi
bungkam. Ia melayang pandang ke gelas berisi kopi yang Tomi buat. Kemudian ia
mendesah. “Itu sudah lewat.” Ibu Tomi berusaha menghibur anaknya. Padahal
dirinya yang seharusnya dihibur. Ia telah mengikhlaskan dan melupakan
kepergian suaminya yang terkena serangan jantung. Tapi kenangan bersama
suaminya itu ia tak pernah lupakan. “Kenapa kamu minum kopi?” tanyanya.
Sebenarnya ia
sendiri kepingin minum kopi bersama anaknya. Tapi bila ia ikut nimbrung.
Bisa-bisa ia tak tidur semalaman hanya memikirkan masa-masa lalu.
“Aku pengen
nyoba kopi gimana rasanya?” Tomi tambah susu kental ke gelasnya. Aduk rata.
Sampai berubah coklat muda. Tak tahan rasa pahit. Baru ia bisa minum habis
setelah tunggu ampasnya mengendap.
Tomi mikir
dan mikir.
Lantas
seperti apakah rasa biji kopi yang di dalam toples kaca di tempat kerjanya.
No comments:
Post a Comment