Allan
menunduk di depan pintu utama. Di samping pintu bertengger blackboard.
“Besok ada menu baru, sudah stok bahan?” tanya lelaki itu kepada Uki. Bosnya
mencalar-calar kapur tulis di papan. Ia menulis sebuah pengumuman untuk
pertemuan yang diadakan hari Rabu mendatang.
Di belakangnya Gee jalan perlahan-lahan. Keadaan kakinya agak
mendingan setelah dua kali diurut. Setelah lakukan pembebatan dengan ankle taping yang membungkus pergelangan
kaki supaya tak terkilir. Rambutnya diikat tinggi. Atasan tanpa lengan warna
putih dengan sentuhan lace membuat
kulit terlihat lebih bersih. Sehingga penampilan nampak lebih cantik. Selain
itu lace top memberikan gaya bohemian
untuk penampilan Gee. Tas cangklong abu-abu gelap. Uki dibuat takjub oleh
penampilan Gee malam ini. “Pantasan Tom Tom digonjang-ganjing sama Gee,” gumam Uki.
Jari telunjuk
Gee menempel di bibir. Kirim
sinyal ke Uki.
“Sudah
kusiapkan.” Jawaban
Uki disertai anggukan
Bosnya dan dirasa
tak ada lagi yang mau dibahas masalah pekerjaan. Maka ia pelan-pelan mundur dan
menghilang dari kedua orang tersebut dan tersenyum.
Lalu kedua tangan Gee menutup mata pria
berkulit putih. Pipinya yang agak tembem. Allan terganggu, tiba-tiba pandangannya gelap tertutup
tangan seseorang. Siapa ngerjain aku?
Lalu menoleh begitu
telapak tangan itu menjauh dari mukanya. Menganga
dan tertawa.
Gee
melentangkan tangan, I’m here.
“Bilang nggak
mau ke sini.”
“I miss u.”
“Me too.”
Tak seorangpun selain mereka. Allan membelai
anak-anak rambut di jidat Gee.
Ketika Tomi
muncul di puncak tangga seraya mengangkat kepala, ia tercekat.
Sepasang
kekasih.
Tangan cewek
itu melingkar di pinggang kekasihnya. Tomi tetap lintasi mereka, ia hendak
menaruh uang pembayaran kopi sehabis mengantar pesanan orang di seberang gerai.
Gee
terkesiap. Segera merenggangkan tangannya dari pinggang Allan.
Allan menatap
Gee. Raut muka Gee seketika berubah tegang.
Sejak kapan dia muncul. Coba ia mengeluarkan suara atau berdehem pelan.
Tomi tak
berbuat apa-apa sehingga membuat Gee ingin beranjak dari situ. “Aku mau ke
toilet.”
Allan
mengiyakan. Heran pada sikap Gee yang mendadak berubah. Mungkin ia malu tunjukkan kemesraan di depan orang.
Gee berjalan ke belakang sambil
mengerutu sendiri,
Kenapa? Kenapa
aku bisa begitu refleks? Semoga Allan tak menyadari.
Gee salah
tingkah dan menyesali perbuatannya sendiri di hadapan dua lelaki itu.
Malam ini
Allan keluar bersama Gee sekaligus mengajaknya mengisi perut. Setelah lama tak
berjumpa. Niatnya sekalian membawa serta adik Gee namun ia hendak keluar
jalan-jalan sore sendirian untuk mencari inspirasi.
Semasa Allan keluar,
Warung Ngopi masih senggang. Sekarang ada seorang wanita berusia
sekitar 20-an tahun, memakai celana panjang, sepatu flat model ballet dengan
tas dari bahan kulit. Berambut panjang gelombang dari tengah sampai di
ujung rambut. Ia memilih tempat dekat ke counter.
Dengan kedua sikut menopang di atas meja panjang. Seekali ia perhatikan tampang
Tomi. Tanpa memesan.
Tomi tertunduk, sesekali juga ia memandangi gadis itu.
Yang paling menarik padanya adalah brain
hat-nya. Sangat unik. Baru ini ia melihat topi model macam itu.
Sehingga membuat Tomi tertawa geli dalam hati.
Mengapa dia belum mau order? Cuman lihat aku doang.
Apa saking aku keren? Apa kamu puas, kenyang hanya menatapku?
“Benar...” batin Gellyta, “... dia.”
Lelaki dewasa
dengan tampang biasa-menurut Gellyta-berdiri di hadapannya, mengingatkan
Gellyta pada puluhan tahun lampau. Seorang anak cowok seumuran Gee menduduki
tangannya.
“Hisssh.”
“O...” Lalu ia bergeser supaya anak SD
itu bisa menarik
tangannya.
“Dia bahkan
nggak tahu meminta maaf kepadaku. Padahal dia yang salah. Memang dia,” kesal
Gellyta dalam hati. “Dia nggak tahu berterima kasih pada kami. Dasar orang
pendiam!”
Kala itu Gellyta protes pada Gee, “Temanmu, Kak, nggak bilang terima
kasih sudah diberi tumpangan.”
“Gely, mungkin dia lupa.”
“Nggak sopan.”
“Dia itu orangnya pendiam, Gely.”
Yah, hari itu
dibilangin pendiam. Namun pada tumpangan kedua, pagi itu hujan.
Sebenarnya mobil mereka yang dikendarai oleh Paman Rudy boleh masuk sampai ke
dalam sekolah. Agar mereka tak kehujanan. Tapi Gee tak menghendaki, “Nggak usah
masuk, Paman. Berhenti sini saja. Ada payung kok.”
Hari itu Tomi
membawa payung.
Mereka turun
dari mobil dan Tomi memayungi Gee. Adik Gee berjalan sendirian menuju ke arah
kelasnya yang tak sejalan dengan kelas Gee.
Mereka berdua
berjalan di tengah-tengah hujan di bawah naungan payung. Bak sepasang kekasih
muda berjalan berdampingan di bawah payung memecah belah derasnya hujan.
Bukankah itu
romantis?
“Sampai-sampai
Kakak belain kamu!” gerutu Gellyta. Tentu tak sampai kedengaran oleh Tomi.
“Sudah lewat
lima menit dia duduk di situ. Mau apa sih dia? Ditawari pesan apa, bilang masih
pikir. Kamu ke sini mau ngapain?” batin Tomi.
“Espresso 1 shot,” seru Gellyta.
Mikir pake lama.
Tugas pertama
telah Gellyta selesaikan. Menemani kakaknya di Tarakan dan
Allan pun sudah tiba di sini. Berarti ia sudah bisa pulang ke
Surabaya. Tugas kedua juga baru kelar Gellyta tuntaskan. Kakaknya protes
kepadanya sebab selama di sini tak pernah ia menyambangi ke kafe Allan. “Tak
suka kopi kan bisa minum minuman lain. Minimal kamu pernah ngelihat kafe
Allan,” kata Gee. Gellyta beralasan ia sibuk mengerjakan desain baju yang sudah
didesak pelanggan.
Ia tak ingin
berlama-lama di sini maka dari itu ia memesan Espresso yang kalau di negara asalnya diminum segera. Gellyta
meneguk lalu beranjak pergi.
***
Langkah Tomi
tercekat. Ia mendengar pembicaraan yang serius ketika melangkah ke dapur.
Nampaknya dari suara Livi, “Aku nggak tahu sama siapa lagi aku pergi pinjam.
Benar-benar buntu otakku.”
“Aku nggak
bisa bantu kamu, Livi. Aku kere.”
Lama tak
dengar suara lagi, Tomi beranikan diri masuk ke dalam. Seakan tak mendengar pembicaraan
rekan kerjanya lalu ia menempel order
custumer ke dinding. Ia tak mau mengganggu obrolan mereka.
Maka Tomi segera keluar jaga gerai. Gee saat ini istirahat di rumah. Sedangkan
Bos-nya keluar sebentar.
Beberapa jam
kemudian diam-diam Tomi menghampiri Uki saat Livi tak berada di dapur. “Livi kenapa?” Dilihat rupa Uki yang
kaget dengar pertanyaan itu. Tomi menjawab kebingungan Uki. “Aku nggak sengaja
dengar omongan kalian. Aku tahu. Tak perlu kamu
sembunyikan dariku.”
Uki menghela
napas. “Oke. Kuberitahu, kita juga nggak bisa membantu.”
“Kasih tahu
aku?”
“Istrinya di Jawa. Dia harus operasi caesar. Anak
pertama Livi.”
“Bos?”
“Sudah. Bos
orang pertama yang dia minta tolong. Dia banyak utang sama bos. Cuman dibantu
sedikit. Bos nggak bisa kasih pinjam uang banyak sama Livi. Habis utang kemarin
belum lunas untuk biayai ibunya sakit.”
“Banyak
sekali tanggungan Livi.”
Ketika
pengunjung sepi Tomi memberanikan diri untuk ngomong. Saat seperti
inilah yang ia nanti-nanti. Allan berada di belakang counter. Semoga
saja ia mengabulkan permohonannya. “Bos, aku boleh pinjam uang?”
“Uang?” Allan
membelalak, “Kamu baru kerja, Tomi!”
Tomi hendak
menggaruk kepala. Ia ingat pesan Allan ketika ia awal-awal kerja, “Jangan garuk
kepala di depan customer!” Ia
menurunkan kembali tangannya. Sekarang
kan bukan di depan pelanggan.
“Penting
banget, Bos...”
“Keperluan
apa kamu?” Allan menunduk tulis sesuatu di buku.
“Ada
saudaraku sakit jadi aku perlu uang, Bos.”
Allan
berpikir sebentar.
Ia merapikan
kacamata dengan jari telunjuk ke tengah bingkai. “Ada syarat.”
“Apa?”
“Tapi... ada waktunya akan kuberitahu.”
“Gimana kalau
aku nggak bisa penuhi?”
“Jika
begitu...” Allan menggeleng kepala, “...aku nggak bisa menolongmu.”
No comments:
Post a Comment