Thursday 13 November 2014

Alin, Ciao Papi!

Mami memaksaku pulang kampung pasca kelulusan kuliah. Aku tolak. Mamiku berkata, lama kau gak pulang.
Mami masih tak puas jua dengan sikapku.
“Pergi lihat Papi!”
Mami tahu sekali kedegilanku dan cara ngatasi.
“Lin, bang mang Mami ba?” bujuk Mami memelas.
***
“Kok lama sampai?” ucap Kity.
“Macet kali. HAHAHA.”
Pak Taming ketawa kikik. “Macet? Kota ini besar, namun tak banyak penduduk nan sunyi saat malam, Pong Pong...”
“Mobilnya macet, Pak Taming,” seloroh Pong Pong, menandatangani laporan stok barang gudang.
Pak Taming tertawa kecil, “Oh... Gitu,” sambungnya, “Pong, Bos ngomong sama aku tadi. Tami, kau enak, pulang cepat hari ini. Tu...”
“Apa? Pulang cepat?” serobot karyawan paling lama bekerja dalam ruangan itu.
“Tumben pendengaran Pak Soeyadi tajam, biasa dipanggil mesti berulang kali. Padahal sudah di samping beliau,” keluh Kity dalam hati.
Pak Taming melanjutkan, “Tugasmu belum selesai. Lalu aku bilang, pekerjaan memang gak pernah selesai, Bos…”
Disambut tawa terbahak-bahak dari Pong Pong. Pak Taming senyum kalem.
Di tengah mereka ngobrol, Pak Soeyadi juga berngobrol dengan Kity.
“Pergi nge-gym yuk, Kity?” Pak Soeyadi ketik-ketik di keyboard. Ia menyusun konsep surat perjanjian. Bila urung selesai, Bos pasti mengultimatum lanjutkan di rumah.
“Pacarku ajak minum jus di pinggir.” Sungai Kayan sering disebut pinggir, tempat nongkrong jelang sore hingga malam.
“Ooh...” sahut Pak Soeyadi.
“Pak Taming, temanin Pak Yadi? Perut Bapak makin menggunung aja.”
“Ohh... Kagak usah, Kity. Sore-sore ajak istri jalan, olahraga juga.”
“Aku mau lihat gimana rupa anak Bos,” ujar Kity.
“Pong, kau che me yang? Tertarik sama anak Bos?”
“HAHAHA.”
Ia beranjak keluar.
Kity menoleh ke arah Pak Taming, “Malu dia, Pak.”
Pak Taming senyam-senyum.
Pong Pong berjalan ke bangunan sebelah. Ia mengerem dirinya oleh karena mobil Estrada warna hijau, membelok kiri untuk parkir di depan rumah sekaligus toko bangunan.
Seorang wanita tinggi langsing bagi ukuran seusianya, bahu yang lebar. Ia membuka pintu mobil. Setelah menutup pintu, sambil lalu ia tersenyum pada Pong Pong. Kemudian masuk ke rumah itu. Disusul dentuman suara pintu belakang mobil. Derap kaki seseorang mengekori si Nyonya.
Wanita itu menghentikan langkahnya dan berdiri tak jauh di sebelah lelaki yang usianya terpaut enam tahun, rambut tipis dan memutih.
***
“Alin, ciao Papi!”
Papiku berupaya senyum.
Aku ngeloyor. Terus ke dalam. Tanpa tergerak menoleh sepintaspun.
***
Disaat bersamaan, seorang bawahan mengamati gelagat reaksi gadis muda itu, yang lebih pendek dari ibunya tadi.
Nyonya pun menyusul putrinya.
“Kok anaknya gitu?” batin karyawati itu. “Aku sempat ‘menangkap’ di matanya.” Kemudian pandangannya lari ke Bos.
Senyum si Bos tertahan di situ.
Dan tatkala sang majikan berpaling. Ia berembuk pandang sama karyawatinya. Spontan gadis itu menunduk.
Datang Pong Pong yang berkacamata tebal menyerahkan hasil laporan ke meja Bos.
***
“Goban... Goban... Goban...”
Kresek... Kresek...
“Goban!”
Aku menekan tombol PTT kurang lebih 2 detik di HT saat bicara dan tahan, “Iya, Goban, copy.” Kulepas tombol itu setelah selesai bicara.
“Ada Bos? Siapa ini?”
“Bos di kamar mandi, ganti.”
“Ok. Copy. “
“Dari mana nih?”
“Cepe. Ganti.”
“Nanti kusampaikan. Ganti.”
Copy.”
Standby.” Aku lepas tombol di HT.

Mengenakan kaos kutang, ujung kaos dimasukkan ke dalam celana pendek biru tuanya. Papiku keluar dari kamar mandi.
“Cepe panggil di radio.”
“Hah! Aduh...,” bergegas ia ke tempat meja radio. “Kenapa gak panggil aku?” menghempaskan tubuhnya di bangku dan memanggil, “Goban, Goban, Goban.”
Aku menuju ke dalam ruang tamu.
Lama tak menyahut. Papiku ambil setumpuk kertas folio yang telah dipotong separuh. Ia mengibas-kibas.
Menekan tombol di HT, “Goban...”
***
Semua karyawan sudah bekerja setengah hari di hari Sabtu. Kecuali...
Seorang tukang masak menuangkan kopi untuk dua orang laki-laki berleha-leha di kursi plastik.
“Bi, anak juragan pulang besok?” tanya lelaki muda profesi supir.
“Iya.”
“Lama aku tidak lihat. Sejak dia dikirim sekolah ke Jakarta,” jelas pekerja pertama di toko sebelum rangkap jadi karyawan perusahaan itu.
“Bos punya anak berapa, Bu Endah?”
“Tiga, nomor dua kuliah di Amerika. Yang kecil masih SMA di Jakarta. Dengar-dengar minta ke Amerika juga,” terangnya ceplos-ceplos penuh semangat.
“Lanjutin di sana. Anak paling disayang sama Bos.”
“Siapa yang disayang Bos?” tanya si supir.
“Anak terakhir. Sayang banget. Hampir tiap sore jatah buat nelepon ke Jakarta tanya kabar anak. Sekolah gimana? Sudah makan? Makan yang banyak. Disuruh rajin belajar, jaga kondisi. Wis macam-macam Bos itu kalau bicara sama anaknya.”
“Lho, kenapa yang cewek di Jakarta.”
“Moh...” Bu Endah moncongkan bibirnya sambil geserkan tubuhnya sedikit.
Pekerja tua itu menambahkan, “Anak perempuan untuk apa sekolah tinggi-tinggi.”
“Aku dengar yang ketiga ini mirip Bos. Sama pintar dengan Bapak,” kata Bu Endah. “Iya ya. Kenapa ya, Mas? Sing cewek?”
“Bukannya karena dia, anak bontot.”
“Aku dengar perusahaan mau dikasih ke anak cowok ae.”
“Siapa bilang?”
“Pak Taming.”
Lelaki yang muda berpikir keras, mengepul asap rokok, “Bisa jadi.”
“Anak perempuan untuk apa dikasih sekolah tinggi. Paling urus rumah tangga juga, Bi,” ucap pekerja tua.
“Aku lihat mainan anaknya masih ada di ruang keluarga.”
“Iya. Itu kepunyaan Roby. Setiap hari aku disuruh Bos bersihkan debu. Disuruh jangan sampai pecah.”
“Bibi, kau harus hati-hati!” saran pekerja tua.
“Iya. Tahu aku!” bentak Bu Endah pada pekerja tua. “Pagi tadi Nyonya banyak belanja. Sudah kupaket.”
“Botih...” teriak Bos dekat jendela.
Supir itu berlari.”Ya, Pak.”
“Kamu pergi beli tiket speed atas nama Oviana dan Reni.”
“Jam berapa, Pak?”
“Ikut siang. Speed langganan. Nyaman naik yang itu.”
“Iya.”
“Tunggu apa?”
“Uang tiket, Pak?”
“Kamu ada uang?”
“Ada.”
“Nah, pakai uang itu. Senin lusa minta sama kasir.”
“Baik,” Botih bersuara lirih  lantas pergi.
“Kau masih di situ, Haryo?”
“Ya.”
“Kau tunggu aku, lima belas menit lagi.”
“Iya.”
“Antar aku pergi jogging.”
“Baik, Bos.”
***
Aku diajak ke pasar pagi. Hari terakhir. Mami borong udang sungai bila ada. Bagi-bagi dengan keluarga besarku.
Inai-inai dengan ciri khas telinga berlubang panjang menyusun rapi 3 biji buah jambu madu. Membawaku ke semasa kecil di kapal motor kayu. Anyaman manik-manik berwarna-warni dan uang logam di gendongan bayi, topi. Aku heran dimana mereka dapat manik itu. Apa buat sendiri? Paling kuperhatikan terus adalah telinga mereka. Bagaimana pula bisa sepanjang itu? Sekarang pada anak cucu mereka jarang kutemui.
Mereka jualan. Barang dagangan mereka beralasan karung beras, duduk lesehan, mereka susun rapi hasil panen. Tumpuk-tumpuk, dua di bawah, satu biji di atas.
Ada gambas yang sudah dikeringkan tanpa isi dijadikan serabut pencuci piring. Mamiku suka pakai. Ketika rumah di Jakarta habis, Mami pesan Bibi Endah minta dikirim

Satu minggu di sini. Sungguh. Liburan yang terasa berat untukku.
Aku tak pasti kembali.
Tapi... aku yakin satu hal.
Yang dia siapkan, memilah-milah seeorang. Sesuai pertemuan di meja makan malam,hari pertama.
“Nanti kupikirkan bagian apa yang cocok, tinggal pilih tambang emas atau kebun untuk calon suamimu?”
Kesan kecil menghantuiku dalam setengah sadar setengah lelap. Di tengah hentakan demi hentakan arus ombak dengan speedboat yang kutumpangi menuju kota Jakarta. Kampungku walau ia disebut kabupaten dan luas. Lucu tak ada transportasi airport langsung ke kota besar. Berapa kali kami harus transit.
 “Mami minta panggillah Papi. Pamit sama Papi.”
Aku merebut keranjang belanja Mami.
Tiba di waktu mendebarkan dan kaku. Lidahku keluh. Kupaksakan dengan ucapan, “Pergi...” Aku berlalu di hadapan beliau.
“Hmm,” gumam Papi.
Walau Papi terkadang mampir ke Jakarta. Aku jarang bertemu dengannya. Dua tiga hari setetal itu Papi kembali ke kota kelahirannya.
Aku juga tidak berjuang menemui dia.
Tak tahu mengapa.
Ia serasa orang asing bagiku.




No comments:

Post a Comment