Tak sulit bagi Allan mengajari Tomi. Ia cepat tanggap karena
terbiasa di warung makan bersama ibunya. Mudah saja untuk Tomi masuk
ke dalam kemauan Allan. Lagipula ia seseorang yang bersih.
Allan menjadi suka padanya. Poin utama di dalam diri Tomi.
“Pokoknya
kamu harus utamakan jaga penampilanmu sebelum dan setiap bertemu dengan
pengunjung warung. Sebersih mungkin, serapi mungkin,” kata Allan di hari
pertama Tomi bekerja. Dalam menghadapi pelanggan, Allan menuntut seorang
pelayan tak boleh bersikap neko-neko, dandanan yang norak. Dan menuntut Tomi
supaya berlaku ramah kepada siapapun. Yang jadi masalah, ia tak menyukai minum
kopi. Namun apa boleh buat bila sang bos menyuruhnya mencoba minum kopi.
Biar
sedikitpun meresap di lidah.
“Bos, aku
sudah minum kopi.”
Yang ditanya
sibuk mengecek nota-nota. “Hhm, gimana?”
“Pahit!”
Mukanya masam kenang rasa kopi tempo hari. “Tapi mengapa kopi di dalam beda
rasa?” tanyanya. Tomi tahu rasa kopi di kedai karena Uki pernah membuatkan
salah satu jenis kopi kepada Tomi untuk dicicipi.
Allan mendongak ketika
diajukan pertanyaan seperti itu, “Kopi itu banyak pengaruh. Dari
kultural, pemetikan, waktu pemanggangan. Itulah mengapa kopi Indonesia
beragam.”
Tomi geleng-geleng. “Wah... wah... wah...”
“Lalu sampai
ke tangan kita. Meracik kopi juga bukan sembarang pakai air, lalu sentuhan
seorang barista harus bisa kombinasikan jenis kopi untuk hasilkan karakter kopi
sesuai diinginin konsumen dan kamu tak bisa memperlakukan kopi bubuk yang sama
dengan pakai alat penyeduh A atau yang B.”
Ekspresi
wajah Tomi tampak lebih bingung. “Kenapa bikin kopi butuh sepanjang gitu?”
Sebelum Allan bicara keburu Tomi menambahkan, “Di warung-warung orang malah
banyak suka minum kopi hitam yang disaring.”
“Memang
ribet,” kata Allan, bersandar di punggung kursi, “Aku malah senang nikmati
semua ini. Kami ingin hasilkan kopi terbaik dengan biji berkualitas. Sehingga
masyarakat tahu ini lho salah satu cara minum kopi yang berkembang dari budaya
negara lain selain tradisional.”
Tomi melihat
bola mata Allan berbinar. Semangat yang membuncah. Terhadap kopi. Ia telah
banyak berkisah kepadanya.
Allan tarik
napas lalu mencondongkan
badan. Ia menurunkan sedikit kacamata di bawah batang
hidungnya. “Kalau aku beri kamu teori, percuma. Kamu mau belajar tidak?” kata
Allan sambil melihat Tomi.
“Mauuuu...”
Tomi berpikir
lagi. “Tapi... Aku nggak suka kopi, Bos.”
“Gampang.
Asal kamu mau belajar. Aku yakin kamu bakal suka. Kamu
training di dapur.”
“Apa?”
“Kamu mesti
tahu dasarnya.”
Tomi
membelalak mata tak percaya, “Maksudnya... Aku tugas di dapur.”
“Iya.”
“Aku belajar
kopi?”
Allan
mengangguk tegas. “Harus!!”
“Kamu harus
tahu seluk beluk kopi. Bikin kopi bagaimana, rasa kopi, aromanya, pakai biji
kopi apa dan asal kopi itu,” bebernya sama seperti tadi, “Kalau ada customer tanya tentang kopi, kamu bisa
jelaskan. Jadi kamu ada gambaran seperti bagaimana sih kopi itu.”
Tomi
menggangguk-angguk.
Hatinya
bergejolak sukacita. Ia tak menyangka kesempatan datang bertubi-tubi kepadanya.
Ia berharap ia bisa mengintip orang-orang yang di dapur itu atau ia petik pelajaran
dari mereka sambil bekerja. Namun hendak dikata apa pabila peluang itu datang
sendiri menghampirinya…
Disuruh belajar meracik.
Allan
memandang ke luar.
“Sekarang
sepi. Kamu ke dapur. Bantu-bantu di dalam. Aku layani di
sini. Suatu waktu kamu kupanggil kalau sibuk,” titahnya seraya membetulkan
kacamata ber-frame putih.
“Baik.”
Saat Tomi
hendak berbalik Allan mengucap sesuatu lagi, “Kusarankan kamu belajar sama
Livi. Kalau Livi dalam waktu senggang.”
“Baik, Bos,”
tegas Tomi.
Wah... tugas pelayan gerai kopi nggak seenteng yang kupikir!
Baru bergerak
selangkah Tomi menoleh. Ada pengunjung masuk terpaksa Tomi urungkan niatnya. Ia
balik kembali. Lakukan tugasnya dahulu.
***
Ibu Budi
sengaja menghampiri tetangganya. Ketika dilihat tetangganya itu berada di depan
rumah. Ia berlari kecil. Tetangganya itu adalah ibu Tomi. Tomi berteman baik
dengan anaknya. Anaknya sering meminjami Tomi laptop, tak heran perkembangan
terkini soal Tomi, ia jadi tahu.
“Mama Tomi,
Mama Tomi,” panggilnya, “jarang lihat Tomi?”
Ibu Tomi
hentikan langkahnya masuk ke dalam rumah. Ia baru pulang dari jualan makanan.
“Dia kerja.”
“Kerja?
Dimana?” katanya dengan pura-pura sedikit terkejut.
“Warung.”
“Warung apa?
Makanan?”
“Warung kopi.
Apa nama tuh warung?” Ibu Tomi berpikir, “pi, pi... ko... pi.”
Ibu Budi ikut
bingung. Sabar menanti ingatan ibu Tomi.
“Ngo... iya,
warung Ngopi.”
“Baru
dengar.” Ibu Budi makin penasaran. “Bagian apa?”
“Warung itu
baru buka. Layani orang.”
“Hah! Pelayan.
Hhm...” Ia memelankan suaranya, “baguslah daripada dia di rumah.”
Dikiranya ibu
Tomi tak mendengar. Di rumah dia juga ada
bantu aku.
“Warung sayur
Mama Tomi gimana? Kerja sendiri?”
“Ada satu
anak laki-laki bantu aku. Anakku yang carikan.”
“Iya. Betul
itu, Mama Tomi jangan angkat berat apalagi naik turun tangga bukit. Nggak boleh
angkat beban berat. Ingat usiamu!” Perempuan sintal itu menepuk bahu
tetangganya.
“Kerja
sebagai pelayan apa bagusnya sih. Anakku kerja di bank. Pelayan cuma ngelayanin
orang. Mana dapat banyak uang? Kenapa Mama Tomi kasih kerja sebagai pelayan?”
“Memang
kenapa?” suaranya lantang. Kenapa sih dia
sibuk urus anakku? Anakku di rumah mereka mempertanyakan mengapa anak lakiku di
rumah nggak bekerja. Sudah kerja kenapa pilih jadi pelayan?
“Mana banyak
uang sebagai pelayan. Anakku kerja pagi, pakai dasi. Anakmu pasti selengekan
pakai kaos ke tempat kerja, ya kan?”
Tomiku bukan begitu waktu hari pertama ia kerja. Ia rapi. Pakai kemeja
putih, bersih.
“Semua tempat
kerja beda bagaimana semua disamakan, Ibu...!”
“Aku
memikirkan masa depan anakmu.”
“Yah udah aku masuk dulu, Mama Budi,” perlahan-lahan ibu Tomi menginjak kaki hendak masuk
ke dalam
rumah.
Ibu Tomi
mengeluh.
“Kenapa?”
Sebenarnya Ibunya tak hendak mengatakan ini saat
anaknya baru pulang kerja. Sudah capek-capek kerja anaknya harus mendengar ini.
“Mama Budi ngomongi kamu. Sudah kerja, kamu masih saja diomongin. Adakah
orang macam itu,” sungut ibu Tomi sela terjaga dari tidurnya.
“Apalagi?”
“Kenapa aku
biarkan kamu kerja jadi pelayan? Nggak hasilkan banyak uang.” Menurut ibu Tomi
lebih baik anaknyna pergi keluar bekerja daripada membantunya di warung makan.
Dan itu memang keinginannya sejak dulu. Tapi ia tak berdaya menghalangi Tomi yang
bersikeras agar membantu dirinya berjualan. Lalu ketika Tomi keluar bekerja, ia
memprotes pada Tomi soal waktu kerjanya yang panjang dan tak menentu. Selalu
pulang malam. Di saat ia tak bertugas, bosnya terkadang panggil Tomi masuk
kerja.
“Ma, Mama nggak
usah bimbang. Aku akan bekerja bersungguh-sungguh. Nggak usah
tanggapi mereka ngomong. Oke!” Tomi menepiskan kekhawatiran ibunya dengan tangan melentang lebar
di udara. “Aku
akan menjadikan warung Mama lebih besaaar...”
“Plok...”
Pipi Tomi ditimpuk telapak tangan ibunya.
Tomi
meringis, “Aduh, perih...”
“Jangan
berlebihan kamu, Tom. Mama lebih nggak mau dengar omonganmu daripada Mamanya
Budi.”
“Mama kok
pesimis sama anak sendiri?”
“Mama nggak
suka dengar omong kosongmu.” Ibunya menguap, “aku ngantuk. Mau tidur,” ia
bersusah payah bangkit dari baring di lantai kayu yang dilapisi karpet. Tinggal
Tomi menonton TV tengah malam.
***
Bekerja di
warung Ngopi memang ada enaknya dan menyenangkan, walau Tomi terkadang
kecapekan bolak-balik dapur dan gerai melayani para pelanggan. Saat warung
tutup ia mencuci gelas, cangkir, dan piring kotor. Selepas itu lanjut menyapu
lantai, pagi tinggal atur seperlunya sebab waktu pagi bagi Tomi tak cukup untuk
mengerjakan semua. Kurang panjang saja tenggang waktu itu.
Sebelum Tomi
masuk, tugas itu menjadi tugas Uki. Ia tak segan ikut membantu Tomi bila cucian
menumpuk dan bahkan bukan di saat jam tugasnya. Sebab ia memahami keadaan Tomi.
Hingga saling tolong menolong itu menjalar hubungan mereka jadi akrab. Namun satu orang yang membuat Tomi
tak habis pikir.
“Bang, boleh minta
petunjuknya?”
“Aku sibuk.”
“Aku disuruh
belajar kopi sama Bos.” Di luar lagi senggang dan ia lihat Livi sedang santai.
Ini semua telah sesuai dengan keadaan warung dan amaran dari Allan.
Livi
mengerang. “Tugas kamu di depan. Kami nggak butuh orang.” Di saat itu Primo
melirik ke Tomi.
“Tapi...”
belum sempat ucapan Tomi terlontar, Livi tinggalkan dirinya. “Bos nyuruh aku
belajar sama Bang Livi.” Kata-kata ini mencegat langkah Livi.
Livi
meletakkan tangan di pinggangnya. “Aku nggak ada waktu
ajarin orang.”
Jelas-jelas
ia berbohong. Tomi tahu Livi dalam keadaan santai maka ia berani ngomong
kepadanya. Livi tak lagi sedang berbuat apa-apa. Tangannya tak sibuk membuat
kopi.
“Belajar sama
dia,” Livi melirik ke kiri lalu melangkah menjauhi Tomi.
Tomi ikuti ke mana lirikan Livi. Di
situ ada Primo. Mata mereka saling beradu. Tomi kembali mendekati Livi dan
mengutitinya, “Tapi, Bos suruh aku belajar dari Bang Livi.”
Livi balik
badan. Ia tak jadi raih biji kopi di dalam toples, “Aku?” Ia menyeringai.
Kemudian berucap sambil melototi Tomi, “TIDAK MAU.”
“Kamu cuci
cangkir belum bersih!”
“Aku sudah
cuci.”
“Belum.”
“Aku bilas
dua sampai tiga kali.”
“Belum
bersih.”
“Aku harus
bilas berapa kali?”
“Belum.
Tunggu aku bilang bersih baru bersih. Namun jangan harap kamu dapat pegang alat
kopiku. Sementara tugasmu dariku adalah cuci dan nyuci. Dapur harus bersih dan
yang di luar 'daerah kuasa'-mu harus lebih bersih.”
Tomi
melangkah berat ke tempat pencucian.
Setelah Livi
menggiling biji kopi ia berdiri di samping Primo yang menuang susu ke atas
cangkir. Primo berkonsentrasi penuh pada cangkir yang dipegangnya dengan gelas stainless berujung lancip.
Keduanya
sama-sama mengerjakan rutinitas mereka.
“Siapa sih
dia? Datang-datang sudah minta disuruh poles bikin kopi. Pelayan
itu urusannya di depan dong. Bersihkan meja.”
“Itu perintah
Bos.”
“Masa bodoh.”
“Kenapa
denganmu?”
Livi tak
menjawab.
“Jangan
katakan kalau kamu iri?”
“Kita semua
pernah sekolah, ambil kursus, pendidikan tinggi. Dia...? Ada kenalan begitu
mudah dia lolos sampai ke sini. Aku dulu bersusah payah agar bisa masuk kafe.
Lalu dia mendapat ilmu dari kita?”
Primo hanya
berkata, “Aku rasa dia akan alami itu,” kemudian menoleh, pandangi Livi di
sebelahnya, “Percis yang kamu alami.”
Livi membuka
mulut hendak menyanggah namun Primo keburu memutar badan. Ia berteriak,
“Tomi...”
“Ya,” sahut
Tomi di belakang dapur.
Tomi
menghadap Primo.
“Begini, kamu
bersihkan mesin ini setelah aku selesai pakai.” Primo menyentuh Espresso machine, mesin menyeduh kopi
secara otomatis. Ia beri sedikit penjelasan tentang membersihkan
alat itu ke Tomi.
***
Jikalau ia
tak bekerja di Warung
Ngopi ia
tak bakal pernah tahu mengenai kopi. Ada hal yang ia senangi di warung ini dan
sebaliknya. Pernah sekali tanpa sengaja dan licin oleh sabun,
cangkir terlepas dari tangan Tomi. Ketika itu Livi menghampiri sebagai
seniornya, ia leluasa memarahi Tomi. Bertolak belakang dengan sikap Primo, acuh
tak acuh. Bisa dibilang daerah dapur dipimpin oleh Livi bukan Kapten Primo yang
mengawasi pekerjaan Tomi.
“Apa yang
kamu kerjakan di dapur? Pelanggan tanya kamu kenapa kamu malah termegap-megap?”
Tomi mendiam.
Mengait-gaitkan jemarinya di belakang pinggangnya.
“Aku suruh
kamu belajar bikin kopi. Jadi kamu bisa terangkan. Kamu nggak mau? Mau
membangkang?”
Yang
dimarahin kalut. Beberapa kali garuk kepala dan tolah toleh ke samping.
Haruskah ia utarakan yang sebenarnya?
“Ada apa?”
Merasa tak ada tanggapan pertanyaan dari dirinya. Allan
membentak, “Jawab aku!” Pipi Allan yang chubby
memerah.
Akhirnya Tomi
mau jelaskan, “Aku nggak
diajarin sama Livi.”
“Apa?
Mengapa?”
Tomi hanya
menunduk. Tangannya mengantongi saku apron.
“Panggil
Livi.” Terdengar dari suara Allan yang meninggi menengarai kalau ia sedang
jengkel.
Tomi angkat
kepalanya mau melihat sekilas raut muka Allan apakah bosnya itu marah besarkah?
Memang. Allan berpaling wajah dan menghentakan tangannya di atas meja. Lalu Tomi berjalan ke dapur.
Kini kedua
karyawan yang dirundung masalah itu menghadap bos mereka. Allan menyilangkan
kaki menyandar di samping meja panjang. “Kamu nggak ajarin dia?” Menatap
tajam pada Livi.
Livi membisu.
“Kenapa?”
“Apa perlu
pelayan diajarin?”
“Justru itu
aku menginginkan hal itu. Supaya ia tahu tentang kopi.
Pelangganku tanya kopi jenis apa, diseduh pakai apa, gimana rasanya? Dia nggak bisa jelasin. Nggak tahu.
Hayo, gimana?” Allan menaikkan dagunya.
Hari kelabu
bagi Tomi. Bertemu sama pelanggan Allan yang banyak tahu soal kopi.
“Walaupun dia
pelayan, dia harus dibekali pengetahuan tentang kopi.”
Allan menatap
Livi kemudian beralih ke Tomi yang semenjak tadi menunduk terus. “Tomi
sama sekali buta dengan kopi.” Kembali menatap Livi. “Livi!”
Livi
memandang bosnya.
“Kamu lakukan
apa yang kusuruh. Jangan bebal!”
Livi angguk
tanda paham.
“Sekarang kalian harus kerjasama.”
Di dapur.
Livi berkacak
pinggang menantang Tomi, “Kamu menjilat?”
Tomi mengerutkan alis sembari melebarkan kedua tangan, “Tidak ada!”
“Kamu jilat
Allan di belakangku.”
“Tidak, Livi.
Percaya padaku.”
Livi
mengertakkan giginya sambil mengangguk-angguk, “Kamu tenang saja. Aku akan
ajarin kamu.”
Aduh. Kenapa aku terus terang? Aku salah. Nggak bisa cari alasan lain.
Aku nggak bisa berbohong. Gimana
ini???Livi ngomong macam tuh, aku tahu dia. Apa yang dia katakan belum tentu
dia laksanakan. Ia tak menyukaiku.
Mengapa?
***
Setiap pagi
Pak Sutejo-pelanggan warung Ngopi-menyapa duluan para barista. Kebiasaannya
menikmati kopi tubruk. Kopi panas di bawah kanopi disirami matahari pagi yang
hangat sambil membaca koran pagi. Kadang kala ditemani telur ayam kampung
setengah matang. Pria itu menginjak usia senja, enam puluhan. Rambut putih keperakan mengerayangi seluruh helai rambut.
Kulit yang mengendur. Ia menikmati kesendiriannya bersama
kopi dan berita semalam yang terjadi di kota kecil.
Mengapa harus Bos meracik sendiri kopi pagi ini? Dan aku disuruh perhatikan. Uki jaga di depan. Hari ini Livi tak masuk
kerja, biasa ia yang menyeduh kopi dengan manual brewing.
Allan ambil
biji kopi pilihan Arabika yang masih baru. “Krek krek krek,” suara biji kopi
digiling oleh Allan. Biji kopi itu bergelinding di Electric Coffee Grinder merk Baratza
Vario lalu serpihan-serpihan kecil turun ke dalam wadah, hasilnya medium coarse grind. “Kalau bikin di French Press, biji harus giling agak
kasar seperti ini,” tunjuk Allan kepada Tomi. “Kopi yang segar, harum,”
ucapnya.
“Kenapa
kasar?”
Allan
menjelaskan, “Supaya agak enak ditekan dan aroma kopi keluar.” Tomi mengangguk.
Di meja sudah
tersedia alat penyeduh French Press
warna hitam, merk Hario. Berbentuk
tabung, di dalamnya ada plunger yang
menyatu dengan penutup. Di bawah plunger,
sebuah mesh untuk menyaring atau
memisahkan ampas kopi dari hasil seduhan.
Ia tuang air
panas ke dalam bejana, “Nah, ini agar tetap panasnya merata.”
“Aku nggak
ngerti, Bos.”
“Kalau kamu
kasih masuk kopi dan tuang air panas lagi, jadi suhunya nggak turun. Supaya
aroma kopi tetap terjaga dengan rasa yang yahud.”
“O...”
Lalu
dibuangnya air panas tadi dan biji kopi yang telah digiling dimasukkan ke dalam
tabung. “Temperatur air 90-95°C. Bubuk kopi sebanyak 10 gr
untuk air 150 ml per cangkir.” Allan menuang air panas ke tabung. “Kamu lihat.”
“Ada apa,
Bos?”
Pabila bunga
bertunas di musim semi. Kopi mengalami kejadian serupa. Saat kopi diberi air
panas akan terjadi reaksi kimia, yaitu CO2 akan menguap. Lalu menghasilkan
gelembung-gelembung di atas kopi. Mereka ini yang menguatkan aroma dan rasa
pada kopi.
“Berarti it's fresh, Tomi. Dinamakan coffee bloom, seperti cinta yang memekar.”
Tomi
angguk-angguk seolah paham
arti pengandaian Allan.
“Diamkan 30-60 detik baru aduk.”
Ketika cukup waktu,
Allan mengaduk. “Tunggu 4 menit. Sekarang kita menyeduh kopi.”
Allan
menambahkan wejangan, “Di French press
kamu perhatikan suhu air panas dan waktu penekanan plunger. Nggak
boleh tinggalkan kopi di dalam tabung lebih dari 4 menit.”
“Kenapa,
Bos?”
“Nanti
terjadi proses penyaringan terus menerus.”
Setelah empat
menit, Allan menekan plunger itu ke
bawah pelan-pelan sampai cairan kopi naik ke atas saringan. Ampas
kopi kini mengendap di dasar bejana. Allan segera tuang kopi ke cangkir.
Kopi hitam
siap disajikan.
“Pak Sutejo, spesial roti panggang.”
“Aku nggak pesan roti, Nak.”
“Hari ini adalah hari sebulan Bapak langganan minum kopi di
warung kami.”
“Aa... Satu
bulan.”
“Kopi hitam single origin dengan French Press dan roti ini gratis dari Bos!” Tomi
tersenyum merekah.
Momen ini
ditunggu Allan. Ia ingin beri sensasi rasa kopi tanpa ampas kepada Pak Sutejo.
Pak Sutejo
minum kopi di jam 07.45. Sebenarnya ia iseng-iseng datang untuk mencoba kopi di
tempat modern. Ia senang cium bau uap yang menari-nari di cangkir. Kopi panas.
Kepekatan kopi dituang ke piring kecil. Menyerut dari bibir tatakan itu.
Sebelumnya dibiarkan dingin sebentar.
Banyak cara
ataupun berbagai tipe orang meminum kopi. Ampas kopi ditinggal dalam cangkir.
Sekian banyak kopi yang coba ditawarkan ia bersikukuh pada kopi tubruk. Ia
lebih menyukai membaui aroma kopi begitu disajikan. Dengan ini, ia mengurangi
sesak rasa rindu pada anak tercintanya yang saban hari bersedia menemani minum
kopi bersama beliau.
Kata Allan,
kopi harus diseduh tak lebih dari 10 menit. Pak Sutejo adalah salah seorang
pelanggan yang suka duduk berlama-lama minum kopi sambil baca koran.
“Bapak, boleh ya hari
ini ubah sedikit cara minum Pak Sutejo,” ujar Tomi suatu ketika ia meminta
mengubah menikmati kopi yang benar.
“Apa maksudmu, Nak?”
“Sekarang Bapak coba
serut kopi ini tak lebih dari 10 menit.”
Kopi yang disodor Tomi merupakan kopi tanpa gula.
“Kenapa?”
“Silakan coba, Pak. Sesekali nikmati kopi dengan cara lain. Ingat, nggak lebih dari 10 menit,” bujuknya.
Tomi memperhatikan
orang tua itu. “Gimana, Pak?”
Pak Sutejo mengernyit
alisnya.“Hmm… Beda. Kopi ini beda dari biasanya. Rasa
kopi pas.”
Allan pernah
menawarkan menyeduh kopi dengan cara lain. Tapi Pak Sutejo bersikeras minta
kopi tubruk. Tak mau yang lain.
Hari ini sengaja Allan menyeduh untuk orang tua itu. Karena
tempo hari Tomi pernah membujuk Pak Sutejo. Dan ia termakan oleh omongan Tomi.
Ia jadi setuju pada ucapan Tomi setelah minum. Waktu itu Pak Sutejo mengatakan
enak, tak pahit bukan seperti yang ia minum selama ini.
Itu sebab
mengapa ia bersedia menerima setiap penawaran Tomi.
“Suka?” tanya
Tomi. Menunggu tanggapan dari Pak Sutejo. Ia masih memegang cangkir di udara.
“Cocok
dilidah.” Tomi bernapas lega. Orang tua itu angkat gelas kopi ditujukan kepada
pemilik warung. Kebetulan Allan berpapasan melihat keluar.
Tomi
tersenyum melihat keduanya.
“Walau
begitu, Nak, aku lebih menyukai kopi tubruk biasa,” lanjutnya dan meletakkan
cangkir ke tatakan.
Tomi menarik
perhatian ke orang tua itu. “Barista kami yang biasa bikin kopi nggak masuk,
Livi namanya.”
“Bertahun-tahun aku minum di tempat lain. Orang yang barusan
kamu sebut sanggup bikin aku berpaling.”
“Terima kasih, Nak Tomi!”
Cukup senang
Tomi mendengar. Senyumnya lebar nan merekah.
“Bosmu punya
daya ingat sangat kuat. Aku minum berapa lama di sini dia ingat.”
Tomi
tersenyum ramah lalu membungkukkan badan, “Selamat nikmati kopi dan 'bunga'
matahari!”
Kesukaan Pak Sutejo lagi, hangatnya sinar matahari menyirami tubuhnya.
Ia memilih tempat di outdoor kafe. Memunggungi terik pagi.
Tomi masuk ke
dapur.
“Kapten,
kenapa nggak
mahir di-manual brewing?” tanya Tomi.
Primo menaruh
cangkir di mesin Espresso. Menoleh ke
Tomi. Menatap tajam.
Huft, kenapa menatapku macam itu?
Dalam
kebisuan Primo kembali lanjutkan pekerjaannya.
Selesai
ekstraksi Espresso Primo serahkan
cangkir itu kepada Tomi. Tomi heran pada perlakuan Primo yang
dingin, cuek dan diam. Sejurus itu Tomi mendekati Uki ke dapur sebelah. “Ki,
kenapa ya Primo, aku tanya ke dia kenapa nggak mahir di-manual
brewing. Lalu dia...”
Belum selesai
Tomi bicara langsung disambar Uki, “Apa? Kamu tanya begitu?” Uki melotot.
“Emang
kenapa?” Tomi pasang wajah tak berdosa.
“Kamu sudah
tahu dia senior kita. Primo atasan kita semua. Berani-berani kamu bertanya
seperti itu?” Uki meraih cangkir di tangan Tomi dan dengan ujung sendok ia
menuang Espresso ke atas pisang
goreng.
“Kalau nggak
ngerti tanya aku. Jangan sembarangan! Nyalimu tinggi sekali!” ia memelankan
suaranya, “Ingat Tomi. Orang lama biasa nggak suka ditanya macam itu. Apalagi
kamu karyawan baru.”
“Iya.”
“Kalau dapat
Livi, habislah kamu.”
Uki menghapus
tetesan di sisi piring dengan kain. “Aku heran mengapa Livi begitu tak
menyukaimu.”
“Itu aku
nggak berani nanya sama dia.”
“Primo nggak
mau belajar sama bawahan, menurutku itu.”
“Benarkah?”
“Pendapatku
saja. Tak seorangpun tahu alasannya mengapa,” desis Uki.
“Trus kenapa
Livi nggak belajar Espresso?”
“Dia nggak
suka pakai mesin. Lebih menyukai aroma biji kopi. Suara-suara gelembung kopi
yang diseduh dari alat manual,” dengan gaya jari tangan ke atas mengambarkan
bunga yang mekar. “Kesukaan Livi. Walau nggak praktis. Ini menyangkut seni dan
kenikmatan sendiri bagi pribadi Livi.”
“Kok nggak
imbang? Gimana kalau salah seorang dari mereka sakit?”
“Kamu
berharap mereka sakit?”
“Misalkan.”
”Yah,
terpaksa nggak
bisa penuhi permintaan customer. Atau
harap Allan.”
Obrolan
mereka hampir selesai jadi Tomi berjalan mundur seraya memegang dua piring
Pisang Goreng Espresso siap untuk
diantar ke depan. “O... gitu.”
“Tomi,”
panggil Primo dari sebelah dapur.
“Ya,” teriak
Tomi berhenti di depan pintu, “ada apa, Kapten?”
“Bantu aku
setelah kamu selesai.”
“Baik,” ucap
Tomi.
Sambil
berjalan ia berpikir, Primo panggil aku
dan menyuruhku lakukan tugasnya. Aneh, berarti dia gak tersinggung.
***
Bau, aroma
dan beragam perbedaan biji kopi dengan kopi bubuk membuat Tomi takjub. Ternyata
banyak macam kopi yang belum ia kenal dan tak terekspos. Tomi bertanya pada
dirinya apakah kedangkalannya tentang seputar kopi sama berlaku dengan orang
awam.
Ia baru tahu
kebun kopi Indonesia tumbuh di seluruh pelosok. Dan rasa kopi itu sangat
tergantung sekali pada ketinggian, letak dimana pohon kopi ditanam.
Beda tempat.
Beda rasa. Beda aroma.
Tanggapan
orang-orang pun beragam. Entah apakah itu karakter kopi daerah Sumatera
beraroma spicy, earthy, dipadu rasa
asam rendah dan tekstur pekat. Sulawesi terkandung rasa coklat, tingkat asam
yang tinggi. Dan Jawa, bau-bau rempah-rempah herbal. Di Bali rasa asamnya
medium dengan rasa jeruk.
Bicara seluk
beluk kopi, isi otak Tomi semakin meluas berkat obrolan dengan Allan di sela
senggang. Dan berdasar pengetahuan Allan, ada petani yang menjual kopi, tapi
hanya minum dari seduhan daun kopi saja.
“Kopi yang
enak bertumpu pada porsi seberapa sering kamu rajin bersihkan alatmu,” Allan
selalu mengatakan itu kepada Tomi. Tomi bersangsi bahwa ia tugasi itu
paling-paling supaya alat kopi yang mahal itu bisa tahan lama dipakai.
Padahal
bukan.
Saban hari
sebelum Primo turun kerja, Tomi membersihkan alat mesin Espresso dan mengecek mesin setiap pagi. Memanaskannya sebelum
dipakai. Dan Primo perlu menekankan, hal terpenting dalam menyeduh kopi adalah
merawat peralatan seduh. Jangan sampai terlewati dan menganggap remeh soal
kebersihan.
“Ucapan Livi
ada benar. Secara nggak langsung ia sedang mengajariku meracik kopi,” pikir
Tomi suatu ketika di dapur sendirian bersama kopi dan alat penyeduh. Saat
itu ia iseng dan berinisiatif membersihkan alat French Press namun alat itu nampak bersih sekali. “Nggak salah
lagi. Aku ngerti maksud Livi.”
Sisa-sisa
kopi yang melekat pada setiap alat penyeduh akan memberikan efek pada proses
penyeduhan kopi berikutnya. Sehingga, memiliki kopi yang berkualitas didukung
alat penyeduh canggih sekalipun akan percuma bila kebersihan di alat tidak
menjadi bagian prioritas.
Tomi senang
banget bekerjasama dengan mereka-mereka. Apalagi Allan banyak mendukung dan
banyak beri peluang kepadanya mengenal kopi lebih jauh.
Bab selanjutnya: Novel Warung Ngopi Bab 4
Bab selanjutnya: Novel Warung Ngopi Bab 4
No comments:
Post a Comment