Bab sebelumnya: Novel Warung Ngopi Bab 3
Perkenalan
Kedua Hari Ini... Sama
Bagaikan tangga nada.
Suatu hentakan irama
bersumber dari sepatu hak tinggi from toe to
heels. Makin naik semakin jelas. Namun terkesan
berhati-hati. Takut tersangkut oleh heels-nya.
Tomi bisa menebak-seorang pengunjung wanita-disaat
ia lagi
berbincang dengan seorang pria tua, pelanggan warung.
Rambut
sebatas bahu, bentuk mukanya nyaris serupa penyanyi muda Selena Gomez. Poni
depan yang tipis. Titik hitam di samping pipi kanannya. Permanis rupa itu.
Ia telah lama
menyimpan perasaan rindu terhadap seseorang yang bekerja di warung kopi modern
ini. Tak sabar menunggu sambutan rangkulan dari orang tersebut.
Dan ia sedang
mengamati.
Siapa cowok itu?
Punggungnya
lebar. Tinggi. Pinggang kecil, body-nya
segitiga terbalik mirip sketsa komikus manga dengan karakter yang tinggi kurus
berkaki jenjang. Ia di pinggir meja. Menghadap ke pria tua. Berkemeja warna
putih, lengannya digulung dengan gaya classic
fold. Celana panjang hitam. Di pinggangnya diikat apron abu-abu. Dan...
Sepatu pantopel hitam nan mengkilap.
Rambut tengah cowok ini keriting, sisi kiri dan kanannya tipis. Siapa
dia?
Wanita muda
itu melihat badan lelaki itu berbalik. Tapi wajahnya
masih berbincang dengan pria tua. Melihat sisi kanan tampang itu.
“Tom...”
gumamnya. Dia setinggi ini?
Pak Sutejo memanyunkan bibirnya
memerintah Tomi untuk berpaling.
Tahi lalat di atas dagu
kanan... mengingatkanku... Wajah cantik itu bangkitkan
kerinduan dalam jiwaku. Sekarang aku melihat dia setelah sekian puluh tahun.
“Tom...”
Benarkah dia? Yang
menghampiriku, memanggilku?
Selama ini Mama seorang memanggilku gitu. Kecuali teman yang kenal dekat
denganku sampai tahu nama panggilan rumahku.
Entah mengapa kalau Gei memanggilku, terasa enak di telingaku.
“Tom Tom.”
Tomi
tertegun. Ia membatin, “Pada hari
pertama aku lihat. Hari ini...”
Ia berjalan
mendekati Tomi, “…kamu nggak mau menyapaku?” sambungnya.
Sama.
“I…ya.”
“Geizya… kamu
kok gemuk!” Tomi melipat tangan di dada.
“Iya deh...
mentang-mentang kamu tinggi semampai,” timpal Gee.
Kamu... cantik.
Pakaian Gee hari ini bergaya kasual, blouse dengan jeans. “Dia
nggak memuji penampilanku sekarang. Pasti jauh berbeda dan aku modis,” Gee
memuji diri dalam batinnya lalu berkata, “Dulu kamu nggak keriting. ”
“I... ya.”
Tomi mengaruk rambutnya padahal nggak gatal. Dia ingat model rambutku.
“Aku ragu mau
sapa kamu.” Gee melentangkan tangan, “Lama kita tak jumpa.”
Tomi gapai
salaman itu, “12 tahun.”
“Nggak rasa
yah.” Gee menghela, “Bagaimana, Tom? Cocok di sini?”
Tomi buka
mulut. Tiba-tiba... tangan seseorang menjulur ke pinggang Gee, sontak Gee
menoleh.
Allan
memeluknya sejenak. “Nyampai kenapa nggak kasih tahu?”
“Surprise.”
Tomi
pura-pura celinguk ke kiri. Pak Sutejo memperhatikan Tomi. Tomi tersenyum kecut
membalas tatapannya.
Memang
seluruh karyawan diberitahu bakalan ada seseorang yang akan menggantikan Allan.
Tomi tak sangka orang itu, Gee.
Dalam empat
hari mendatang bosnya akan berangkat ke Jakarta. Mengecek keadaan kedai kopi
kantor pusat. Sekalian kunjungi daerah-daerah penyuplai biji kopi maupun kopi
bubuk berkualitas. Tekadnya ialah memberikan pengunjung merasakan kopi
Indonesia berbagai macam rasa, aroma yang khas, unik.
Sejoli itu
asyik bercakap-cakap. Seakan lupa kehadiran Tomi. Entah obrolan apa hingga
sanggup memupuskan sapaan singkat Gee terhadap teman lama. Merasa tak
dihiraukan Tomi segera melayangkan diri dari mereka.
No comments:
Post a Comment