Saturday 26 March 2016

Cerita Rara dan Cerita Lainnya: #1

Hadiah Sweet Seven Teen

Rara bertanya-tanya mengapa Bang Do tak lulus, kenapa cowok terganteng bisa tak lulus? Apa dia miliki IQ rendah atau karena ketampanannya dia sengaja memilih mundur setahun jadi penghuni di SMA B.
Atau.. adakah alasan lain menimpa Bang Nando?
Nando mengutarakan dan menjawab setiap sesi pertanyaan Rara atau nando akan bercerita tentangnya sepengal-pengal. Tapi akan disuguhkan gimana Nando setahun lalu.
“Bang Nando orangnya pendiam. Dia mau omong kalau kau memulai bicara,” kata Re ketika dulu ditanya sama Rara pas ketemu Do. “Kakakmu sombong atau songgong. Pelit bicara.”

Re nguping di belakang dinding, percakapan mereka. Datang Mi menghampiri untuk ngagetin sang kakak, “Rupanya kakak di sini?”
Re tahan langkah Mika, “Yuk?”
“Kemana?”
“Keluar.”
“Gak mau. Aku mau bicara sama Rara. Ngobrol bareng.”
“Yuk kita main PS?”
Mika memutar dari rangkulan Re. Re dapat menangkap lengan Mi.
“Re…”
Re tutup mulut Mika agar tak berisik. Paksa giring adiknya ke ruang santai. “Ayo! Kalau kau bisa kalahkan aku, kau minta apa saja.”
“Gak nipu, kan?”
“Iya.”
“Seminggu aku main PS.”
“OK.”
“Enggak. Sebulan.”
“Kam… OK.”
“Kenapa sikap Kak Re aneh hari ini?”
“Sekarang ini waktu yang tepat kita bantu Abang kita.”
“Apa maksudmu? Biarkan ia pacaran dengannya? Aku gak setuju.”
“Di otakmu. Hanya pacaran.”
“Gini-gini aku naik terus.”
“Abang lain kondisinya.”

***

Mami datang ke rumah.
“Kau sering pulang kemalaman. Nenek khawatir, Do.”
“Nggak usah khawatirkan aku.”
“Kenapa kau, cari pelampiasan? Cari perhatian. Ingat, Do. Kau punya adik dua. Jadi abang untuk adik-adikmu, Do.”
“Mami gak perlu ke sini.”
“Gimana enggak?”
“Kau ajak teman-temanmu ke sini buat pesta, minum minuman keras. Mami temui di kamarmu, Do!”
“Do, jangan deh lagi bawa mereka ke sini. Kau ditanggap, gimana?”
“Gak usah.”


Do ditarik telinga oleh nenek.
Gara-gara ulah Nando sering keluyuran ke kelab malam. Diajak teman ayuk saja. Ikut.

Nilainya jatuh terjerembab. Merosot tajam. Maminya tak ada di samping. Dia bertugas ke luar kota. Di saat paling dibutuhkan tiada orang yang disayanginya dapat berada di sisinya. Itulah sebabnya dari sejak awal keputusan sang ibu tak disetujui. Dia mulai secara perlahan tak mengindah harapan dan keluh kesah para anak-anaknya.


“Kau pilih sendiri. Karier atau tetap di sini?”
“Janjimu akan mendukung sepenuhnya untukku. Gimana janjimu dulu?”
“Aku sekarang berhasil. Tak usahlah kau bekerja.”
“Aku mau beraktivitas di luar.”
“Waktumu berbagi sama anak nanti berkurang.”
“Mereka sudah besar.”
“Bagaimanapun mereka tetap membutuhkanmu?”
“Kita jadi canggung. Bukan sepasang suami istri lagi dua puluh tahun lalu. Kudapati kau orang asing bagiku.”
“Setiap hari kita bertengkar soal yang sama. Ketidaknyaman lagi bersamamu. Hilang, Ma.”
“Jadi ini yang kau mau?”
“Anak-anak aku jaga. Gono-gini aku gak perebut.”
“Biar aku semua rawat mereka. Kalau di tanganmu aku takut mereka kecewa padamu lalu kembali kepadaku. Mereka gak akan mau bermain denganmu lagi, gimana?”

Kenapa orang yang pertama kali mendengar semua itu mesti aku, Nando?
“Prangg…”
Tumpahan cairan susu meluber di lantai bersama serpihan-serpihan kaca bening. Tangan Nando basah oleh susu. Tangannya masih bergetar. Tak tahu apa yang harus dia perbuat. Sehingga tak menyadari orang tuanya sudah berada di hadapannya.
Dua tahun lalu.
Tak heran kenapa Nando bisa terpuruk mendengar langsung di kamar orang tuanya. Apa mereka lupa cara menutup pintu kamar? Apa mereka sengaja untuk memberitahukan masalah mereka yang sedang dihadapi sekarang? Apa mereka tak tahu cara lagi untuk menejelaskan dan menerangkan apa yang sedang terjadi pada mereka?

***

Asap mengepul keluar dari jendela kamar. “Kak, lihat!” Re mendongkak kepala. Mereka saling bersitatap. “Kamar Abang,” seru Re kepada adiknya. Mereka berlari naik ke tangga.
Re menelepon ke ibunya. Kata ibunya menyarankan tunggu dia datang.
“Ndo, gak pantas kau ngerokok di depan adikmu. Mereka bisa ikutan, Ndo!”
Nando diam.


“Kenapa dia berada di sini?”
“Kau gak dia di sini?”
Nando angguk kepala.
“Bisa?”
“Hmm.”
“Ceritakan, Ndo?”
“Nando mau nginap di rumah Mama malam ini?”
“Anak Mama, tentu Mama senang. Kenapa jadi sungkan sama Mama?”
“Dia ada di rumah, Ma?”
“Untuk malam ini. Tidak. Mama mau semalaman sama Pangeran Tertampan milik Mama.” Ibu Nando mengatup bibir, cium kening putranya.
“Nando, boleh berjanji sama Mama?”
“Apa, Ma?”
“Walau bagaimana kau hidup tanpa Mama, bisakah kau mau menjaga dirimu berarti kau menjaga adikmu.”
“Mama izinkan kamu main DJ. Berpacaran. Tapi Mama memohon padamu. Jauhi obat terlarang. Mama gak dukung kau sama sekali. Pacaran semasa sekolah Mama beri kelonggaran kepadamu. Tapi, Mama minta satu hal penting sama kamu. Mama mau Nando jaga Re dan Mika semasa Mama tak ada di sisi mereka. Tentu Mama tak bisa meninggalkan kalian. Mama akan pantau kalian dari jauh. Gak bisa lagi sedekat dulu. Mama terkadang menyesal. Hingga Re membenci Mama.”
Nando menatap ke dinding lekat-lekat. Ke satu titik. Dan terpaku diam. Dia melahap semua ucapan sang ibu.

Pintu pagar bercat hitam terbuka dikit. Nando masuk. “WAH. Mentereng nih mobil? Siapa punya? Teman Papa datang?”
“Warna hitam kesukaanku.” Nando menyentuh bodi mobil itu berlogo Mercedes.
Ayah Nando bersantai di sofa nonton acara berita siang. “Baru pulang?”
“Iya.” Papa seorang diri. “Mana teman Papa?”
“Teman, sudah pulang.”
“Mobil di luar?” Ibu jari Nando mengarah ke luar. Dentingan kunci dilempar kea rah Nando. Dia terkejut. Refleks dia tunggu kunci mendarat di genggamannya. Dia tersenyum seringai, “AKU?”
Dijawab anggukan sekali.
Segera saja Nando banting tubuhnya ke sofa di sisi Ayahnya.
“Papa gak main-main?”
“Suer.”
“Dalam rangka apa?”
“Ulang tahunmu 17 tahun.”
“Sudah lewat, Pa.”
Ayah Nando melihat raut buah hatinya berubah. “Kenapa?”
“Aku gak lulus.”
“Papa sudah janji padamu, Ndo.”

***
“Papa beliin Abang mobil?”
“Iya.”
Wajah Re datar. Ayah Re menambahkan, “Kau?”
“Ngg?”
“Mau apa di ultahmu nanti?”
“Seven teen?”
“Hmm.”
“Aku… mau. Perusahaan Papa.”
“HAHAHA.” Ayah Re tertawa bahak-bahak. Kayaknya memenuhi seluruh ruangan itu. “Re mau Papa pensiun.”
“Re mau bantu, Papa.”
“Re…”
Bola mata Ayah Re berbinar-binar. Cahaya mengkilat dalam mata itu. Cahaya yang akan menyinari rumah ini. Dia berharap omongan tadi itu bukan sebuah omongan kosong belaka.
“Gak pesta, Re?”
“Re gak mau hura-hura, Pa. Ngabisan uang Papa.”
Re dipeluk ayahnya. “Re…”


Ayah Nando hari itu sibuk menuntaskan kerjaan di luar kota. Tak ada waktu luang untuk anknya. Ayah mereka cukup member intensif les tambahan di luar jam sekolah. Dia tak sanggup mengajari anaknya selain karena keterbatasan waktu dan pelajaran yang auh beda dengan semasa dia sekolah zaman dulu. Dia mempercayakan anak-anaknya untuk belajar sendiri. Buat si bungsu ada kakak yang bisa membantunya selesaikan PR.
Ujian nasional anak-anak di rumah, Dani tak mau melewatkan waktu bersama mereka.
Tak mengulang kejadian pada Nando terjadi kembali kepada adik-adiknya.


No comments:

Post a Comment