Friday 25 April 2014

Marrying You

“Kau dimana?”
“Di jalan.”
“Cepatan!” Ia menekan tombol akhiri percakapan di telepon.
“Mama, aku mau main itu…” tunjuk sang bocah berusia 5 tahun.
Ibunya menoleh ke belakang, “Hmm.” Bocah itu pun meloncat dari sofa. Melintasi ibunya. Ia mengusap rambut depan anaknya ke belakang. “Hati-hati!” Bocah itu berlalu seakan tak peduli omongan ibunya.

Tak lama kemudian, bocah itu berganti wujud lelaki berumur 25 tahun ke atas di hadapannya. Hempaskan tubuhnya. Lututnya lebih tinggi dari bokongnya. Sebab sofa itu di desain menjorok ke dalam.
“Ngapain sih?”
“Ke rumah teman.”
“Ya, siapa? Aku tahu?”
“Kita ada tugas kuliah bareng sama jalan sebentar setelah itu.”
“Kau jalan sama mantanmu?”
“Iya.”
“Siapa namanya?”
Grada menyerah, “Dina.”
“Oh itu. The X.”
“Iya.”
Tiap kali mantanku dijuluki the X. Serba salah deh. Dikasih tahu salah gak dikasih tambah salah. Gimana sih yang benar. Kumat deh ngambeknya.
Apa tadi karena aku telat datang. Biarkan dia lama menungguku.
“Oke deh oke. Aku salah. Minta maaf.”
 “Kita akhiri di sini.”
”Lho!” Grada membelalak. “Kok gitu? Aku sama Dina ngobrol doang. Udah. Dulu-dulu minta putus melulu.”
“Abis aku capek sama kamu. Kau selalu bohongi aku.”
“Kalau aku beritahu aku takut ntar kamu marah aku. Kamu pencemburu. Aku tahu.”
“Bukan masalah itu.”
Grada melunak. “Tara…”
“Mama kamu…”
“Tiga tahun aku tunggu kau.”
“Sabar… Sabar…”
Cocok sekitar 25 tahun, delapan tahun lebih muda dari pasangannya. Perhatikan wajah di depannya, berambut panjang. Walau dirinya tak menyukai rambut panjang tapi rela piara demi permintaan cowok muda itu.
“Aku tahu kau sebel sama aku.”
“Kau nuntut keputusan di aku. Sebuah putusan yang berat bagiku, Tara. Mama memang gak menyukai. Cukup aku sajalah menyukaimu. Aku gak akan selingkuh darimu. Benar-benar aku sudah berkomitmen denganmu.”
“Jadi pilih aku atau mamamu?”
“Dia orang tuaku, Tara.”
“Lebih baik kita putus.”
“Aku gak mau.”
Perempuan itu pasang wajah jutek.
Pria muda itu menghela napas. “Tolong dong kasih kesempatan aku, kita berdua berjuang bersama-sama. Mama bisa saja luluh melihat cinta kita. Suatu saat pasti.”
“Aku bukan lelaki lemah. Aku tahu kamu kecewa padaku yang… Aku mau kita tetap bersama meski Mama menolak kita pacaran. Aku bukan mudah seorang yang mudah menyerah terhadapmu. Percayakan kepadaku. Mari kita jalanin saja proses ini. Kita pelan-pelan bujuk Mama lewat cinta kita.”
Perempuan itu menjentik-jentikkan kuku jari tengahnya. Ia terharu mendengar perkataan tadi.
Hanyut dalam kebisuannya. Matanya lebih tercurah pada kuku-kukunya yang di poles cat warna-warni mencolok. Ia mengaplikasikan top nail bening sebagai langkah terakhir memoles kukunya supaya mengkilat.
“Percayakan saja kepadaku semua! I will marrying you, Tara.”


Ikatan Tanpa Pernikahan
“Ma, boleh aku panggil ayah?”
“Tanya Om, apa boleh?”
Om itu membungkuk, “Boleh.”
“Ayah!” Tangan kecil Bunga berlari rangkul leher beton yang lebar. Tiap datang ayahnya ia bergegas menghampiri pintu saat berbunyi ting tong.
Lelaki berjambang, sering membuatnya sebagai barang mainan kepada Bunga. Mengelitik pipi Bunga. Berumur 7 tahun. Ia sepintar ibunya menurut pendapat lelaki itu.
***
Kesepakatan kami ikatan tanpa pernikahan. Mas Poppy -panggilanku untuknya- bilang daripada kita nikah lalu bercerai. Kita hidup bersama. Tinggal satu rumah. Orang tua Mas Poppy tak menyukaiku memiliki anak sendiri.
Mas Poppy baik, perhatian sama aku apalagi terhadap Bunga. Sangat sayang. Itu saja dulu yang paling kuutamakan dalam hidupku bersama Bunga. Cintaku… nomor sekian.
Bunga adalah nomor satu.
Satu, dua, dan tiga tahun. Sampai delapan tahun aku mentok. Titik dimana aku berpikir jernih. Sebenarnya bukan jalan ini ku pilih dan kuinginkan dari Mas Poppy. Pernikahan abstrak sangat menguras waktuku.
Pikiran semacam kenapa aku menginginkan sebuah keluarga yang utuh?
Aku sedih dan tangisi diri. Mengapa aku berpisah dengan Mas Poppy?
Aku mencari seseorang di luar sana yang mencintai Bunga dan memberikan cinta kepadaku. Aku akan belajar mencintainya sepenuh hatiku. Dengan seperti tali mengikat menjadi sebuah ikatan utuh dalam hidupku.



Pacarku, Ma
“Ma… Moony. Ma.”
“Jangan bawa masuk ke dalam!”
“Ma… sudah keputusanku milih dia, Ma. Dia pacarku.”
“Mama gak mau bertemu muka dengannya! Mama gak terima.”
Gada membawa pulang pacar pertamanya. Mereka pacaran berbulan-bulan.

Pada waktu malam, Gada mengetuk pintu kamar ibunya. “Ma, aku masuk.”
Ibunya baring di kasur. Gada duduk di tepi tempat tidurnya. “Aku gak ingin Moony jadi perempuan berdosa.”
“Dari sejak dulu aku peringatkan kau, Gada. Jangan teruskan! Kenapa kau malah berbuat lebih parah, semau kalian.
“Kita saling cinta, Ma.”
“Aku tak bisa melepasnya.”
“Kau seperti bukan anakku. Yang penurut waktu kecil, Gada. Dia janda. Punya anak satu. Umurmu muda. Lima tahun dari dia.”
“Aku gak mau cari perempuan lain. Aku gak akan menikah.”


Jalan Aki Balak
Sepasang anak belia jalan bergengaman tangan di siang bolong nan terik. Di jalan Aki Balak. Tanah liat belum diaspal. Rumah-rumah kayu. Tanpa diduga ia disergap petugas polisi dan digiring ke kantor polisi untuk diinterogasi. Belakangan ia diketahui tinggal bersama saudara dekatnya di jalan itu.
“Namamu?”
“Safir.”
“Umurmu?”
“17 tahun.”
“Sekolah dimana?”
“Aku putus sekolah.”
“Namamu?” tanyanya kepada seseorang di sebelah remaja lelaki muda.
“Thy.”
“Usia?”
“16 tahun.”
“Sekolah?”
“SMA kelas 3.”
“Safir, kamu diadukan oleh orang tua Mia. Bawa lari anak orang.”
“Bukan, aku gak bawa lari Mira. Dia yang mau ikut aku.”
“Kemana?”
“Tawau.”
“Naik apa ke sana?”
“Pelabuhan dari Nunukan. Ke Tawau, ada bus gratis.”
Keduanya masih saling mengengam tangan. Kemesraan mereka tak luput dari perhatian petugas itu.

Ortunya gak marah? tanya ibu Safir di telepon.
Aku gak tahu. Aku suka dia, Ma.
Kau tunggu saja sana. Mama kirimin tambahan uang untukmu. Ada bagian uang tiket untuk pacarmu, kata ibu Safir lagi setelah ia mengirim sms minta uang.

“Aku mau saja ikut dia karena aku suka dia, terlanjur cinta sama dia, Pak. Dia suka sama aku apa adanya. Kemanapun dia pergi aku ikut.”



Tiga Cangkir Kopi
Nemo berdiri di depan counter. Gee di belakang meja, hitung dan menyusun uang. Gee membuka obrolan, “Tiap hari pasangan itu ke sini entah berapa kali.”
“Sehari 3 kali.” Nemo melanjutkan lagi, “Aku melihat pacarnya itu aneh.”
“Jangan hiraukan masalah pribadi orang!”
Di warung Ngopi, Vitae menghempaskan bokongnya ke sofa lembut. Hela napasnya sekencang-kencangnya. Agar Minnie tahu kekesalannya. “Harus bilang berapa kali juga jangan ajak bertemu di sini!”
Minnie buang muka.
“Kau sengaja kan?”
“Asal jangan lebih dari tiga gelas sehari, OK!” Dia tetap menatap lawan bicaranya. “Aku tahu kamu gak suka minum.” Pelankan suaranya, “dia yang harus kamu jaga.”
“Kamu gak kasih aku pilihan.”
“Aku cinta kamu.”
Pacarnya meneguk kopi hampir habis. One shot. Slurppp…
Vitae geram. Menahan amarah. Rampas cangkir yang kedua di tangan pacarnya. Meletakkan cangkir di tatakan dengan suara nyaring.
“Gak beres nih!” Gee menahan lengan Nemo yang hendak menyejukkan kegaduhan dua sejoli itu. Alis Gee saling menaut. “Jangan ikut campur!”
“Gee…”
“Lihat!”
Lelaki itu beringus. “Ayo, kita pergi sekarang!” Pacarnya mendongak. “Kalau kita gak berhasil bujuk Mama? Kalau dia tetap gak terima?”
“Aku lebih gak terima kehilangan kalian.”


Sebelum pergi meninggalkan meja, dia menyeruput sisa kopi hitam tadi. Vitae sayang mengelontor kopi berkualitas itu.




No comments:

Post a Comment