Bab sebelumnya:
Keyakinan Tomi
Tomi memandang seseorang di depan minimarket. Ia
berani menepuk pundaknya karena ia yakin mengenal orang tersebut. “Hei, Allan!”
Allan
terperanjat. Bukan masalah siapa yang menepuk tiba-tiba melainkan orang itu
adalah Tomi, “Kamu!” Ia seakan tak percaya diperlakukan seperti itu.
Entah hari
ini hari sialkah. Kesabaran Allan sedang diuji.
Tomi menangkap raut kekesalan di wajah
Allan. Tomi baru mengerti arti pertanyaan Allan. “Oh... Kita kan seumur. Bukan
di waktu kerja. Aku kenal Gee. Gee tunanganmu, yah, kita temanan dong,” papar
Tomi selengekan, menyenggol lengan Allan.
“Mau kemana?”
Allan jawab
singkat. “Pulang.”
“Aku nebeng.
Kita kan sejalan.”
Tomi berjalan dampingan dengan Allan yang menyusuri ke mobil. Allan melongos
panjang.
“Seberapa
dekat kamu dengan Gee?” tanya Allan di tengah perjalanan.
“Nggak
dekat.” Tomi memandang ke luar jendela. “Dia baik kepadaku. Selalu bantu aku
saat aku susah. Hehehe.”
“Seperti
sekarang?”
“Iya. Kamu
benar. Aku berhutang budi kepadanya. Mungkin aku hidup hanya berhutang budi
terhadapnya. Aku nggak tahu balasan untuknya bagaimana?”
“Sepertinya
kamu menyukainya?”
“Siapa?”
“Kamu.”
“Menyukainya?
Nya itu siapa?”
“Gee.”
Tomi
terbahak-bahak. “Sukalah.
Setiap orang yang dekat dengan dia pasti suka. Itu pasti. Siapa yang tak suka. Bahkan pengunjung kedai
sekalipun pertama kali bertemu menyukai pribadi Gee.”
Tampaknya dia menjawab diplomatis.
“Menurut
kamu, dia gimana sampai orang menyukai dia?”
Tomi
menerawang. Memikirkan sosok Gee di atas kepalanya. “Bagiku, dia itu pintar
banget... bukan banget tapi bingit...”
Allan tak
mengacuhkan candaan Tomi yang nggak berfaedah baginya. Macam kekanak-kanakan.
Ia mengedepankan isi pokok pembicaraan ketimbang obrolan yang iseng. “Ck.
Tapi aku lihat kamu beda?”
“Aku beda.
Beda soal apa? Apa maksudmu?”
“Kamu...
naruh perasaan terhadap Gee, kan?” sidik Allan.
Tomi
mengetuk-ngetuk jemari di pintu jendela mobil. Menciptakan irama yang bebas.
“Gee...?”
Allan
mendengus panjang. Ia heran pada sikap Tomi dan mencoba bersabar sama Tomi. Ia
sangat lamban menangkap omongan Allan.
“Iya,” jawab
Tomi.
“So, kamu terang-terangan mengakui suka
Gee?”
“Benar,” Tomi
mengangguk dua kali.
Allan
menelengkan kepala, namun tetap fokus mengemudi. “Kamu berani banget?”
Toni melirik
ke Allan dengan gaya santai ia berkata, “Kamu tanya kepadaku tentu kujawab.”
“Kamu tahu
apa arti tunangan?”
Tomi angkat
bahu, “Terus terang aku nggak ngerti apa itu tunangan.”
Allan tertawa
menggelegar. “Tunangan, tak tahu!” ia tersenyum mengejek.
“Setahuku
selama dia belum menikah dia pantas kuraih,” lanjut Tomi.
Allan
menelengkan kepala ke kiri. Wajah Allan tampak serius, “Berarti kamu merebut pacar orang! Pasangan yang hampir
menikah.”
“Tidak. Gee
suka padaku,” tanggap Tomi yakin.
Perasaan suka
dapat diteropong dari sikapnya.
Tomi
menyadari.
Tomi
merasakan walau Gee tak mengatakan. Apabila ditelisik dengan melihat kejadian menimpa pada mereka
akhir-akhir ini.
Ucapan itu
membuat Allan tak percaya keluar dari mulut Tomi. “What's?”
“Kamu mau
kupecat!”
“Urusan
pribadi masak main pecat!” ujar Tomi enteng.
“Ayo, kita
terang-terangan. Main fair. Siapa
yang paling disukai Gee!”
“Kamu... ajak
bertaruh?”
“Ayo! Siapa
takut? Siapa
yang akan dipilih oleh Gee?” tantang Allan dengan dagu terangkat.
Tomi
angguk-angguk kepala. Tampak percaya diri dan yakin sekali. “Oke-ey,” tegas
Tomi.
Sebenarnya Tomi tak yakin posisinya di hati Gee sebagai apa
namun ada seseorang yang mampu menyakinkan keraguannya. Pernah suatu waktu Tomi
membawa Gee ke warung makan ibu Tomi. Awalnya Gee mengajak Tomi pergi ikut
belanja untuk keperluan dapur Warung Ngopi. Gee banyak bertanya soal warung
makanan milik ibu Tomi. Jadi Tomi sekalian mampir ke warung ibunya.
“Kamu siapa?”
“Saya Geizya Tanaja, Tante.”
“Pacar Tom Tom.”
Gee mengulum
senyum.“Bukan.”
Tomi saat itu
di dapur siapin minuman ringan buat Gee.
“Kamu suka pada anakku,” tanya Mama Tomi mendadak. Bikin
tenggorokan Gee tercekat.
Pipi Gee merona. Ia menunduk. Ia bukan malu tapi ia merasa risi
ditanyain begitu sedangkan ia baru mengenal ibu Tomi.
“Tak apa-apa. Ngomong saja. Nggak usah malu.”
“Tante, saya bukan pacarnya.”
“Kamu tentu suka dengannya? Kalau bukan mengapa Tom Tom membawamu
kemari,” Mama Tomi desak lagi, “Benar, kan? Tomi ada cerita tentang dirimu.”
“Kamu suka
pada anak perempuan yang pernah temui Mama, kan?”
Tomi tak
menjawab.
“Apa kamu
sedang berpacaran?”
“Pacaran apa
sih!”
“Kenapa dia
ke warung?”
“Dia hanya
mau datang main.”
“Kamu suka
dia?”
“Mama...”
“Kalau gitu
mengapa, kenapa dia suka padamu.”
“Suka aku?”
“Kamu nggak
tahu?”
“Darimana
Mama tahu? Dia suka padaku.”
“Dia kesini
pertama kali.” Anaknya terbahak-bahak. “Walaupun dia nggak terang-terangan ngaku
suka kamu. Tapi Mama bisa baca matanya. Dia ada perasaan kepadamu.”
“Apa? Mama
ada ilmu telepati? Bisa baca ilmu hati orang.”
“Harap kamu
tanya dia sendiri. Aku
nggak dapat-dapat menantu. Kamu tuh pemalu. Sempat dirampas orang lain.”
Yang tak wajar mengapa ibu Tomi langsung men-judge Gee suka Tomi di saat hari pertama
mengenal dan melihat Gee. Hanya berdasar cerita Tomi jadi ibu Tomi menduga
pasti perempuan ini yang pernah diomongin Tomi kapan hari.
Dan firasat seorang ibu selalu menganggap, bila anak cowok
membawa seseorang menemui ibunya. Pasti ia sedang memperkenalkan
gebetannya.
Ma, Ma,
ada-ada saja.
No comments:
Post a Comment