Di ruang makan.
Wendy, umur 11 tahun, berambut cepak, duduk di seberang ayahnya. “Minggu
depan kalian harus pakai helm, tuh!” kata Ayah Wendy.
“Kenapa, Pa?”
“Ini, ada
pemberitahuan. Kalau kamu gak pakai nanti kena razia.” Ayah Wendy merujuk ke
artikel koran hari ini.
Mulai tanggal
1 Maret, warga kota Tarakan khususnya anak-anak diwajibkan memakai helm. Karena
apa? Dua minggu terakhir sering terjadi lakalantas (kecelakaan lalu lintas). Kebanyakan korban adalah anak-anak
remaja yang tak mengenakan helm sewaktu mengendarai motor. Berdasarkan sumber data kepolisian, kecelakaan motor
paling banyak terjadi di Tarakan.
“Daripada
uang melayang bagus beli helm baru.”
“Sudah ada,”
jawab Diana.
“Oh, sudah
ada. Mana, coba Papa lihat?”
Wendy pergi ke ruang gudang. Dibawanya helm standar berwarna
oranye.
“Oh, ini. Papa pikir helm siapa taruh di sini. Besarnya,
kenapa gak beli yang kecil.”
“Hish, buat apa yang kecil. Sebentar mereka besar. Mama
sekalianlah belikan yang besar,” seru Ibu Wendy sambil memotong-motong buah
mangga.
“Tadi mau
dikasih helm gratis, besaar.. sama Om Hardi.”
“Iya, Pa. Kayak orang-orang pembalap motor racing gitu.”
“HAHAHA,” ayah Wendy tertawa. Di balik punggung, ibu Wendy
juga tersenyum melihat tawaran Hardi di rumahnya tadi siang. Ia yang
memberitahu perihal kalau anak SD sekarang harus pakai helm.
“Ada SNI gak, nih?”
“Apa SNI itu, Pa?” tanya Wendy.
“Standar
Nasional Indonesia. Helm sudah harus melalui standar pengamanan Indonesia.
Kalau lolos ada cetakan SNI di helm.”
“Coba cari,
Wen?”
Helm diambil
Kak Diana dari tangan Wendy. Wendy cemberut.
“Iya, Pa. Ada.”
“Lihat bah, Kak!” rengut Wendy.
Kak Diana masih menahan helm di tangannya, “Tunggu, aku
dulu.”
“Hisssh…”
Ibu Wendy menaruh sepiring mangga di meja. “Kakak, kasih ke
Wendy-lah!”
“Nah.”
o0o
Suatu ketika, Wendy tak bisa dijemput oleh orang tua mereka. Ibu
Wendy meminta tolong kepada adiknya kalau menjemput anaknya sepulang sekolah
sekalian mengantar Wendy ke rumah.
Tampak Wendy berlari-lari kecil menuju je mobil. Kak Dipa
yang berdiri di samping pintu, membuka pintu mobil.
Di dalam
terdengar suara orang tertawa.
“Kenapa, Ma?”
“Tuh lihat
sepupumu. Lucu pakai helm. Lebih besar helm daripada orangnya.”
Dilihat Wendy masuk ke dalam mobil. Tante Ira
berujar, “Wen, helm-mu itu kebesaran bah?”
“Biarinlah.”
“Gak usah
pakai helm, mana ada apa-apa. Tuh, teman-temanmu banyak yang gak pakai helm. Bikin repot, sudah bawa
tas sekolah, belum lagi buku banyak-banyak.”
“Rugiiii,”
Wendy menampakkan giginya. “Daripada kena razia lalu kena denda. Uang melayang.
Nah, siapa yang mau bayar? Tante Ira?”
Tante Ira
terdiam.
“Heeeeh...”
Tante Ira cuma
tersenyum dikuti Kak Dipa.
o0o
Semenjak kakak Wendy, Diana, diperbolehkan mengendarai motor.
Wendy suka ikut dan sering minta diboncengi sama Kak Diana.
Sebenarnya
Diana ngebet banget mau bawa motor sendiri tapi ia tak diperbolehkan sama
ibunya. Mengendarai motor sebelum usia (17 tahun usia dimana tepat boleh
mempunyai izin mengemudi kendaraan). Padahal banyak teman-temannya yang sudah bisa bawa motor ke
sekolah.
Tapi ibunya
berpegang teguh pada prinsipnya.
“Din, kau sudah pulang?”
“Iya, Ma!” Diana masuk ke dapur. Meletakkan sekotak kue di
meja. Ibunya memperhatikan bagian kepala Diana yang masih mengenakan helm,
“Jemput Wendy di tempat les Bu Raisa.”
Diana
mengeluh, “Ihh, Mama! Aku baru aja sampai. Mama jemputlah!”
Ibunya sedang
membasuh piring, “Wendy mau kau pergi jemput dia!” mata ibu Wendy melotot.
“Haiissh!
Anak itu!” Diana memutar badan.
“Din, kancing tali helm-mu!” pekik ibu Wendy.
“Iya!!” sahut
Diana di pintu depan.
Segera ia
mengaitkan tali pengaman helm di dagunya. Diana tak ingin kecolongan lagi.
Ada hari itu,
ia disuruh pergi menjemput adiknya juga macam di saat seperti ini. Ia tiba-tiba
terjatuh ke jalanan aspal. Dan tak sadar
diri. Kata orang-orang sana, ia sempat kejang-kejang. Mereka pun
terheran-heran. Aneh, mengapa Diana mengendarai motor dengan kecepatan pelan
kok bisa tiba-tiba jatuh sendiri. Itupun jadi pertanyaan orang-orang di rumah.
Diana sendiri disuruh check
up di kepalanya. Takut ada masalah karena ia lupa
mengancing tali pengaman.
Setelah di-check. Ia tak mengalami sembarang
keluhan, masalah apa-apa pun di kepala. Paling sakit kepala sedikit.
Hal ini sempat membuat ibunya gelisah dan dibuat repot. Harus
bolak balik ke rumah sakit untuk mengecek keadaan kepalanya. Diana
sendiri merasa aneh kenapa ia pingsan dan tak tahu kejadian sebenar.
Kecelakaan
tunggal yang menimpa dirinya membuat ia sadar pentingnya helm. Hal itu
mengingatkan pada ucapan Bu Pendeta yang menjenguk Diana di rumah sakit.
Ia selalu
mengingat kata-kata itu, “Pakai helm, lain kali jangan lupa ikat tali pengaman
helm.”
o0o
“Ma, agak cepat bah, Ma!”
“Kenapa
terburu-buru?”
“Mama bawa
motor lambat kayak bekicot!”
“Yang penting
kita sampai selamat.”
Sontak ibu Wendy terkesiap, “Wuiih.”
“Kenapa, Ma?”
“Kau gak lihat tadi?”
“Gak. Mataku lihat ke sebelah kiri.”
“Orang itu tiba-tiba nyalip di sebelah mama. Kaget aku. Bikin
jantungan!”
“Motor, Ma?”
“Iya,” Ibu
Wendy mengelus dada lalu tangannya kembali memegang stang motor. “untung aku sigap.”
Jalan raya di Tarakan sudah tak seperti sekarang. Kian banyak
motor di jalanan. Semakin padat. Banyak motor. Kalau tak berhati-hati bisa
celaka. Yang tak salah bisa alami kecelakaan bukan orang yang ngebut, atau
menyalip. Malah mereka lari.
“Kenapa
mereka lari, Ma?”
“Pasti mereka
tak ada SIM.”
Tiba di rumah.
“Nah, Wen. Biar mama bawa motor nyantai, pelan. Tapi kita sampai kan di tujuan. Bukan
di rumah sakit.”
“Hhm.. Yalah tuh, Ma.”
Wendy tersenyum.
“Kalau Mama juga
ngebut kayak orang tadi. Kita sama-sama tertabrak tuh.”
“Haissh, Mama
nih.”
“Makanya Mama
kalau mau belok tunggu dulu gak banyak motor di jalanan.”*W
No comments:
Post a Comment