Seorang perempuan 27 tahun. Make up–nya dilapis tipis. Rambut digerai. Blouse putih panjang dengan short pants, vest bercorak flower dan... boots.
Ia menuju ke outdoor Warung
Ngopi, mengambil tempat di meja bundar dan kursi kayu bercat putih susu. Dekat railing tangga. Perempuan itu
begitu duduk, menyilangkan kaki. Menarik perhatian pelayan di situ.
Tomi menguap
lebar-lebar. Melirik di sudut matanya. Lalu ia menghampirinya, “Pesan apa, Bu?”
Sepertinya ia belum melayani perempuan cantik ini.
Jemari gadis
muda itu lincah mengetik di keyboard
laptop. Ia menengadah dan tersenyum, “Satu coffee.
Lebih banyak susu.”
“Flat White,” sambungnya.
“Dingin,
panas?”
“Panas.”
“Ok.”
“Eits,
tunggu. Hangat deh.”
“Baik.”
Segera Tomi
menghambur. Ia membatin, “Pilihan seorang
perempuan mudah berubah karena mood. Mudahan hatinya tak mudah berubah.”
Agak lama Tomi bawa keluar secangkir flat
white dan sebuah poci kecil berisi air putih di atas baki kayu.
Lantas Gee
tersenyum manis. “Terima kasih, Tom.”
“Aku dapat.”
Tomi mengumam sendiri lalu beranjak dari situ.
Dibanding
sebelum-belumnya, bawaan hari-hari yang dijalani Tomi terasa indah banget.
Begitu turun kerja pagi, tahu-tahu Gee datang kerja sudah melempar senyum
kepada Tomi, mengingatkan masa sekolah mereka.
Di bangku
SMA, Gee menyebar mata ke sekeliling dan berembuk sama tatapan Tomi yang lagi
melihat Gee. Hari ini kurang lebih sama dengan past moment mereka
berdua. Pagi ini malah dibuka dengan ngobrol sebentar di meja counter bahas tadi malam. Tomi mengaku
sulit tidur semalam dan entah berapa kali ia menguap terus sepanjang pagi.
“Kamu kasih
habis kopiku.”
“Kamu sudah
minum dua gelas. Saking terlalu sayang dibuang. Aku kasian sama
kamu kalau harus meminum semua. Apa aku harus bengong kamu melahap semua kopi?”
Gee tak dapat
berkata banyak. Argumen ini dimenangkan oleh Tomi. Ia benar.
Seketika
lamunan singkat Tomi buyar saat beberapa pengunjung datang dan menempati meja panjang di
seberang Gee.
Tomi beranjak
dari meja counter mengambil daftar
menu dan melayani mereka.
Ia
mengutak-atik folder foto di laptop.
Tangannya
memuntir ujung rambutnya, duduk menyamping. Lalu tinggikan rambutnya, digulung
dan diikat menyerupai sanggul yang sederhana.
Nampak seksi, komen Tomi atas gelagatnya.
Ia
senyum-senyum sendiri sambil poni tipisnya dirapiin dengan jemari.
Hal itu diperhatikan oleh Tomi yang berdiri di seberangnya.
Menanti pengunjung memikirkan pesanan.
Dia kalau senyum, manis
banget. Tiap kali aku tawarin kopi ke dia. Pasti senyum. Ah… bonus untukku. Tunggu bukan bonus, itu ‘tips’ untukku.
Tomi mengernyit alis. Tapi ngapain dia senyum sendiri? Apa yang bikin dia
happy?
Gee mengklik tombol previous
terus. Muncul foto Tomi yang tercenganga. Mata sipitnya
melebar.
Gee menahan
tawa geli melihat ekspresi mimik cowok di foto itu. Ia tentu tak menyadari
jikalau orang yang di dalam foto itu sedang memperhatikannya dan ikut tertawa
bersama. Seolah-olah Gee mengirim pesan perihal di dalam foto ke Tomi dan ia
ikut tertawa.
Di sisi lain,
Uki sedang mengintip keluar di balik pintu dapur.
Terdengar
suara pelan Livi di telinga Uki, “Ada apa?”
Jantung Uki
terlonjak. “Haah... Kamu mengagetkanku!”
Livi
memoncongkan bibirnya, tak pedulikan protes dari Uki, “Tuh, lihat anak itu.
Kamu bilang aku terlalu keras terhadapnya. Dia mulai tunjukkan belang kalau Bos
nggak ada. Makin menjadi-jadi.”
Tomi asyik duduk di samping Gee. Ia dibuat penasaran oleh
tawa Gee. Maka ia pun menghampiri Gee. Lupa seketika akan tugasnya menghantar
minuman ke pelanggan. Tak sadar jika di belakangnya Livi mencak-mencak dan dongkol kepadanya yang tak kunjung mengambil pesanan customer yang sudah selesai.
Livi menoleh ke Uki. “Kamu bilang aku jangan berprasangka
padanya. Dia malah haha hihi sama tunangan Bos.”
“Mereka teman
sekolah. Wajar, kan?”
“Lalu siapa
antar kopi di dalam?”
“Aku.”
“Flat White itu ternyata untuk dia,”
desis Livi.
“Dia sibuk sendiri di dapur. Pantas kenapa dia cerewet tadi. Jadi ini
alasannya. Tomi membuatkan pesanan sesuai kemauan Gee.”
“Suruh dia
hadap aku?”
“Kenapa?”
“Dia
berleha-leha.”
“Aku akan
ingatkan dia.”
“Pasti dia
jilat Geizya.”
“Ah,
enggaklah.”
“Apa kamu
seyakin itu? Berapa lama kamu kenal dia? Sejauh mana hubungan pertemanan
kalian?”
“Percayalah
padanya.” Uki menepuk pundak Livi. “Jangan memulai, Livi!”
“Mengapa dia
memperlakukan Gee begitu baik? Sering betul dekatin tunangan Bos. Pasti
ada mau dia tuh.”
“Iya yah,
kenapa dia perhatikan Gee begitu?” Jari telunjuk Uki diketuk-ketuk di tulang
pelipisnya.
Terdengar
teriakan Livi dari dalam. “Bilang mau antar. Cepat!” Uki tak sadar kapan Livi masuk ke dalam.
“Iya, iya,”
pekik Uki.
***
Betapa
bahagia hati Tomi tadi. Namun, sekarang di dapur.
“Kamu di sini
mau kerja apa ngodengin anak orang?” sidik Livi berkacak pinggang pada Tomi
selepas kerjaan longgar.
“Kerja.”
“Yah
konsentrasi pada pekerjaanmu.”
“Iya.”
“Lalu kenapa
kamu ikut-ikutan duduk sama Gee?” ketika Tomi diinterogasi mengapa ia bisa
sampai salah kasih orderan sehingga Livi membuat kesalahan meracik kopi.
“Dia ajak
aku, Bang Livi.” Terpaksa ia bohong supaya tak kena damprat. Ia kurang konsen
karena ia kurang tidur. Kalau sampai ketahuan bisa-bisa ngalahin omelan sang
majikan.
“Ingat,
jangan ganggu anak orang walaupun kamu kenal, temanmu. Jangan lupa
dia tunangan Bos-mu.”
Masak ngobrol doang sama Gee nggak boleh. Kan, buang stres.
Bang Livi sih terlalu serius. Santai dikit napa? Bos kita bawaannya nyantai, rengut
Tomi.
Setelah memberi pelajaran kepada Tomi. Livi mendatangi Uki.
“Enak sekali. Masuk ke sini dengan mudah. Allan mengizinkan dia leluasa meracik
kopi di dapur,” Livi
bersungut-sungut, “Aku? Orang macam aku perlu sekolah. Masuk lamaran. Dia...
punya koneksi tinggal masuk. Tinggal bujuk tunangan Allan. Mentang-mentang hubungan teman sekolah.”
“Livi, kamu jangan ngomong begitu. Dia
bukan seperti itu. Didengar Tomi.” Uki menyikut Livi.
“Dia su...”
Kata-kata Livi terhenti kepada sosok Tomi muncul di hadapannya. “Kenapa? Aku
kerja keras kok. Sama kayak kalian. Dari bawah,” mendadak Tomi menengahi
pembicaraan Livi. Ia berhenti di depan pintu dapur jadi sempat menguping
obrolan mereka. Hingga berpikiran ia perlu meluruskan.
Uki menengok
ke Livi.
“Aku akan
buktikan aku juga bisa kayak kalian. Bang Livi sebagai karyawan yang lama
bekerja dengan Bos, kenapa Bang Livi nggak kasih kesempatan kepada kita untuk
berkembang? Belajar bersama dengan kalian.”
“Warung ini
bukan kelas kopi!”
“Tapi kami,
kan, sah-sah saja belajar?” Tomi mengepal telapak tangan di samping pahanya,
“Apa.. Bang Livi takut?”
Livi heran
pada ucapan Tomi, ia menengadah dagu, “Takut apa?”
“Kami ambil
posisimu, terancam atau...” Tomi memompa keberanian untuk
menambahkan ini, “...Bang Livi seseorang yang pelit bagi ilmu?”
Livi
terbungkam.
“Benar, kan?”
tandas Tomi.
Primo
semenjak tadi sibuk pada pekerjaan. Tak ingin campur urusan mereka. Tapi ujung matanya turut menelisik ke arah Livi.
Uki salut
pada keberanian Tomi. Tak lama bekerja sudah utarakan uneg-unegnya, kekurangan
di dapur ini, dan melawan kekerasan hati seorang Livi.
“Di luar sana
banyak orang mau masuk ke sini pengen jadi barista kayak kalian. Sayang mereka nggak punya
uang untuk belajar. Beri kami kesempatan belajar dari kalian. Sebab kalian
panutan kami.”
“Sebenarnya
kalian dapat berbangga membantu seseorang yang kepengen banget belajar kopi
darimu.”
“Dengar! Di
sini nggak
ada yang namanya serba instan. Ngerti!”
“Aku tahu.
Aku ada belajar dan bekerja apa yang kalian lakukan dari semula. Berusaha
tingkatkan skill. Aku nggak
bermalasan.”
“Kamu
beruntung ada kenalan, Gee-mu.” Tunjuk Livi mengarah ke luar sana.
Apakah ini alasan Livi tak menyukaiku, tak mau menerimaku dari awal?
“Aku akan
waspada denganmu! Aku mau lihat usahamu,” ancam Livi.
“Baik. Akan
kubuktikan.”
Tomi menggiring Cappucino ke meja pengunjung. Ia menaruh
cangkir kopi susu dengan secarik kertas segiempat sesuai dengan pesanan
pengunjung itu. “Ini.. boleh dibawa pulang supaya besok-besok pengen pesan rasa
kayak hari ini bisa kita bikinkan,” jelas Tomi.
Pengunjung itu mangut-mangut.
Perasaan Tomi, PLONG. Menguap sudah
sesak di dada. Kedongkolannya terhadap seniornya, Livi. Dan melihat respon
pengunjung satu ini tersenyum sambil serius membaca pesanannya. Bikin hati Tomi
sejuk.
Beberapa
pengujung datang dan duduk di sudut kanan. Tempat yang nyantai. Ada tumpukan
buku di meja berbahan kayu.
“Silakan
diisi yah kertas nih? Pesanan custom,”
kata Tomi saat di samping mereka.
Seorang
pengunjung mendongak dan bertanya heran, “Lho nggak ada daftar menu?”
“Ini pesanan custom. Sebenarnya ada. Tapi kami lagi
ngetest untuk enggak pakai daftar menu. Konsumen memesan minuman sesuai dengan
selera kalian. Jadi silakan isi di dalam daftar kolom-kolom itu. Sebagai
gambaran kalian dapat lihat kategori menu ini. Centang saja.”
“Oh gitu.”
“Ini inovasi
baru dan kami ingin berikan sesuatu yang beda kepada kalian. Kalau kurang paham
saya akan jelaskan.”
Tomi berdiri
tak jauh dari meja pelanggan. Ia melirik Gee. Ia gugup, hatinya
membuncah cepat. Apa aku
katakan ya?
Setelah
pengunjung memesan menu custom. Tomi
masuk ke dapur kemudian hampiri Gee. Tomi mengetuk-ngetuk jarinya di meja counter mengganggu ketenangan Gee. Tomi
berharap Gee menanyakan kegelisahannya.
Gee melirik, “Kamu kenapa,
Tom?”
Apa kamu ingat janji kita? Kapan ada waktu luang?
Gee menyebut
ulang orderan yang diberi oleh Tomi, “Meja no. 2 tambah roti bakar 2.”
“Yang itu aku
berhasil buat pengunjung memesan custom
menu,” sahut Tomi.
HP Gee
berdering. Sejenak ia berpaling melihat ke layar hape. Namun ia
menoleh kembali kepada Tomi. “Benarkah?”
Betapa
berkecamuk hati Tomi karena ia sanggup mengalihkan perhatian Gee dari panggilan
itu. Mungkin dari Allan.
Tomi
tersenyum bangga. “Berhasil, kan, aku.” Ia berhasil lagi membujuk pengunjung
untuk memesan pesanan custom.
“Hebat.”
***
Mengapa teleponku nggak diangkat?
“O... Mungkin
Kakak saat itu ngobrol sama teman.”
Siapa?
“Teman lama.
Dia kerja di warung.”
Kok jam segini baru pulang.
“Mmm, tadi...
Wait, wait, Lagakmu seperti Mami aja
deh! Aku lebih tua darimu.”
Gellyta
terkikik di seberang. Siapa sih dia?
“Mau tahu aja!”
Kak... please. Siapa, Kak?
“Teman sekolah.”
Aku kenal dia?
Aduh… aku nyesel kasih tahu dia, keluh Gee dalam hati.
“Dua kali
kamu ketemu dia.”
“Cewek atau cowok?”
“Cowok.”
Matanya menerawang. “Hmm.
Ketemu lagi. Aku lebih suka gaya rambut dia dulu deh.”
Siapa, Kak?
Gellyta menunggu jawaban. Siapa sih
dia?
“Kamu banyak
tanya. Nggak
kuberitahu! Biar kamu penasaran.”
Halo! Halo! Kak...
Tut... tut...
tut...
Gee tersenyum
girang. Tak
terbayang gimana
wajah adiknya kini di Surabaya gundah gulana. Seingat Gee, adiknya mengaku terakhir kali
papasan dengan Tomi di jalanan.
“Aku lihat temanmu jalan di trotoar, dia ke sekolah dekat rumah kita.”
“Temanku, siapa?”
“Dulu cowok yang pernah Kakak tumpangi ke sekolah.”
“O... Tomi.”
“Gimana”
tanya Primo sambil merapikan kerah bajunya.
“Apa gimana?”
Keduanya
berjalan bersama ke tempat parkir.
“Tomi hari
ini.”
“Kenapa
dengan dia?”
Primo
menghela nafas, “Lho dia sanggup beri sentuhan beda. Apa belum mengubah
dirimu?”
“Tidak.”
“Belum cukup?
Berapa poin yang akan kamu beri?”
“Masih
terlalu dini unuk menilai dia.”
“Jangan lupa custom menu ide dari dia, Livi!”
Livi tak menghiraukan omongan Primo. Ia melesat
dengan menancap gas motor.
Bab selanjutnya: Novel Warung Ngopi Bab 7
No comments:
Post a Comment