Di bawah
langit, tengah bukit berdiri rumah kecil berpondasi kayu yang bertahun-tahun.
Tinggal seorang ibu beserta anak. Sang ayah alami serangan jantung mendadak.
Meninggalkan warisan rumah dan uang tabungan yang diputar jadi usaha. Perempuan itu menjual
masakan di warung. Ia beli rumah di tepi jalan berukuran 6x4 meter.
Malam saat
santai duduk di lantai ruang keluarga.
Perempuan paruh baya itu baring
di lantai memandang ke putranya.
Tomi masih kerja di kafe?
Iya.
“Kenapa sih kamu kasih anakmu kerja di sebagai pelayan. Kafe-kafe itu
kan...”
“Apa, Mama Budi?”
“Biasalah... yang begitu itu tuh...”
“Itu tuh apa?” terdengar nada suara ibu Tomi mulai kesal.
“Mama Tomi tahulah.”
Hhhmm... ibu Tomi paham arah kemana tetangganya itu bicara. “Bukan seperti
yang Mama Budi bayangkan.
Dia bukan kerja di klub malam.”
“Kamu perhatikan anak cowokmu satu-satunya,
kepincut
sama cewek nakal!” tetangganya itu mendekatkan
kepalanya ke samping wajah ibu Tomi .
Ibu Tomi tetap menguatkan
hatinya.
Mengingat pertanyaan miring kembali terngiang di kepala dan
ia sudah lama ingin bertanya langsung sama Tomi,
“Di tempat kamu kerja ada perempuan?” Putranya asyik menyantap nasi sekalian
menemani ibunya nonton acara TV.
“Ada.”
“Gadis
baik-baik?”
Tomi
menggangguk.
“Ada,” tandas
ibunya segera bangkit dari baringnya. Ingin memastikan jawaban Tomi, “Dia sama
bagian denganmu.”
“Enggak.”
“Bagian apa dia?”
Tomi mengangkat bahu, “Nggak tahu. Masuk kerja
suka-suka.”
“Mengapa
gitu?”
“Habis deket
sama Bosku. Ada Bos dia nggak ada. Dia ada Bos nggak ada.”
“Ada pula
begitu.” Ibunya bingung. Ia melongo. Terlihat gigi ompongnya di rahang atas. “Dia
bukan cewek yang merayu orang kan, Tom?”
Tomi menoleh.
“Apa maksud Mama? Merayu orang?”
Lalu ia
menggerutkan kening, “Tempat kerjaku bukan seperti itu!” tegas Tomi.
Hati ibunya
lega. “Aku sudah katakan padanya kamu kerja di tempat yang benar.”
Melihat Tomi bingung. Lantas
ibunya perlu meluruskan perkataannya, “Ibu Budi...”
“Tak usah
digubris omongan orang.”
Lalu ibu Tomi
condongkan tubuh ke depan, “Gimana rupanya?”
“Cantik
tapi... pendek. Kenapa?”
“Umurmu
berapa?”
“26. Kenapa?”
“Tunggu apa
lagi,” kata ibunya setengah berteriak.
“Apa, Ma?”
Tomi tak kalah teriak. Namun lebih pelan dari ibunya.
“Kejar gadis
itu.” desak ibu Tomi.
“Ma...”
“Dia...
orangnya baik?”
Tanpa pikir
panjang, Tomi menjawab dengan cepat, “Baik banget.”
“Nah. Apa
lagi?”
Tomi balik
bertanya, “Mama setuju?”
“Kamu suka
dia?”
Tomi
mengangguk-angguk. “Suka.” Suaranya tak terdenger jelas karena ia sibuk
mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Apa dia
secantik itu?” tunjuk ibu Tomi ke TV.
Ibu Tomi
menonton drama Korea. Ia suka nonton karena artis-artis Korea berparas cantik.
“Hampir.”
“Mama setuju
asal kamu suka. Itu cukup.”
“Mama nggak nonton?
Ketinggalan jauh nanti gak ngerti jalan ceritanya.” Sebenarnya Tomi tak minat
nonton namun ibunya tak mengerti apa yang diomongin. Dan Tomi disuruh
menceritakan maksud adegan drama yang tak ia paham.
“Mama mau
tanya kamu?” Ia masih mandang putranya. “Kamu sudah
bilang?”
“Bilang apa?”
“Kamu suka
dia?”
“Aih Mama,
masak secepat itu?”
“Kamu takut,”
ibunya melotot, “kapan kamu dapat pacar?”
“Ma, kita
baru bertemu. Kaget dia. Entar lari tunggang langgang.”
“Kan anak
sekarang main labrak.”
Tomi
memalingkan wajah hingga ia berhadapan dengan ibunya. “Mama kok ajarin aku. Aku
bukan anak remaja, Ma. Aku bukan lahir di zaman modern. 26 tahun lalu.”
“Kamu hidup
di zaman modern! Zaman sekarang anak perempuan yang duluan dekatin. Apa
namanya? Pedet...”
“PDKT.”
“Ya, itu.
Bukan sepertimu. Takut dekatin perempuan.”
“Yaa...yah...”
keluh Tomi, mengalah.
“Cepatlah
cari menantu buat Mama, Tom...” rayu ibunya.
“Iya, iya,”
seraya bangkit dari karpet mengalasi lantai kayu. Nasinya belum habis dilahap.
Terus dijor-joran sang ibu. Siapa yang bernafsu makan.
Tomi keluar
cari angin segar, duduk di teras.
Ibu Tomi tak
bisa ikuti drama di TV. Bukan karena anaknya keluar menghindari omelannya. Tapi
pikirannya sibuk melayang ke perempuan yang ada di tempat kerja Tomi.
“Tom, Tom...
anakku masih malu-malu. Takut benar ditolak. Padahal belum ngomong,” ibu Tomi
ngoceh sendiri.
***
“Kemana dia?
Belum datang-datang. Bahanku tinggal sedikit. Lama betul!!!” Livi berkacak
pinggang mondar-mandir di dapur.
Dan di
jalanan nyaris dekat Warung Ngopi. Seorang lelaki berjalan kaki. Punggungnya
membungkuk. Menapaki bukit. “Tom, kamu sekarang menuju ke tempat kerjamu. Hari
ini harus ngomong,” perintah Tomi pada diri sendiri. “Kamu harus bicara sama
Gee.” Sekarang Tomi berubah panggil Geizya jadi Gee-panggilan Geizya ketika di
bangku kuliahnya-semenjak di tempat kerja.
Ia meringis
dan garuk-garuk kepala, “Aih, kok susah amat kamu, Tom.”
Mengenakan
celana panjang warna coklat muda dengan ujung kakinya model tergantung, sepatu kets hitam tanpa kaos kaki, kemeja
kotak-kotak, dalamannya kaos putih. Dan bertopi hitam, snapback-nya diputar ke depan.
Apakah dia perhatikan penampilanku hari ini? Aku berjam-jam di cermin. Mama
ngomel-ngomel. Berteriak suruh aku cepatan pergi kerja. Mudah-mudahan Gee lihat
tampangku.
Tomi
mengendus bajunya.
Wangi...
Selain
menyemprot pewangi. Tomi menyiasati dengan mandi sehari tiga kali supaya tampil
bersih dan keharuman tetap terjaga.
Pemilik
warung Ngopi mewanti-wanti karyawannya, jangan sampai bau tak sedap di badan
nangkring di hidung pelanggannya.
Kecuali aroma
kopi.
Meja panjang nomor 1 khusus pengunjung famili atau untuk meeting tersaji:
1. Air
panas
2. Timbangan
3. Cangkir untuk tiap jenis kopi
2. Timbangan
3. Cangkir untuk tiap jenis kopi
4. Gelas
5. Sendok makan
6. Timer
7. Teko berisi air putih
5. Sendok makan
6. Timer
7. Teko berisi air putih
8. Wadah untuk membilas sendok
9. Kertas untuk mencatat
Empat cangkir ditata berjejer. Para tamu
sibuk mempersiapkan kertas di meja dan saling menyodorkan sendok ke
masing-masing orang.
Gee menyiapkan empat jenis kopi bubuk sebanyak 7 gr yang
ditaruh ke dalam cangkir dengan inisial A, B, C dan D. Ia beri kesempatan untuk
para tamunya membaui aroma kopi tersebut sebelum menyeduh kopi. “Jangan pakai
air baru mendidih atau 100°C. Suhu air sekitar 93°C.”
Seorang anak
muda bertanya, “Gimana kita tahu suhu segitu? Kalau nggak ada termometer.”
“Diamkan air
mendidih selama 1-2 menit. Baru tuang,” sahut Gee sambil menunggu air mendidih.
Semua orang
mengangguk.
Merasa waktu
telah cukup di timer. Gee menuang air
panas 180 ml dengan suhu sekitar 90°-95°C ke dalam empat cangkir. Begitu
dituang, gelembung-gelembung berdempetan di atas permukaan kopi.
Setelah empat menit menyeduh bubuk kopi.
“Ikuti saya, kita lakukan pecah tutup,” perintah Gee.
Hidungnya di dekatkan ke cangkir. Dengan sendok ia dorong permukaan untuk
memecah busa.
Aroma menguak.
Membayangkan. Aroma apa tersingkap dalam uap tak berwarna,
cairan hitam itu?
Setelah gelembung kopi pecah dan ampas kopi mengendap. Dengan
sendok tadi ia singkirkan bubuk kopi yang mengapung di atas cangkir. “Seduh
kopi satu sendok. Diseruput cepat. Kalau nggak, bisa keselek.”
“Mengapa?”
tanya salah seorang tamu Gee.
“Supaya kopi
terasa di kerongkongan,” ujar Gee, “ambil sesendok kopi. Berkumur di dalam
mulut. Cairan kopi itu membaur di lidah dan langit-langit mulut. Bagian lidah,
indera perasa terbagi manis di ujung lidah, asam di samping kiri kanan, dan
pahit di pangkal lidah (after-taste).”
“O...” seru
sebagian tamu. Sisanya mengangguk.
Disesapi kopi
itu. Kemudian Gee ludahkan kopinya. Tamu Gee mengikuti langkah-langkah Gee.
“Silakan
kalian gambarkan rasa kopi tadi,” bimbing Gee. Kemudian ia kumur mulut dengan
air putih. Ia beri kesempatan kepada tamunya untuk mencoba kopi
di cangkir pertama ia seduh.
Giliran kopi
berikut Gee mengganti sendok begitupun para tamu mengikutinya. Sebelum memulai
Gee mengatakan bahwa mereka perlu ikuti apa yang ia lakukan.
Di luar
kedai, dua orang pengunjung menunggu minuman di bangku ujung kiri. Perempuan
muda itu bermodel rambut
pixie cut dan temannya berponi tebal, rambut
panjang.
Di saat
bersamaan seorang lelaki melintasi di hadapan kedua perempuan itu.
“Tuh tuh
lihat dia, Brenda!” Flo manyunkan bibirnya ke belakang punggung
Brenda.
“Cepat
lihat!”
“Iya.” Brenda palingkan muka ke belakang.
“Aku lihat.”
Langkahnya panjang dan cepat.
Menenteng bungkusan hitam. Tangan satu lagi ditekuk ke dalam saku celana. Ujung
kemejanya menjuntai-juntai. Gendong tas pungung. “Gee, pakaianku hari ini atas
saran dan kritikmu,” kata Tomi tadi
di depan cermin.
Gee kagok
lihat Tomi pakai T-shirt yang kecil
atau model press body. Selama
Gee jaga warung. Ia mengamati gaya busana Tomi kadang besar malah kelihatan tenggelam.
Siap terbang bak baju kering di jemuran yang ditiup angin.
Gee mengkritik temannya
soal berpakaian. “Tom, kamu nggak pantas pakai baju itu. Kadang baju gobor kamu
pakai. Nggak pantas. Jangan pakai yang besar. Seperti baju over size di badanmu.”
Gee
mengomentari lagi. “Untuk dalaman pakai kaus oblong luar pakai kemeja atau
jaket supaya badanmu tampak berisi.”
Nyelekit! Tapi, tanda bukti Gee perhatian terhadapku. Ckckckck.
Tomi tak
menyadari kalau ada manusia lawan jenis perhatiin dirinya di pojok.
Flo
menggoncang tangan Brenda, “Dia keren... kan? Apalagi pakai seragam.”
Brenda
nyengir. “Menurutku, dia biasa.” Terdengar nada penekanan di kata terakhir.
“Ck.”
“Biasanya
orang tampak lebih menarik saat makai baju bagus. Tapi dia tetap dandy biar bajunya kasual. Kayak model aja deh.”
sambung Flo.
“Hadueh... Hadueh... Jangan lebay deh
nilai orang. Pertama
kali kamu cuekin dia.”
Flo
moncongkan bibirnya. “Kamu jangan dekatin dia! Doi milikku!”
“Beh... Yang
duluan lihat siapa?”
“Kamu tempo
hari belum menyukai dia?” Flo mendelikkan matanya. Mereka sudah
kedua kali ke Warung
Ngopi.
Brenda
melongos.
“Cu…” Flo
tunggu kelanjutan kata Brenda, “…man, dia kurus.”
Semerbak
aroma kopi menguak seluruh ruangan. Langkah Tomi sengaja diperlambat. Matanya
sempat-sempatin melirik Gee.
Kenapa dia dikelilingi...
Lima orang
pria di seberangnya. Gee duduk di tengah. Mereka diundang lewat twitter secara gratis.
“Ngapain, Gee?” bisik Tomi ketika ia di samping Gee. Siang
ini ia paling terakhir turun kerja.
“Kita lagi cupping
coffee.”
“Kaping kopi?”
Gee tersenyum. “Nyoba kopi. Kita dapat
'amunisi' kopi daerah lain. Kiriman biji kopi Arabika lokal. Dari Allan.”
“Semua, Gee?” mata Tomi menyisir cangkir-cangkir di meja
terisi kopi hitam.
“Dua saja ditambah
yang ada di warung.”
“Gee… nggak teler minum kopi?”
Gee tertawa kecil. “Enggak. Aku nyeduh beberapa
sendok.” Gee miringkan kepala, “Tom, mau bergabung denganku?”
Di saat
memikirkan bagaimana memulai bicara sama Gee. Di hadapannya seseorang lagi
berkacak pinggang, muka merah padam, rahangnya mengeras, gemeretak giginya dan
apalagi? Amarah Livi sudah memuncak sampai di ketinggian gunung
Everest.
Tomi menunduk takut lihat keseraman
wajah Livi. Pontang-panting ia menghampiri Livi yang berdiri di
ambang pintu dapur. Pertanyaan dari Gee dibuat gantung oleh Tomi. Berjalan
memutar di belakang Gee.
Gee menoleh
ke arah Tomi. Ia langsung mengerti situasi Tomi.
Perasaan Tomi
getar-getir sambil memohon, “Maaf, Livi. Maaf...!”
Kegeraman
Livi mampu ditahan di hadapan semua orang. Kalau tidak...?
“Kenapa pakai
lama?”
“Maafkan aku.
Aku lupa.” Gara-gara lama mantengi depan kaca Tomi sibuk urus pakai baju apa
yang pas baginya bukan bagi Gee. Bikin ia terlambat.
Dalam
perjalanan ke warung Tomi ditelepon Livi minta cepat datang. Tapi ia ketahuan ngobrol dengan Gee.
“Di depan Gee
kamu jadi buyar apa yang kutugaskan kepadamu. Konsentrasi kenapa?” hardik Livi,
terselip noda amarah di setiap jengkal katanya.
Tomi
tertunduk. Berkeringat. Memang salahnya. Untung Livi tak marah lagi
karena ia kembali bekerja. Tomi menaruh-pesanan Livi-biji kopi lokal yang baru
digoreng. Sebelum berangkat kerja ia singgah ke tempat penggoreng kopi. Disuruh ambil kopi. Di Warung Ngopi,
Allan mempercayakan penggoreng kopi di sini untuk menggoreng kopinya.
“Bikin mood-ku jelek!” tukas Livi nyaring agar sengaja
didengar Tomi.
“Tomi! Antar
ke meja no. 4!” perintah Primo.
“Ya.” Ia tak menghiraukan lagi pakaian yang melekat di badan.
Jika Allan melihat pasti meradang. Namun bagi Tomi pribadi yang paling penting
kopi nyampai duluan.
“Kamu kemana, Tom?” Pertanyaan Uki membuat langkah Tomi
tercekat. Ia masuk dengan secarik kertas untuk diberikan kepada Livi. Ia yang
gantikan Gee melayani pengunjung saat Tomi belum datang.
“Antar.”
“Begitu?” Mata Uki tertuju ke badan Tomi.
“Iya.”
Uki ambil
alih tugas Tomi, “Sini aku antar, cepat kamu ganti baju.”
Tomi turuti
kemauan Uki. Saat melintasi Primo, ia berujar, “Kapten, Gee ajak aku kaping.
Boleh aku ikut?”
Primo menahan
tawa. “Hhm. Aku suruh Uki gantikan kamu.”
“Terima
kasih, Kapten.”
Buru-buru
Tomi ganti pakaian seragamnya. Derap langkah mengebu di lantai kayu.
“Ayo,” desak
Gee, menoleh saat Tomi muncul. “Ambil sendok dengan gelasmu. Kopi keburu
dingin.” Gee menunjukkan ada stok gelas dan sendok.
“Ok.”
Tomi menarik
kursi di sebelah Gee yang kosong. Irama nafasnya tak keruan. Naik turun naik
turun.
Teman-teman
Gee sudah melangkah ke cangkir yang ke tiga. Walau ada seseorang yang balik ke
cangkir pertama. Terlihat bingung. Mereka seolah dibawa ke dunia yang mereka
deteksi di dalam rongga mulut. Tak berdaya menafsirkan apakah rasa sesungguhnya
kopi itu.
Tomi duduk di samping Gee.
“Kamu ikuti langkah kami.”
Gee mengendus
kopi yang sedang ia serut. Tomi menyeduh satu sendok di cangkir
pertama paling kanannya.
“Serut
sekali,” Gee ngarahin Tomi.
Tomi
perhatikan Gee dan orang-orang di seberang. Mendekatkan hidung ke bibir cangkir, hirup aroma
kopi kemudian mereka mencatat di kertas sambil memikirkan sesuatu. Kata-kata
apa yang pas mengkategorikan kopi yang mereka rasa.
Slruup.
Kedengaran
suara-suara semacam itu bertaut-tautan walau dirasa tak sopan.
Slruuup...
Berbagai kalangan
orang datang ke warung sekadar mencicipi kopi jamuan Gee.
Slruup.
Tomi keselak.
Ia gelalapan cari air putih, terbatuk-batuk. Matanya
berair seperti menangis.
Gee
memandangnya sambil menulis di kertas. “Tenangkan
dirimu dulu, Tom. Pelan-pelan jangan maksa.”
Walaupun agak
terusik suara batuk Tomi. Beberapa meneruskan berkonsentrasi penuh blind tasting mereka. Mereka bukan
abaikan Tomi. Tapi mereka harus melanjutkan ketajaman indera mereka supaya tak
hilang berkonsentrasi penuh tentang apa yang telah mereka coba, rekam dan
bayangkan rasa kopi. Ada juga yang menertawai Tomi.
Tomi
menenangkan dirinya. Dalam hatinya lebih baik ia pergi dari sini daripada
mengganggu para tamu.
“Setelah kau
incip, tulis di kertas.”
“OK.” Saat
mau menulis Tomi mendongak, “Kenapa?”
“Aku mau tahu
pendapatmu. Baunya gimana, rasanya, kepekatan kopi?”
“Aissh,” Tomi
mengibaskan tangan di atas udara. “Aku mana tahu apa-apa soal itu, Gee.”
“Nggak apa-pa
kalau salah. Aku pengen tahu opinimu. Mau kumasukkan ke dalam blogku. Bahan
artikel untuk blogku.”
Pikiran Tomi
sibuk dengan kata-kata ini, “Aku bisa
ngomong sekarang langsung di depannya. Mumpung kita berdua.
“Pendapatku boleh diterima?”
“Of course.”
Gee janjian
sama Tomi untuk cupping coffee. Tadi
siang terkendala banyak rombongan pengunjung sehingga Tomi menyerah untuk
layani mereka. Sore ini sebelum buka warung mereka melanjutkan yang sempat
tertunda.
“Sudah kau tulis?”
“Maaf, Gee. Aku bingung, Gee.” Tomi
mengernyit alis.
Tomi hanya
mengikuti sebagian kopi. Lembar kerjanya yang dicentang bisa dihitung jari.
“Tidak banyak yang kuisi.”
“Nggak
apa-apa. Opini masing-masing orang pasti berbeda. Soal rasa tiada yang benar
dan salah. Lidah, kesukaan seseorang pada citarasa kopi tidak ada yang sama,
kan. Kita disini ngetest bukan siapa yang benar atau salah. Kita sekadar
berbagi pendapat. Lain pendapat jadi masukan buat kita yang tak pernah pikirkan
sebelumnya. Itu sudah sangat membantu. Jangan khawatir.”
“Tapi aku belum bisa nemukan
apa yang terdapat pada kopi itu seperti yang kalian lakukan.”
“Tom, jangan
membebani dirimu. Perlu latihan, Tom!” Gee menaruh tangan di pundak Tomi. “Aku
pernah alami yang kamu alami sekarang. Pelan-pelan, okey.”
“Kau suka kopi yang mana, Tom?”
Tomi serahkan kertas pada Gee. “Sebenarnya aku bukan peminum
kopi. Nggak suka minum.”
“Kenapa?”
“Entahlah. Mungkin karena pahit.”
“Lalu kopi yang sudah kamu coba yang mana bagimu sreg?”
“Yang ini.”
Gee membalik kertas dan membacanya, “Kopi Aceh Gayo.” Lalu
ia membaca pendapat di kertas milik Tomi.
“Aku nggak
tahu isi apa,” Tomi berkata dengan lesu. Tidak banyak yang terisi dalam
kolom-kolom pendeskripsian kopi.
“Nggak
apa-apa.” Gee memikirkan sesuatu, “Aku... Ini. Coba tebak kopi apa?”
Tomi pikir
sejenak lalu menggeleng, “Aku nggak tahu.”
Gee membuka
kertas di cangkir urutan ke 3, “Kopi Mandheling. Dari Sumatera.”
“Mengapa?”
“Aku suka karakternya yang kompleks dan kuat. Dia spicy, ada aksen chocolate dan terasa pekat.”
Tomi sekadar angguk kepala. Pikirannya sekarang tambah
semrawut.
“Kenapa, Tom?”
“Aku masih nggak mampu menebak kopi.”
“Hei, kenapa
kamu terbebani soal itu? Kita nggak bisa lakukan cupping sekali dua kali. Aku aja belum pandai banget. Kita akan ber-cupping di lain hari,” terang Gee.
Bola mata
Tomi membesar dan bersinar seketika, “Kita?”
Gee membalas
dengan senyum sambil mata dikedip sekali dan mengangguk pelan.
Itu sudah cukup bagi Tomi.
“Tom, tolong pegang sendok nih. Aku foto. Tahan bentar!”
“Ok,” tanggap Tomi penuh semangat.
Catatan Gee difoto. Ia dorong kursi ke belakang dan berdiri
untuk memfoto cangkir kopi dari angle atas.
“Mau diunggah ke website-mu?”
“He-eh.”
Jepret.
Tomi
terkesiap. Ia mengangga. Mukanya tegang. Membelalak. “Kenapa aku difoto?”
Gee menahan
tawanya. “Aku mau pampang kamu jadi modelku. Kamu harus
tampil di situsku.”
Tomi bersungut, “Masak dengan gaya itu?”
“Hahaha. Iya, ya. Ulang lagi.”
“Siap-siap, Tom.” Gee ancang-ancang menahan BB-nya di udara. Jebret. Gee melihat layar
Blackberry. “Kayaknya kurang sip. Nih, kamu sambil pegang cangkir. Kayak
lagi orang minum dan lihat kamera,” perintah Gee.
“Hmm.” pasrah Tomi.
Jepret.
“Gee pasti banyak tahu ngenai kopi?” ujar Tomi melipat tangan
di meja.
Gee sibuk
memilah foto-foto Tomi.
“Sedikit. Aku
belajar dari Allan. Gara-gara dia aku kesemsem sama kopi. Aku bikin blog untuk
berbagi aja.”
“Apa yang
kamu tulis?”
“All about of coffee.
Kopi Indonesia. Aku tulis apa yang kuketahui.”
Asyik berfoto Tomi lupa pada
omongan yang ingin ia sampaikan kepada Gee.
***
Gee kirim sms ke Tomi, Sudah tidur?
Belum.
Ngapain?
Lagi sms.
Gee
tersenyum. Bisa tidur?
Enggak nih. Kamu gih ngapain?
Gee bangkit
dari tepi spring bed-nya. Aku... mandang langit.
Kamu nggak bisa tidur?
He-eh. Gee kirim sms lagi. Hahaha.
Kenapa?
Keinget tadi kamu keselek.
Ah... kamu ngeledek aku.
Masak serut gitu sampai keselek.
Yah aku... nggak bisa saja langsung serut.
Tom... udahan yah. Aku cuma mau tahu apa kamu bisa tidur.
Ooookey.
Bye.
Gee belum
terlelap. Gee mendekap guling. Gorden di jendela dibiarkan terbuka. Padahal matanya berat tapi pikiran melayang.
Tak mengertilah mengapa raut muka Tomi yang keselek masih
membayangi. Sampai ia tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian itu. Temannya
bersusah payah berusaha menenangkan dirinya, menghilangkan batuknya malah ia
menahan tawa dan kini pun ia tertawa kecil.
Berharap dapat
mengantarnya ke alam bawah sadar.
No comments:
Post a Comment