Tuesday 30 May 2017

Novel: Warung Ngopi Bab 10


Bab sebelumnya: Novel Warung Ngopi Bab 9


Single Espresso


Allan menunduk di depan pintu utama. Di samping pintu bertengger blackboard. “Besok ada menu baru, sudah stok bahan?” tanya lelaki itu kepada Uki. Bosnya mencalar-calar kapur tulis di papan. Ia menulis sebuah pengumuman untuk pertemuan yang diadakan hari Rabu mendatang.
Di belakangnya Gee jalan perlahan-lahan. Keadaan kakinya agak mendingan setelah dua kali diurut. Setelah lakukan pembebatan dengan ankle taping yang membungkus pergelangan kaki supaya tak terkilir. Rambutnya diikat tinggi. Atasan tanpa lengan warna putih dengan sentuhan lace membuat kulit terlihat lebih bersih. Sehingga penampilan nampak lebih cantik. Selain itu lace top memberikan gaya bohemian untuk penampilan Gee. Tas cangklong abu-abu gelap. Uki dibuat takjub oleh penampilan Gee malam ini. “Pantasan Tom Tom digonjang-ganjing sama Gee,” gumam Uki.
Jari telunjuk Gee menempel di bibir. Kirim sinyal ke Uki.
“Sudah kusiapkan.” Jawaban Uki disertai anggukan Bosnya dan dirasa tak ada lagi yang mau dibahas masalah pekerjaan. Maka ia pelan-pelan mundur dan menghilang dari kedua orang tersebut dan tersenyum.
Lalu kedua tangan Gee menutup mata pria berkulit putih. Pipinya yang agak tembem. Allan terganggu, tiba-tiba pandangannya gelap tertutup tangan seseorang. Siapa ngerjain aku? Lalu menoleh begitu telapak tangan itu menjauh dari mukanya. Menganga dan tertawa.
Gee melentangkan tangan, I’m here.
“Bilang nggak mau ke sini.”
“I miss u.”
“Me too.”
Tak seorangpun selain mereka. Allan membelai anak-anak rambut di jidat Gee.
Ketika Tomi muncul di puncak tangga seraya mengangkat kepala, ia tercekat.
Sepasang kekasih.
Tangan cewek itu melingkar di pinggang kekasihnya. Tomi tetap lintasi mereka, ia hendak menaruh uang pembayaran kopi sehabis mengantar pesanan orang di seberang gerai.
Gee terkesiap. Segera merenggangkan tangannya dari pinggang Allan.
Allan menatap Gee. Raut muka Gee seketika berubah tegang.
Sejak kapan dia muncul. Coba ia mengeluarkan suara atau berdehem pelan.
Tomi tak berbuat apa-apa sehingga membuat Gee ingin beranjak dari situ. “Aku mau ke toilet.”
Allan mengiyakan. Heran pada sikap Gee yang mendadak berubah. Mungkin ia malu tunjukkan kemesraan di depan orang.
Gee berjalan ke belakang sambil mengerutu sendiri, Kenapa? Kenapa aku bisa begitu refleks? Semoga Allan tak menyadari.
Gee salah tingkah dan menyesali perbuatannya sendiri di hadapan dua lelaki itu.

Malam ini Allan keluar bersama Gee sekaligus mengajaknya mengisi perut. Setelah lama tak berjumpa. Niatnya sekalian membawa serta adik Gee namun ia hendak keluar jalan-jalan sore sendirian untuk mencari inspirasi.
Semasa Allan keluar, Warung Ngopi masih senggang. Sekarang ada seorang wanita berusia sekitar 20-an tahun, memakai celana panjang, sepatu flat model ballet dengan tas dari bahan kulit. Berambut panjang gelombang dari tengah sampai di ujung rambut. Ia memilih tempat dekat ke counter. Dengan kedua sikut menopang di atas meja panjang. Seekali ia perhatikan tampang Tomi. Tanpa memesan.
Tomi tertunduk, sesekali juga ia memandangi gadis itu. Yang paling menarik padanya adalah brain hat-nya. Sangat unik. Baru ini ia melihat topi model macam itu. Sehingga membuat Tomi tertawa geli dalam hati.
Mengapa dia belum mau order? Cuman lihat aku doang. Apa saking aku keren? Apa kamu puas, kenyang hanya menatapku?
“Benar...” batin Gellyta, “... dia.”
Lelaki dewasa dengan tampang biasa-menurut Gellyta-berdiri di hadapannya, mengingatkan Gellyta pada puluhan tahun lampau. Seorang anak cowok seumuran Gee menduduki tangannya.
“Hisssh.”
“O...” Lalu ia bergeser supaya anak SD itu bisa menarik tangannya.
“Dia bahkan nggak tahu meminta maaf kepadaku. Padahal dia yang salah. Memang dia,” kesal Gellyta dalam hati. “Dia nggak tahu berterima kasih pada kami. Dasar orang pendiam!”
Kala itu Gellyta protes pada Gee, “Temanmu, Kak, nggak bilang terima kasih sudah diberi tumpangan.”
“Gely, mungkin dia lupa.”
“Nggak sopan.”
“Dia itu orangnya pendiam, Gely.”
Yah, hari itu dibilangin pendiam. Namun pada tumpangan kedua, pagi itu hujan. Sebenarnya mobil mereka yang dikendarai oleh Paman Rudy boleh masuk sampai ke dalam sekolah. Agar mereka tak kehujanan. Tapi Gee tak menghendaki, “Nggak usah masuk, Paman. Berhenti sini saja. Ada payung kok.”
Hari itu Tomi membawa payung.
Mereka turun dari mobil dan Tomi memayungi Gee. Adik Gee berjalan sendirian menuju ke arah kelasnya yang tak sejalan dengan kelas Gee.
Mereka berdua berjalan di tengah-tengah hujan di bawah naungan payung. Bak sepasang kekasih muda berjalan berdampingan di bawah payung memecah belah derasnya hujan.
Bukankah itu romantis?
“Sampai-sampai Kakak belain kamu!” gerutu Gellyta. Tentu tak sampai kedengaran oleh Tomi.
“Sudah lewat lima menit dia duduk di situ. Mau apa sih dia? Ditawari pesan apa, bilang masih pikir. Kamu ke sini mau ngapain?” batin Tomi.
Espresso 1 shot,” seru Gellyta.
Mikir pake lama.
Tugas pertama telah Gellyta selesaikan. Menemani kakaknya di Tarakan dan Allan pun sudah tiba di sini. Berarti ia sudah bisa pulang ke Surabaya. Tugas kedua juga baru kelar Gellyta tuntaskan. Kakaknya protes kepadanya sebab selama di sini tak pernah ia menyambangi ke kafe Allan. “Tak suka kopi kan bisa minum minuman lain. Minimal kamu pernah ngelihat kafe Allan,” kata Gee. Gellyta beralasan ia sibuk mengerjakan desain baju yang sudah didesak pelanggan.
Ia tak ingin berlama-lama di sini maka dari itu ia memesan Espresso yang kalau di negara asalnya diminum segera. Gellyta meneguk lalu beranjak pergi.

***

Langkah Tomi tercekat. Ia mendengar pembicaraan yang serius ketika melangkah ke dapur. Nampaknya dari suara Livi, “Aku nggak tahu sama siapa lagi aku pergi pinjam. Benar-benar buntu otakku.”
“Aku nggak bisa bantu kamu, Livi. Aku kere.”
Lama tak dengar suara lagi, Tomi beranikan diri masuk ke dalam. Seakan tak mendengar pembicaraan rekan kerjanya lalu ia menempel order custumer ke dinding. Ia tak mau mengganggu obrolan mereka. Maka Tomi segera keluar jaga gerai. Gee saat ini istirahat di rumah. Sedangkan Bos-nya keluar sebentar.
Beberapa jam kemudian diam-diam Tomi menghampiri Uki saat Livi tak berada di dapur. “Livi kenapa?” Dilihat rupa Uki yang kaget dengar pertanyaan itu. Tomi menjawab kebingungan Uki. “Aku nggak sengaja dengar omongan kalian. Aku tahu. Tak perlu kamu sembunyikan dariku.
Uki menghela napas. “Oke. Kuberitahu, kita juga nggak bisa membantu.”
“Kasih tahu aku?”
“Istrinya di Jawa. Dia harus operasi caesar. Anak pertama Livi.”
“Bos?”
“Sudah. Bos orang pertama yang dia minta tolong. Dia banyak utang sama bos. Cuman dibantu sedikit. Bos nggak bisa kasih pinjam uang banyak sama Livi. Habis utang kemarin belum lunas untuk biayai ibunya sakit.”
“Banyak sekali tanggungan Livi.”
Ketika pengunjung sepi Tomi memberanikan diri untuk ngomong. Saat seperti inilah yang ia nanti-nanti. Allan berada di belakang counter. Semoga saja ia mengabulkan permohonannya. “Bos, aku boleh pinjam uang?”
“Uang?” Allan membelalak, “Kamu baru kerja, Tomi!”
Tomi hendak menggaruk kepala. Ia ingat pesan Allan ketika ia awal-awal kerja, “Jangan garuk kepala di depan customer!” Ia menurunkan kembali tangannya. Sekarang kan bukan di depan pelanggan.
“Penting banget, Bos...”
“Keperluan apa kamu?” Allan menunduk tulis sesuatu di buku.
“Ada saudaraku sakit jadi aku perlu uang, Bos.”
Allan berpikir sebentar.
Ia merapikan kacamata dengan jari telunjuk ke tengah bingkai. “Ada syarat.”
“Apa?”
“Tapi... ada waktunya akan kuberitahu.”
“Gimana kalau aku nggak bisa penuhi?”
“Jika begitu...” Allan menggeleng kepala, “...aku nggak bisa menolongmu.”



No comments:

Post a Comment